Mengakhiri Stigma Kesehatan Mental Lewat Literasi

Salah satunya dengan menggunakan first-person language

Pernah kah kalian menyadari ungkapan "sehat itu mahal" dan "lebih baik mencegah daripada mengobati" mempunyai keterkaitan? Sehat di sini tidak hanya ditujukan untuk fisik melainkan juga untuk pikiran atau mental.

Mahal karena seperti yang sudah kita ketahui biaya pengobatan cukup menguras kantong dan lama kelamaan dapat menjadi beban pikiran bagi orang yang menjalaninya. Tidak heran saat berkunjung ke klinik atau rumah sakit kita sering mendengar dan membaca tentang program skrining atau deteksi dini. Tujuannya tidak lain adalah untuk mencegah penyakit menjadi berlarut-larut.

Seseorang yang fisiknya sakit tanpa basa basi dapat langsung pergi ke IGD untuk mendapatkan perawatan. Akan tetapi hal ini cukup sulit bagi mereka yang mengalami kesulitan dengan kesehatan mentalnya. Sulit karena takut dan cemas kalau dijadikan bahan perbincangan teman kuliah, kantor, atau tetangga. Padahal bila dipikirkan lebih dalam, kesehatan mental yang terganggu dapat membuat fisik menjadi sakit dan akhirnya membuat performance  kerja kita menjadi turun.

Sebenarnya informasi mengenai jenis gangguan kejiwaan beserta gejala dan pengobatan dapat diakses melalui internet. Lalu klinik psikologi dan konsultasi dengan psikiater juga dapat ditemukan di kota-kota besar di Indonesia. Tetapi, stigma menyebabkan orang enggan untuk mendapatkan pertolongan terkait dengan kesehatan mental mereka.

Tahun 2022 merupakan tahun spesial bagi negara Indonesia sebab negara kita terpilih menjadi tuan rumah KTT G20 yang akan dilangsungkan di Bali di bulan November mendatang. Mengurangi stigma terkait kesehatan mental selaras dengan Recover Together, Recover Stronger yang menjadi tema G20 sekaligus fokus kerja G20 yaitu kesehatan global. Dengan demikian, topik mengurangi stigma terkait kesehatan mental patut untuk dibicarakan selama KTT nanti.

1. Memberikan workshop secara berkala kepada mereka yang bekerja di media massa atau pers terkait kesehatan mental

Mereka yang bekerja di pers seperti jurnalis, editor, reporter, dan pembawa acara berita mempunyai peranan penting dalam mencegah stigma tentang kesehatan mental. Pencegahan dapat terlaksana melalui sesi webinar atau workshop yang dilakukan oleh departemen psikologi dari sebuah universitas dengan rumah sakit kepada anggota pers.

Sesi webinar atau workshop dapat terlaksana melalui kolaborasi antara pihak universitas, rumah sakit, dan instansi pers. Contoh topik webinar atau workshop misalnya menggunakan person-first language yang mana lebih menonjolkan orangnya dibandingkan kondisi penyakit mentalnya saat menulis berita dan/atau membahas tentang kesehatan mental.

Mengutip laman SMIAdviser.org, penggunaan person-first language menekankan keunikan karakter serta keunggulan orang tersebut terlebih dulu daripada kondisi yang dideritanya. Dengan demikian secara tidak langsung kita mengurangi stigma dan memberikan semangat kepada orang tersebut untuk selalu berusaha menjadi yang terbaik.

2. Mengajak media massa atau pers untuk mengedukasi masyarakat mengenai kesehatan mental

Media massa atau pers dapat mendedikasikan waktu setiap bulannya untuk mengedukasi masyarakat seputar kesehatan mental. Topik edukasi bervariasi mulai dari gejala gangguan mental, mitos dan fakta, jenis terapi, atau talkshow dengan pakar.

Informasi dapat disiarkan melalui platform resmi instansi pers seperti website, Instagram, YouTube, dan Twitter. Untuk masyarakat yang tinggal di daerah terpencil di mana akses internet terbatas, instansi terkait dapat bekerja sama dengan radio lokal.

Merangkum dari artikel berjudul "Mental Health and The Role of Media" yang terbit di International Journal of Emergency Mental Health and Human Resilience tahun 2020, media dapat dijadikan sebagai tempat yang aman untuk berbicara mengenai kesehatan mental, mengubah pemikiran atau perilaku negatif terhadap kesehatan mental, dan sekaligus mengurangi stigma. Edukasi tentang kesehatan mental yang dilakukan oleh pers secara tidak langsung meninggalkan pesan kepada masyarakat it's okay to get help.

3. Kolaborasi antara lembaga kesehatan dengan influencer

Perkembangan dunia digital dapat dimanfaatkan untuk mengurangi stigma terkait kesehatan mental. Lembaga kesehatan dan universitas dapat bekerja sama dengan influencer atau content creator untuk mengadakan sesi dialog dengan tema kesehatan mental.

Masing-masing influencer atau content creator memiliki tipe followers atau penonton yang berbeda-beda. Ada yang mayoritas followers-nya merupakan ibu rumah tangga, namun ada pula yang mahasiswa atau pekerja muda. Lewat platform yang dimiliki oleh influencer, lembaga terkait yang dibantu oleh influencer dan content creator dapat menjangkau masyarakat lebih luas mengenai pentingnya menjaga kesehatan mental, metode terapi yang terbukti secara klinis, dan bagian terpenting tidak perlu malu untuk berkonsultasi dengan psikiater.

Itulah sedikit ide dari 1000 aspirasi Indonesia Muda yang sekiranya dapat dimasukkan ke dalam daftar wacana di presidensi G20 Indonesia nanti. Kesehatan global tidak hanya terbatas secara fisik melainkan meliputi segi mental juga. Sumber daya manusia yang sehat jiwa dan raganya akan terus berinovasi menghasilkan karya-karya baru yang bermanfaat bagi semua orang. Namun bila salah satu aspek kesehatan sumber daya manusia tersebut mengalami permasalahan dan tidak ditangani dengan baik, ini akan mempengaruhi kesejahteraan komunitas tersebut.

Maria  Sutrisno Photo Verified Writer Maria Sutrisno

"Less is More" Ludwig Mies Van der Rohe.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Dimas Bowo

Berita Terkini Lainnya