Belajar Memahami Kata Cukup dan Syukur

#SatuTahunPandemik COVID-19

Hampir satu tahun pagebluk terjadi, tamparan pada Bali sangat terasa. Tak terbantahkan lagi, ini menjadi tahun terburuk, cobaan terberat, khususnya bagi warga Pulau Dewata yang mencari nafkah di sektor pariwisata. Tak sedikit yang menyebut, dampak pandemik lebih ganas dari tragedi Bom Bali. Bahkan untuk pertama kali, setidaknya dalam 30 tahun terakhir, Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai tidak lagi beroperasi 24 jam.

Kuta, Nusa Dua, Jimbaran, Ubud, dan pusat-pusat hiburan lainnya yang biasanya selalu memanjakan wisatawan, kini bagaikan kota mati. Titik-titik itulah yang selama puluhan tahun menjadi sumber pundi-pundi masyarakat Bali. Apalagi saat perhelatan tingkat internasional berlangsung, rezeki mereka bisa berkali-kali lipat. Namun kini semuanya harus rela menepi, bukan hanya satu atau dua bulan, tapi ternyata sampai menahun. Bukan hanya sekadar cubitan, tapi ini benar-benar tamparan keras.

Bila berkendara mengelilingi kota Denpasar, sepanjang kawasan Jalan Veteran, WR Supratman, hingga area utama Jalan Puputan di wilayah Renon, berjejer mobil yang bagasinya digunakan untuk menjajakan dagangan. Jenis dagangan mereka beragam, mulai dari tisu, figura, lukisan, pakaian, buah, hingga keperluan dapur. Mobil yang dipakai bukanlah pick up seperti yang banyak ditemui di pasar, melainkan tipe yang boleh dikata cukup mewah. Umumnya kendaraan seperti itu digunakan untuk mengantar para turis berwisata. Hampir semuanya banting setir, mencari berbagai cara untuk bertahan hidup.

Terlepas dari berbagai teori konspirasi yang muncul dan timbulnya anggapan bahwa pandemik ini hanya rekayasa, saya lebih tertarik melihat sisi lain dari perubahan dan dampak wabah ini. Puluhan tahun image Bali sebagai ikon pariwisata tidak pernah lepas. Apabila memungkinkan, segala hal bisa diatasnamakan untuk kepentingan pariwisata. Masyarakat dininabobokkan dengan kepalsuan. Alam, seni, budaya, semuanya dipariwisatakan.

Tapi kali ini, hanya pandemiklah yang sanggup membuat semuanya, mau tidak mau, harus mengerem dan menahan diri, sebelum terlalu jauh terseret ke jurang yang lebih curam. Satu tahun belakangan ini kita diajak untuk kembali bertanya ke dalam diri, tidakkah selama ini kita terlalu loba mengeksploitasi Bali? Untuk menyegarkan kembali pertiwi dan mengembalikan roh Bali, kita diminta untuk mengorbankan sedikit saja ego dan rasa tamak. Masyarakat diminta untuk kembali belajar memahami kata cukup dan syukur.

Rasa Kemanusiaan yang Diuji

Setiap hari berkutat dengan berbagai pemberitaan, aneka informasi terserap ke pikiran saya. Baik yang terjadi di desa terpencil, maupun di kota-kota besar di Jakarta. Dari sekian peristiwa itu, sebagian ada merasup hingga ke nurani dan terngiang sampai berhari-hari. Terlebih pada masa ini, kita kerap menghabiskan waktu sendiri, tak lagi sesering dulu berkumpul dengan sahabat dan kawan-kawan sepergaulan.

Meski ukuran virus yang memporak-porandakan Indonesia dan hampir seluruh negara di dunia ini sangatlah kecil, tapi efek yang diakibatkannya begitu besar. Begitu terang pula menguji nurani manusia. Tak ada pengecualian. Semua orang, rakyat jelata hingga pejabat paling berkuasa, tak ada yang bisa mengelak.

Dari sekian persoalan yang menggaduhkan tanah air, korupsi dana bansos yang dilakukan oleh seorang menteri, cukup membuat saya tersentak. Walau sebenarnya korupsi bukanlah barang baru dan banyak pejabat kelas atas yang tersandung, namun yang terjadi kali ini, rasanya di luar nalar. Pertanyaan bagaimana bisa, bagaimana bisa, kok bisa, kok sampai hati, terus bergulir.

Diikuti dengan pertanyaan lainnya lagi, apa tidak cukup ya gaji segitu, sampai tega-teganya merongrong rakyat jelata yang sudah nelangsa dikoyak pandemik? Bahkan disebut bahwa korupsi dana bansos ini telah diatur sedemikian rupa pembagian dan pola kerjanya. Rasa kemanusiaan manusia benar-benar dikuliti.

Kita tidak pernah tahu sampai kapan sesungguhnya pandemik ini akan menguji. Tapi rasanya kita memang harus menyiapkan diri pada keadaan terpuruk sekalipun. Di tengah ketidakpastian ini, apapun bisa berubah dalam hitungan menit. Doa terbaik untuk kita semua.

#SatuTahunPandemik adalah refleksi dari personel IDN Times soal satu tahun virus corona menghantam kehidupan di Indonesia. Baca semua opini mereka di sini.

Baca Juga: Akan Jadi Apa Dunia Ini 10 Tahun Pascapandemik COVID-19?

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya