Satu Tahun Pandemik, Saat Belajar Merelakan dan Bertahan

Di tahun 2020 aku memberanikan diri mencoba hal baru

Menjalani awal tahun 2020 masih terasa normal bagiku. Aku masih bisa melakukan perjalanan jarak jauh menggunakan kereta api ke Bandung untuk berkunjung ke makam Papa. Pekerjaan pun tak terganggu, aku masih bisa liputan Tahun Baru Imlek dengan meriah di salah satu hotel terbaik di Surabaya.

Tetapi, rutinitas sehari-hari harus terhenti, karena virus corona mulai mendekati. Pertengahan Maret aku mulai harus terbiasa bekerja di rumah. Sebenarnya ini bukan hal yang sulit buatku, karena aku memang cukup mudah beradaptasi dengan hal baru. Produktivitas menulis artikelku masih seperti biasa, komunikasi dengan editor juga tak bermasalah.

Berada di rumah saja selama kurang lebih empat bulan tentu bukan hal mudah. Harus terisolasi dari dunia luar, tak bertemu teman hanya untuk sekadar bertukar pikiran jadi tantangan tersendiri buatku. Hal ini membuatku belajar untuk semakin menghargai akan berharganya sebuah pertemuan.

Aku selalu menyempatkan untuk sekadar menyapa keluarga dan sahabat melalui pesan. Hal tersebut cukup membuat hatiku tenang, meski masih ada terasa yang mengganjal. Bertemu secara langsung tentu akan terasa lebih melegakan.

Hal paling suram yang aku rasakan adalah tak bisa berkumpul bersama keluarga besar ketika Lebaran tiba. Untungnya, ada teknologi yang dapat menghubungkan kita semua. Aku dan keluarga mulai melakukan video call sejak pagi untuk saling bermaafan. Tentu saja air mata tak dapat terbendung, rasa rindu ini sudah menumpuk sekian lama.

Kantorku pun mulai menerapkan kembali work from office di pertengahan Juli. Berbagai peraturan dibuat demi meminimalisir terjadinya penularan. Meski banyak batasan, tetap saja itu membuatku senang, akhirnya bisa kembali bertemu teman seperjuangan. Masker dan hand sanitizer sudah menjadi barang bawaan wajib yang tak boleh terlupakan.

Peraturan tersebut tak berlangsung lama. Kantor mulai kembali menerapkan bekerja di rumah. Untungnya, aku tetap bisa ke kantor jika ingin. Aku memilih untuk ke kantor tiga kali dalam seminggu. Memang jauh, tapi aku senang karena bisa melihat dunia luar dan berinteraksi dengan teman-teman di kantor, meski sedikit. Hal ini membantu menjaga kewarasanku.

Aku sempat mengikuti serangkaian salah satu event terbesar di kantor, yakni Indonesia Writers Festival. Meski tak terlibat langsung di dalamnya, aku cukup senang bisa ikut merasakan suasananya. Satu hal yang aku sadari saat itu adalah aku bersyukur menjadi bagian yang turut memberikan dampak positif di tengah keterbatasan.

Di tahun 2020 pula akhirnya aku memberanikan diri mencoba hal baru, yaitu membawakan sebuah acara atau hosting. Meski hanya di Instagram, pengalaman pertama pasti membawa ketegangan tersendiri. Untungnya, aku bisa melakukannya dengan baik, meski masih ada kurangnya. Bahkan, aku pun merasa kecanduan.

Tahun 2020 memang bukan tahun yang mudah untuk dijalani. Semua serba mendadak dan diselimuti aura ketidakpastian. Namun, dari 2020 juga aku belajar untuk merelakan dan bertahan lebih kuat. Meski 2020 terasa sangat singkat bak sekejap mata, bisa dibilang di tahun inilah aku merasa menjadi seorang manusia yang lebih bersyukur.

Baca Juga: Berburu Hoki Giveaway, Kebahagiaan Tak Terduga saat Pandemik

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya