[OPINI] K-Wave: Senjata Rahasia Korea Selatan

Dari Hallyu, mereka bangkit dari keterpurukan

Tidak dapat dipungkiri bahwa hal-hal yang berbau Korea Selatan kini menjamur dimana – mana, termasuk di Indonesia. Mulai dari musiknya yang biasa kita sebut dengan istilah K-Pop (Korean Pop), drama, film hingga variety show yang digemari oleh banyak kalangan. Fenomena ini pun sering disebut sebagai K-Wave (Gelombang Korea)

Bahkan dilansir oleh The Korea Times, data pada tahun 2018 menunjukkan bahwa jumlah penggemar K-Pop sendiri mencapai 89,19 juta dari yang semula berjumlah 73,12 juta penggemar pada tahun 2017. Hal ini dikarenakan K-Pop tidak hanya memberikan jenis musik yang enak didengar, tetapi juga visual yang enak dipandang. Boyband dan girlband seperti BTS, EXO, iKON dan BLACKPINK adalah contoh kecil dari artis Korea yang sukses di kancah internasional.

Tak kalah dengan K-Pop, dramanya pun menyita banyak perhatian penonton seperti Winter Sonata, Descendants of the Sun serta Goblin yang rata-rata memiliki rating yang tinggi. Variety show dan film dari negeri gingseng ini juga banyak diminati.

K-Wave dan Majunya Ekonomi Korsel

Kepopuleran K-Wave pun tentu membawa keuntungan bagi Korea Selatan, tak terkecuali perekonomian negara. Saat terjadi krisis global pada tahun 1997, nilai mata uang Korea Selatan melemah dan turun hingga 7 persen. Akhirnya pemerintah Korsel mencoba untuk mengekspor produk budaya dan dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat luar, khususnya musik dan perfilman.

Ekonomi Korea Selatan mengalami peningkatan seiring bertambahnya jumlah wisatawan, permintaan produk-produk musik, film dan drama pada tahun 2004 sampai sekarang salah satu alasannya adalah kontribusi dari Korean Wave.

Data tahun 2005 bahkan menyatakan bahwa K-Wave menyokong sekitar 0,2 persen GDP Korea Selatan atau sekitar $1,87 miliar atau 2,14 triliun won di sektor ekspor dan pariwisata. Institut penelitian Korea Selatan secara rinci mengatakan bahwa jumlah wisatawan asing yang datang ke Korea Selatan meningkat dari 647.000 orang menjadi 968.000 orang di tahun 2004.

Strategi Korsel : Mengurangi Regulasi Pemerintah

Di balik masifnya “demam Korea” tentu terdapat peran pemerintah dalam menggerakannya. Menurut Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia yaitu Kim Chang Beom, pihak pemerintah mendukung dan menawarkan bantuan untuk mempermudah kondisi para seniman agar mereka bisa menjadi lebih kreatif dalam memproduksi hasil karyanya, salah satu caranya adalah dengan mengurangi regulasi pemerintah.

”Jika Anda memberikan makin sedikit regulasi dan sedikit petunjuk, para pemain di dunia hiburan, atau produser, penyanyi, penulis lagu akan menjadi lebih bebas, kreatif dan terbuka. Jadi saya pikir peran pemerintah harus lebih fokus untuk memberikan bantuan, bantuan finansial, deregulasi peraturan apa pun yang masih ada, dan juga menyediakan kesempatan bagi mereka untuk berhubungan dengan para pemain global,” ujarnya.

Tidak tanggung-tanggung, Korea Selatan bahkan menggunakan 1,4 dari total anggaran nasional yang mencapai $5,2 miliar AS untuk menunjang persebaran Hallyu (nama lain dari K-Wave) pada tahun 2014 dan angka ini meningkat menjadi $7,5 miliar AS tiga tahun kemudian.

Bagaimana dengan Indonesia?

Jika Korea Selatan mempunyai KOCCA, maka Indonesia mempunyai BEKRAF. BEKRAF atau Badan Ekonomi Kreatif bertugas membantu Presiden dalam merumuskan, menetapkan, mengoordinasikan, dan sinkronisasi kebijakan di bidang ekonomi kreatif.

Dalam menjalankan tugas tersebut, BEKRAF menyelenggarakan beberapa fungsi seperti perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang ekonomi kreatif. BEKRAF juga banyak menyelenggarakan agenda dalam mengembangkan dan mempromosikan budaya dan hasil karya anak bangsa, salah satunya bidang musik.

“Tak hanya musik, tapi perhatian kami jatuh kepada pelakunya juga, terutama untuk pembentukan sistem musik nasional dalam menghadapi perubahan musik di dunia internasional,” ujar Triawan Munaf selaku Kepala Badan Ekonomi Kreatif.

Salah satu program yang diusung oleh BEKRAF dalam menggerakkan bidang permusikan adalah Musikologi. Menurut Direktur Fasilitasi HAKI, Dr. Robinson Sinaga, tujuan diselenggarakan Musikologi adalah agar insan musik di Indonesia mendapat pengalaman dan semangat sehingga tidak menilai musik hanya untuk kumpul-kumpul saja tapi juga sebagai sektor yang dapat mendatangkan ekonomi.

Korea Selatan dan Indonesia memiliki banyak sekali potensi di bidang industri kreatif. Saya berharap Indonesia dapat mencontoh hal-hal yang baik dalam mengembangkan budaya yang dimiliki, seperti dalam hal permodalan. Indonesia juga mungkin bisa mempertimbangkan soal pelonggaran regulasi.

Baca Juga: [OPINI] Menilik Redefinisi Arti Kecantikan Melalui Budaya KPop

Nadine Salsabilla Photo Writer Nadine Salsabilla

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya