[OPINI] Sistem Zonasi dari Pandangan Alumni

Seperti apa alumni sekolah TOP memandang sistem zonasi?

Mayoritas anak ingin belajar di sekolah TOP, entah dia pintar ataupun kurang pintar. Sekolah negeri terbaik di kota atau kabupaten sering jadi incaran. Jika levelnya kabupaten, terlebih yang cukup pelosok, sering kali hanya ada satu sekolah bagus.

2019 ini, masyarakat Indonesia kembali dihebohkan oleh sistem zonasi. Juni dan Juli lalu, hal ini sangat sering diperbincangkan, baik di dunia nyata maupun maya. Berbagai sudut pandang turut meramaikan kebijakan ini. Berbagai jenis manusia sok tahu tentang pendidikan pun ikut ambil jatah bersuara.

Selain pembicaraan dari kalangan orang tua, siswa, dan guru, banyak pula sindiran dari kalangan alumni. Seperti apakah gerangan?

Budi (nama samaran), merupakan lulusan SMA terbaik di kabupatennya. Dia anak pelosok, rumahnya puluhan kilometer dari pusat kabupaten, jauh dari SMA. Dia dulu merasa sangat bangga bisa diterima di SMA terbaik di se-kabupaten, SMA yang bisa bersaing untuk kancah provinsi, dan bahkan sesekali dilirik untuk kancah nasional. Hal tersebut menjadikan dia sering jadi perbincangan tetangga, juga jadi panutan adik-adik kelasnya di desa.

Sekarang, Budi berkuliah di PTN ternama. Teman-temannya juga mayoritas sedang berada di jalan serupa. Mengetahui sistem zonasi yang sedemikian rupa mengobrak-abrik nama baik almamaternya tercinta, Budi (dan teman-temannya) sering menyindir lewat media sosial.

Budi sering melihat berbagai sindiran via Instastory dan status WhatsApp (WA) dari temannya, menyindir adik-adik mereka yang diterima hanya bermodal “rumah dekat SMA”. Padahal, bagi mereka, masih banyak anak-anak di luar zonasi yang lebih “layak” untuk diterima.

Belum lama ini, SMA Budi berulang tahun. Pesta perayaannya meriah, tak jauh beda dari zaman dia masih sekolah. Ah, dia jadi sedikit bernostalgia. Masa SMA memang paling indah. Jadi rindu.

Beberapa waktu lalu, Budi melihat status WA yang menarik. Status yang berisi foto sekumpulan panitia ulang tahun SMA sedang melakukan persiapan perayaan. Terdapat penjelasan singkat tentang foto tersebut, isinya:

“Jangan lupa datang ya, Karang Taruna ******* sedang ada acara.”

***

Haha, SMA Budi kini seakan bukan lagi SMA Kabupaten, melainkan SMA Kelurahan. Budi pun jadi kasihan pada anak kelas 11 dan 12 yang seharusnya tidak mendapat sindiran itu. Padahal, panitia ulang tahun SMA kebanyakan anak kelas 11. Tahun lalu memang sudah ada sistem zonasi, tapi tak separah tahun ini.

Ya tapi, mau bagaimana lagi? Meski yang ingin disindir teman Budi adalah sistem zonasi, tetap saja semua siswa ikut kena. Padahal, siswa kelas 12 bahkan sama sekali tidak mengenal sistem penerimaan semacam itu.

Dan lagi, meski sejak awal sangat kesal dengan zonasi-zonasi-an, Budi jadi sedikit kasihan pada siswa yang rumahnya dekat, namun sebenarnya memang pintar dan bisa masuk tanpa zonasi. Ya secara, pasti masih banyak anak pintar di sekitar SMA. Budi pun dulu punya banyak teman yang rumahnya dekat SMA.

Selain status tadi, belum lama ini, Budi pun melihat temannya yang lain membuat Instastory berisi foto forum pertama di salah satu organisasi SMA mereka. Forum bersama calon anggota baru. Di foto tersebut, terdapat tulisan, “Forum Karang Taruna *******.”

Ah, ada pula teman lain yang membuat Instastory yang menarik. Dia memublikasikan foto saat siswa baru sedang melaksanakan masa orientasi dan mewajibkan mereka memakai atasan batik. Dan dari foto itu, terlihat bahwa terdapat beberapa jenis batik yang merupakan batik Karang Taruna. Terdapat penjelasan di bawah foto, bertuliskan:

“Anggap saja ini sesi diskusi antar Karang Taruna demi mewujudkan lomba tujuh belasan yang jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.”

Sudah terlalu sering Budi melihat unggahan seperti itu di berbagai media sosialnya. Dia pun sering ikut mengunggah hal seperti itu. Atau, mengunggah ulang dari yang dia lihat.

Intinya, Budi dan kawan-kawan seakan menyimpan dendam pada sistem zonasi. Mereka merasa tidak ikhlas bahwa anak-anak berprestasi (baik akademik maupun non-akademik) yang seharusnya bisa duduk di bangku SMA terbaik, justru malah tersingkirkan oleh anak-anak yang hanya mengandalkan Kartu Keluarga dekat SMA.

Sungguh, bagi mereka, ini adalah sistem yang belum siap untuk diterapkan di Indonesia. Jika tingkat kualitas semua sekolah negeri sudah merata, barulah sistem ini siap diterapkan. Tapi untuk saat ini, alih-alih menjadi gebrakan berkualitas, sistem zonasi justru tak habis-habis menjadi bahan sindiran berbagai pihak, terlebih pihak ‘korban’.

Sistemnya memang bagus, niatnya juga mulia. Tapi apa gunanya jika diterapkan di waktu dan situasi yang tidak tepat?

Hal membuat Budi miris adalah kenyataan bahwa dia berasal dari pelosok dan dia selalu jadi contoh bagi tetangganya. Dulu, dia sangat sering mendengar bahwa banyak anak-anak berusia di bawahnya yang mengaguminya, ingin sepertinya, dan hendak belajar sekuat tenaga demi bisa sepertinya. Tapi lihatlah kenyataan tahun ini? Mereka yang sudah mati-matian belajar untuk bisa mendapat SMA yang (maaf-maaf saja) lebih baik dari SMA daerahnya, kalah dari mereka yang rumahnya dekat SMA TOP.

Oke lah, Budi pun dengar bahwa ada jalur lain, yakni jalur prestasi. Tapi tetap saja, tidak seberapa kuotanya. Tetap, tetangga Budi banyak yang masih jadi korban.

Ada lagi hal yang lebih miris bagi Budi. Di kabupatennya, tak semua kecamatan memiliki SMA. Lalu bagaimana nasib anak-anak lulusan SMP di daerah tersebut? Berbagai program lanjutan mungkin saja diterapkan untuk meminimalisir dampak negatif dari sistem zonasi, namun tetap saja masih sangat banyak ‘korban’ di kabupaten Budi.

Budi tak terlalu paham bagaimana dengan kota atau kabupaten lain, tapi sepertinya sama saja. Ah, dia jadi khawatir jika sistem ini dilanjutkan untuk tahun-tahun mendatang. Dia jadi khawatir, akan jadi apa anak-anak pelosok yang... sejak sebelum ini saja sudah sulit mendapat pendidikan layak.

Tapi Budi hanyalah mahasiswa yang IPK-nya masih memprihatinkan. Dibanding ambil pusing memikirkan nasib bangsa, ada baiknya dia lebih memikirkan diri sendiri. Haha, mahasiswa lain juga banyak yang berpikiran seperti dia ‘kan? Pemikiran logis nan realistis.

Baca Juga: [OPINI] Alasan Mengapa Mahasiswa Berperan Penting Bagi Kemajuan Bangsa

Nursyifa Afati Muftizasari Photo Writer Nursyifa Afati Muftizasari

Lulusan SMA Negeri 1 Karanganyar, Solo. Berkuliah di Universitas Padjadjaran, Sumedang. Ikuti saya di Instagram @afa_mufti

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya