[INFOGRAFIS] Mengulik Kesehatan Jiwa Remaja di Indonesia

Ada beberapa faktor yang memengaruhi perilaku ini
Artikel ini ditulis oleh dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ dalam penelitian Perilaku Risk-Taking Remaja Urban dengan data hasil survey pada tahun 2016 dan telah dipresentasikan di Kongres ASCAPAP 2017.

Dalam seminggu terakhir masyarakat Indonesia dihadapkan dengan pemberitaan gencar perilaku remaja laki-laki berinisial RJ yang mengancam akan membunuh Presiden Joko widodo melalui video berdurasi 19 detik. Video tersebut viral dan menampilkan RJ yang bertelanjang dada mengeluarkan kata-kata kasar sambil menunjuk foto Presiden Joko Widodo.

Aksi ini menunjukkan perilaku agresif mengancam dan tanpa rasa hormat terhadap pemimpin negara Republik Indonesia. Tidak sedikit masyarakat yang berpendapat bahwa seharusnya ia sudah cukup dewasa untuk mengetahui bahwa tindakannya tersebut melanggar norma kepantasan dan berisiko membahayakan dirinya secara hukum. Namun sepertinya RJ tidak berpikir sejauh itu pada saat merekam dan mengunggah video tersebut.

Baca Juga: Remaja Penghina Presiden Jokowi akan Disidang

Bahkan dalam reportase media massa dikatakan bahwa saat diperiksa kepolisian pada tanggal 23 Mei 2018 ia mengaku tak bermaksud menghina dan membenci Presiden Joko Widodo namun hanya sebagai bahan lelucon menjawab tantangan dari teman-temannya.

Banyak sekali tantangan viral yang membahayakan remaja

[INFOGRAFIS] Mengulik Kesehatan Jiwa Remaja di Indonesiamahdaen.tv

Menurut Erik Erikson, pada usia 11 tahun sampai dengan akhir remaja, seseorang berada dalam tahapan identitas vs difusi peran. Kelompok usia ini identik dengan identitas ego, disibukkan dengan penampilan, dan memuja pahlawan. Identitas kelompok (teman sebaya) juga sedang berkembang. Sehingga, jika substansi pergaulan yang dihayati seseorang dengan teman sebayanya adalah hal-hal yang tidak sehat, maka perilaku yang berkembang pun potensial tidak sehat bahkan cenderung menyerempet bahaya.

Telah banyak juga perilaku self-harm remaja yang merupakan perilaku akibat tantangan tidak sehat yang terjadi di internet, misalnya eraser challenge (menghapus dengan hapusan pensil secara cepat dan keras pada kulit), choking game (mencekik leher sampai tak sadarkan diri), skip/knockout challenge (menekan dada sampai tidak sadarkan diri), sack tapping (memukul bagian kemaluan laki-laki dengan keras), dan lain-lain.

Tantangan viral di atas bersifat membahayakan terhadap diri sendiri, berbeda halnya dengan kasus RJ yang mengancam pihak lain sekelas Presiden Republik Indonesia. Saat ini sang remaja “dititipkan” di sebuah tempat penitipan khusus yaitu panti sosial Marsudiputra, di Cipayung, Jakata Utara. Apakah perilaku RJ menjadi cerminan kondisi masalah kejiwaan remaja urban pada khususnya atau secara general di Indonesia?

Perilaku remaja juga dipengaruhi oleh perilaku teman sebayanya

[INFOGRAFIS] Mengulik Kesehatan Jiwa Remaja di IndonesiaUnsplash/Bill Wegener

Bangsa Indonesia tertantang untuk mengidentifikasi masalah kesehatan jiwa pada remaja sebelum berdampak pada masalah kesehatan remaja yang lebih besar bahkan kematian. Berbagai studi tentang remaja yang berperilaku risk-taking menjadi perhatian sejak tahun 1980 dan berhasil membuktikan bahwa mayoritas morbiditas dan mortalitas pada dekade kedua kehidupan seseorang disebabkan oleh perilaku risk-taking.

Istilah perilaku risk-taking telah digunakan untuk menghubungkan secara konseptual sejumlah potensi perilaku yang merusak kesehatan termasuk penyalahgunaan zat, perilaku seks bebas, mengendarai mobil dengan ceroboh, perilaku ingin bunuh diri (bahkan membunuh), dan kenakalan remaja. Jika perilaku ini dibiarkan maka akan berdampak pada masalah kesehatan yang serius saat dewasa. Konsekuensi negatif yang potensial terjadi akibat perilaku tersebut adalah kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit menular seksual, disabilitas berat, dan kematian. Hal-hal ini harus dicegah demi mempersiapkan generasi penerus bangsa yang sehat dan produktif. Bukan sebaliknya, masuk kurungan oleh karena menghina Presiden-nya.

Bukti empiris hubungan perilaku yang risk-taking sebagai sebuah entitas konsep berasal dari 3 sumber. Pertama, bahwa pada umumnya perilaku risk-taking menunjukkan keterhubungan dengan perkembangan. Misalnya, rata-rata aktivitas seksual, penyalahgunaan zat, mengendarai mobil dengan ceroboh, dan kenakalan remaja, meningkat sesuai dengan peningkatan usia saat remaja. Kedua, perilaku ini akan muncul bersamaan dengan perilaku lainnya. Misalnya, remaja yang aktif secara seksual cenderung menggunakan lebih banyak alkohol dan ganja dibandingkan remaja yang tidak aktif secara seksual. Ketiga, perilaku risk-taking harus memperhatikan aspek psikologi, lingkungan (sosial), dan biologi.

Ternyata problem perilaku yang dominan terjadi pada pelajar di SMA

[INFOGRAFIS] Mengulik Kesehatan Jiwa Remaja di Indonesiamailman.columbia.edu

Problem perilaku adalah perilaku yang berulang dan persisten pada remaja yang mengabaikan hak orang lain atau peraturan sosial. Bisa terjadi di rumah, di sekolah, atau kondisi sosial lainnya. Juga bisa agresif seperti mengancam orang lain, bahkan binatang. Termasuk juga di dalamnya adalah mencuri, bolos, dan lain-lain.

Penulis melakukan penelitian Kesehatan Jiwa Remaja bersama dengan Direktorat P2MKJN Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2015. Responden adalah 1.387 remaja kelas 10 dan 11 yang berusia 13-19 tahun pada 2 SLTA umum dan 1 sekolah kejuruan (dipilih secara purposif) yang mengisi kuesioner Strength and Difficulty Questionnaire (SDQ).

Responden adalah 43.26% perempuan dan 56.74 % laki-laki. Usia median 16 tahun. 63.45% responden bersekolah di SLTA umum dan 36.55% bersekolah di sekolah kejuruan. Problem perilaku abnormal pada pelajar laki-laki sebesar 9.53% dan borderline 13.47%, sementara abnormal pada pelajar perempuan 6.17%, dan borderline 8.33%.

Hasil penelitan tersebut telah IDN Times rangkum dalam infografis berikut.
[INFOGRAFIS] Mengulik Kesehatan Jiwa Remaja di IndonesiaIDN Times/Rully Bunga

Dari infografis tersebut dapat disimpulkan bahwa problem perilaku yang lebih dominan terjadi pada remaja laki-laki dan pelajar di SLTA (SMA/SMK sederajat) umum. Problem emosional dan problem teman sebaya memiliki peran penting terhadap terjadinya problem perilaku.

Salah satu faktor penyebab problem perilaku adalah level pendidikan

[INFOGRAFIS] Mengulik Kesehatan Jiwa Remaja di Indonesiaurbanindo.com

Faktor-faktor psikososial berkontribusi terhadap problem perilaku pada remaja, misalnya level pendidikan, urbanisasi, akses terhadap pelayanan kesehatan, pengetahuan orang tua tentang kesehatan jiwa, yang kesemuanya dapat memicu problem emosional dan problem perilaku pada remaja urban.

Ditangani atau tidak, remaja-remaja yang bermasalah akan tetap berangkat ke sekolah. Akhirnya masalah kejiwaan yang mungkin telah dimiliki akan bermanifestasi dalam berbagai problem terkait sekolah, misalnya sering bolos, prestasi akademik yang rendah, perilaku kacau, dan bahkan dropout (DO).

Para ahli mengatakan bahwa sekolah dapat berperan untuk mengidentifikasi pelajar bermasalah dan membantu mereka berhasil. Namun peran inilah yang banyak pihak sekolah tidak menyanggupinya sehingga akhirnya pelajar pun menjadi korban dari gap tersebut.

Sekolah sebagai gatekeeper utama untuk remaja harus dibantu pemerintah untuk mengembangkan school-based mental health dengan memberdayakan guru bimbingan dan konseling serta guru-guru lainnya yang terintegrasi usaha kesehatan sekolah. Orangtua pun perlu dilibatkan. Orangtua seringkali tertinggal dalam hal memahami kondisi pergaulan remaja seperti yang ditampilkan oleh serial Netflix, 13 Reasons Why. Sang ibu akhirnya menguak tabir rahasia yang dipendam sang anak semasa hidupnya justru setelah anak mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Hal ini wajar mengingat pada fase remaja teman sebaya adalah pihak yang bermakna dalam kehidupannya. 

Kita menanti rencana pemerintah –melalui Direktorat P2MKJN Kementerian Kesehatan, yang telah mengagendakan penyusunan Nota Kesepahaman dengan pihak Kementerian Pendidikan Nasional tentang Kesehatan Jiwa Remaja untuk masa depan generasi penerus Indonesia. Selain dilakukan screening kesehatan jiwa remaja secara berkala, semoga juga ditindaklanjuti dengan upaya intervensi yang sesuai untuk kondisi Indonesia.

Melalui artikel ini, dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ mengajak kamu untuk berpartisipasi dalam sebuah survei. Silakan isi jawaban kamu di kolom komentar, ya...
  1. Apakah kamu mau menemui guru bimbingan dan konseling di sekolah jika sedang menghadapi masalah dalam kehidupan kamu sebagai seorang remaja? Ya atau Tidak?
  2.  Jika kamu menjawab Tidak, apakah alasannya?
  3. Siapakah yang akan kamu ajak berbicara tentang masalah-masalah kamu jika kamu tidak bersedia menemui guru bimbingan dan konseling?
  4. Apakah kira-kira kamu akan merasa lega jika telah berbicara kepada seseorang tentang masalah yang kamu hadapi? Ya atau Tidak
  5.  Jika kamu menjawab Tidak, apakah alasanya?

Topik:

  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya