[INFOGRAFIS] Kecenderungan Bunuh Diri pada Remaja Urban Jakarta

Adakah hubungan bunuh diri dengan gangguan jiwa?

Bunuh diri menjadi sebuah mysterium fascinosum (misteri yang menarik) bagi penulis sejak dikejutkan oleh kematian Kurt Cobain pada era 90an. Kemudian perasaan kehilangan yang cukup mendalam –seperti mengenal langsung sosok tersebut, terjadi saat vokalis Linkin Park, Chester Bennington, juga mengakhiri hidupnya.

Kemudian beberapa hari yang lalu dunia dikejutkan lagi dengan kepergian seorang desainer ternama, Kate Spade, dan adik dari Ratu Belanda yang juga melakukan tindakan bunuh diri. Beberapa jam sebelum artikel ini naik tayang, chef kenamaan Anthony Bourdain diberitakan mengakhiri hidupnya pada usia 61 tahun.

Bunuh diri menjadi sesuatu yang menggetarkan sekaligus menarik untuk berusaha dipahami.

Bunuh diri begitu personal, self-tailored, dan sungguh membutuhkan penghayatan khusus sehingga peristiwa agresi terhadap diri sendiri itu pun terlaksana. Energi agresif untuk “menghabisi” nyawa di dalam diri sungguh sangat besar. Hal ini sejalan dengan formulasi Freud tentang naluri kematian bahwa dorongan kuat untuk menghancurkan diri sendiri sesungguhnya telah ada sejak lahir pada semua orang. Namun perlu digarisbawahi bahwa bunuh diri merupakan masalah kompleks yang tidak diakibatkan oleh penyebab atau alasan tunggal. Sebaiknya bunuh diri ditinjau sebagai sebuah tindakan multidetermined dengan mempertimbangkan berbagai faktor risiko seperti gangguan psikiatrik, faktor sosial, faktor psikologis, faktor biologis, faktor genetik, dan gangguan fisik. 

1. Hubungan antara bunuh diri dan gangguan jiwa

[INFOGRAFIS] Kecenderungan Bunuh Diri pada Remaja Urban JakartaFabrizio Verrecchia on Unsplash

Berbagai data memperkuat temuan bahwa >90 persen pelaku bunuh diri memang disertai dengan adanya gangguan jiwa. Distribusi gangguan jiwa yang mengakibatkan bunuh diri diantaranya adalah gangguan suasana perasaan (mood) baik depresi maupun manik-depresif (Bipolar), penyalahgunaan zat, skizofrenia (misalnya terdapat halusinasi auditorik yang memerintahkan pasien menyakiti diri sendiri), gangguan ansietas (cemas), dan lain-lain.

Terlepas dari kerentanan seniman terhadap bunuh diri –yang mana Kurt Cobain, Chester Bennington, Kate Spade, termasuk di dalamnya, penting juga untuk menyimak masalah bunuh diri dalam kerangka yang lebih general. Menurut WHO Global Health Estimates tahun 2017, kematian total akibat bunuh diri yang tertinggi adalah pada usia 20 tahun. Bunuh diri merupakan penyebab kematian ketiga tertinggi di kalangan remaja yang mengakibatkan 4.500 kematian setiap tahunnya di Amerika Serikat.

Faktor-faktor risiko yang terutama adalah gangguan suasana perasaan dan percobaan bunuh diri sebelumnya. Telah banyak dilakukan penelitian yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara depresi mayor dan bunuh diri pada remaja. WHO sendiri telah mengestimasi depresi akan menjadi penyebab kedua penyakit pada tahun 2020. Bunuh diri merupakan penyebab kematian global nomor dua tertinggi pada kelompok usia 15-29 tahun pada tahun 2012.

2. Keputusan personal yang dipengaruhi dorongan sosial

[INFOGRAFIS] Kecenderungan Bunuh Diri pada Remaja Urban Jakartapexels.com/trinitykubassek

Bunuh diri sebagai sebuah keputusan personal tetap dapat dipengaruhi oleh dorongan-dorongan sosial termasuk imitasi. Sebuah karya novel dari Goethe pada tahun 1974 memperkenalkan seorang tokoh pahlawan bernama Werther yang membunuh dirinya sendiri setelah mendapatkan penolakan dari seorang perempuan yang ia cintai. Kematian fiktif Werther ditiru oleh banyak pemuda dalam kehidupan nyata sehingga akhirnya muncul istilah “Werther effect” untuk menggambarkan bunuh diri karena imitasi romantis. 

Oleh karena itu, peran media massa telah diatur dalam Upaya Promotif Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Namun seperti biasa, undang-undang ini –walau berniat baik terhadap banyak aspek kesehatan jiwa masyarakat, masih mandul oleh karena belum ada peraturan turunannya. Dan juga walaupun konten pemberitaan dipagari dan diawasi, tidak ada yang bisa menahan derasnya arus informasi melalui media sosial.

Berbagai berita tentang idola yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri dapat menjadi faktor risiko yang ikut menanamkan benih ide untuk bunuh diri pada penggemar. 

Lantas apa yang dapat dilakukan untuk mencegah bunuh diri? SDGs mempunyai target agar angka kematian prematur (seperti bunuh diri) akibat noncommunicable disease (penyakit tidak menular) harus ditekan sebesar 30 persen, namun tanpa angka acuan awal, maka Indonesia ibarat tidak punya terminal keberangkatan sehingga akan sulit untuk dapat berangkat ke lokasi tujuan berikut.

3. Apa yang bisa Indonesia lakukan?

[INFOGRAFIS] Kecenderungan Bunuh Diri pada Remaja Urban Jakartaurbanindo.com

Indonesia tidak mempunyai angka acuan awal bunuh diri oleh karena belum mempunyai suicide registry system, apalagi skema jaminan klaim BPJS juga tidak meng-cover tindakan yang membahayakan diri sendiri termasuk tentunya bunuh diri. Sehingga selain masih menggunakan angka estimasi WHO, maka kita hanya bisa mengandalkan pada penelitian-penelitian lain yang terbatas.

Pada tahun 2015 Litbangkes Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melakukan penelitian Global School-Based Student Health Survey (GSHS) di Indonesia dan menunjukkan bahwa ide bunuh diri pada pelajar SLTP dan SLTA adalah 4.3 persen pada laki-laki dan 5.9 persen pada perempuan. Persentase pelajar SLTA yang membuat perencanaan tentang cara bunuh diri adalah 5.5 persen pada laki-laki dan 5.6 persen pada perempuan. Sementara prosentase pelajar SLTA yang melakukan percobaan bunuh diri adalah 3.4 persen pada perempuan dan 4.4 persen pada laki-laki. 

Pada tahun 2015 penulis bekerjasama dengan Direktorat P2MKJN Kementerian Kesehatan Republik Indonesia untuk melakukan penelitian kesehatan jiwa remaja. Penelitian ini telah dipresentasikan pada the International Meeting of Public Health 2016 (IMOPH). Responden adalah 941 remaja pelajar SLTA usia 13-18 tahun di DKI Jakarta. 

Penelitian tersebut telah IDN Times rangkum ke dalam infografis berikut
[INFOGRAFIS] Kecenderungan Bunuh Diri pada Remaja Urban JakartaIDN Times/Rully Bunga

Dapat disimpulkan bahwa pada pelajar yang mempunyai problem emosional terdapat kecenderungan memikirkan tentang bunuh diri dan mempunyai keinginan bunuh diri jika dibandingkan dengan pelajar tanpa problem emosional. 

Saat ini belum ada instrumen Suicide Risk Assessment untuk remaja di Indonesia yang sederhana, self-report (mengisi sendiri), dan bisa digunakan sebagai alat skrining berkala pada sekolah, namun penulis sedang mengembangkan instrumen Suicide Risk Assessment bekerjasama dengan WHO. 

Dengan mengetahui bahwa seorang remaja mempunyai risiko bunuh diri, maka dapat dilakukan intervensi yang bisa dilakukan oleh pihak sekolah dengan bimbingan dari Kementerian Kesehatan. Ada berbagai cara intervensi yang dilakukan seperti misalnya di Uni Eropa, baik edukasi tentang kesehatan jiwa kepada pelajar, pelatihan terhadap gatekeepers (guru-guru di sekolah), dan juga skrining berkala. Program-program ini harus dirancang serius sehingga juga tidak melulu dilakukan skrining tetapi hasilnya terabaikan oleh karena belum adanya program integratif kesehatan jiwa remaja berbasis sekolah (school-based mental health).

Tidak hanya bersifat life-saving terhadap orang tersebut, tetapi juga seseorang yang telah masuk dalam relung kelam pemikiran tentang bunuh diri namun pada saat bisa terselamatkan maka ia akan menjadi seorang penyintas dengan kekuatan luar biasa yang mampu membantu semakin banyak orang melalui pendampingan. Upaya ini akan mendukung upaya pencegahan bunuh diri.

Jika kamu membutuhkan informasi dan konsultasi terkait depresi, kamu bisa menghubungi beberapa kontak di bawah ini:

  • Kementrian Kesehatan - Pencegahan Bunuh DiriHotline: 119
  • NGO Indonesia: Jangan Bunuh diritelp: (021) 9696 9293email: janganbunuhdiri@yahoo.com
  • Organisasi INTO THE LIGHT message via page FB: Into The Light Indonesia (@IntoTheLightID) direct message via Twitter: @IntoTheLightID

Topik:

  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya