[OPINI] Bersyukurlah Jika Kamu Pernah Jadi Minoritas

Kita hidup berdampingan

Indonesia itu kaya. Bangsa yang heterogen dalam kaidah edukasi, sosio-ekonomi, topografi, hingga religi, yang berpadu membentuk jati diri. Konsep masyarakat yang majemuk tersebut, pada akhirnya, mengajarkan kita untuk menjunjung tinggi makna toleransi, atas nama keberagaman dalam tubuh Ibu Pertiwi. Apapun itu, kita tetaplah satu dalam suatu homogenitas, yakni sebagai Bangsa Indonesia. Bhinneka Tungga Ika, telah menjadi pegangan yang kuat ketika berada dalam konteks dimana kita menjadi minoritas di suatu komunitas mayoritas.

Nah, kitapun sama-sama sadari, Indonesia masih terus berbenah memperkokoh setiap sendi-sendi kenegaraannya. Salah satu upayanya adalah mengusahakan pemerataan pendidikan dan kesehatan hingga menjangkau ke daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Upaya ini ditempuh dengan cara mengutus mereka yang telah disaring melalui serangkaian seleksi untuk mengabdi ke ujung negeri dalam kurun waktu tertentu sesuai kompetensi masing-masing. Sebagian dari kamu, sepertinya pernah merasakan bagaimana aplikasi langsung dari salah satu pernyataan dalam kontrak kerja berbasis ikatan dinas, yang tak jarang menggoyahkan langkahmu, seperti ‘Bersedia di tempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia’.

Mungkin, pada awalnya kamu merasa begitu terikat. Namun, perlahan, kamupun mulai bersyukur karena telah di beri kesempatan luar biasa untuk lebih banyak belajar tentang esensi dari keberagaman; kita bersatu dalam perbedaan. Dan, dari sanalah makna Bhinneka Tunggal Ika tersebut akan terasa begitu pekat. Ketika kamu yang semula menjadi mayoritas di lingkungan yang membesarkanmu, sekarang justru sebaliknya. Ketika kamu, bahkan, tidak punya pilihan untuk beranjak dari situasi seperti itu; ada tujuan mulia, yang diamanahkan oleh Indonesia, untuk di pikul di pundakmu.

Kita bersatu dalam perbedaan.

Baca Juga: 10 Negara Minoritas Muslim yang Paling Ramah Bagi Wisatawan Muslim

Nah, bagi kamu yang Muslim, sepertinya hal berikut pernah kamu rasakan ketika berdinas di penempatan tugas yang mayoritas adalah non-muslim

[OPINI] Bersyukurlah Jika Kamu Pernah Jadi Minoritashttps://normantis.com

Bahkan, terkadang, hanya kamu yang beridentitas muslim dalam satu desa atau tak lebih dari lima orang dalam satu kecamatan. Satu hal yang pasti, perbedaan suasana lingkungan religi yang mencolok, membuatmu rindu setengah mati dengan suasana di tempat asalmu.

  1. Hal pertama yang ada di benakmu adalah, kiblat dimana? Kamu harus memutar otak menemukan kiblat karena tidak ada rumah ibadahmu di sekitar sana yang bisa dipedomani.
  2. Kamu juga harus siap sedia meng-install aplikasi jadwal masuk waktu shalat karena tidak ada adzan yang akan mengingatkanmu disana.
  3. Hal berikut yang menyita perhatianmu adalah tentang ‘makan’. Ada dilema tersendiri yang kamu rasakan, lantaran tinggal seatap dengan rekan yang berbatas keyakinan denganmu.
  4. Ketika rekanmu tengah memasak bahan makanan yang kamu tahu tidak bisa kamu konsumsi, tapi kamu juga perlu ke dapur untuk mengambil sesuatu. Disanalah, kamu terjebak dilema; mau pergi tapi segan, tidak pergi tapi butuh.
  5. Ada rasa canggung tersendiri ketika kamu dan rekanmu, tiba-tiba, tanpa sengaja, dihadapkan pada bahan makanan itu. Mungkin, karena kalianpun sama-sama belum terbiasa dengan perbedaan keyakinan.
  6. Sekalinya diberi kesempatan mengunjungi daerah dengan populasi muslim yang lebih banyak, yang pertama kamu cari selain masjid adalah rumah makan muslim! Makan besar!
  7. Di tempatmu dulu, adzan mengalun merdu dari toa masjid atau mushalla. Di tempatmu yang sekarang, justru nyaring lonceng gereja yang acap kali kamu dengar.
  8. Dirumahmu, ibumu tak pernah lupa membangunkanmu untuk shalat subuh walaupun sebenarnya kamu sudah bangun tanpa beliau harus menggedor pintu. Dirumah barumu, hanya alarm yang akan setia menemanimu.
  9. Mengikuti kegiatan remaja masjid pun kamu rindukan, ketika melihat mereka aktif dalam Komisi Pemuda Gereja.
  10. Ketika kamu usai menunaikan shalat subuh, di saat yang tak jauh berbeda kamu juga mendengar doa pagi mereka.
  11. Kalian mungkin akan semeja ketika sarapan menjelang berangkat kerja, kamu berdoa dengan menengadahkan tangan, dan rekanmu dengan menyilangkan jemarinya.
  12. Kamu teringat masa tadarus Al Qur’an bersama kawan-kawan kompleksmu, ketika melihat mereka pulang dari latihan koor.
  13. Saat bulan Ramadhan, cuma kamu yang berpuasa; sahur sendiri, puasa sendiri, berbukapun sendiri.
  14. Bagi pria, salah satu tantanganmu adalah ketika akan shalat Jumat, karena tidak ada satupun masjid yang berlokasi dekat dengan kediamanmu. Alhasil, kamu harus pintar-pintar mengatur waktu untuk pergi ke daerah yang memiliki masjid, dan kamupun merasa begitu lapang ketika berjumpa saudara seiman, walaupun harus berlelah-lelah dalam perjalanan menuju masjid.
  15. Kamu juga dijerat dilema, mau pergi ke masjid, tapi lokasinya jauh dan akses transportasi juga tidak lancar. Mau tetap di rumah, tapi rindu shalat tarawih berjamaah di masjid.
  16. Kamu harus rela bermalam di daerah yang berjarak cukup dekat dengan masjid supaya dapat mengikuti shalat ied pada keesokan harinya, atau kamu harus bergerak pagi-pagi sekali agar tidak terlambat mengikuti shalat ied.
  17. Kamu bahkan rindu opor ayam ibumu di hari lebaran! Mau dibuat seperti apapun, tetap tidak ada yang bisa menyamai masakan ibumu.
  18. Kamupun sempat canggung ketika menonton tayangan ceramah agama di televisi ketika rekan non-muslim mu juga berada di ruangan yang sama, begitupun sebaliknya dengan mereka.
  19. Bagi muslimah, menjadi satu-satunya yang berjilbab di tempat kerja atau bahkan di lingkungan tempat tinggal itu, rasanya sungguh ‘sesuatu sekali’ ~
  20. Bahkan, suatu ketika, berpapasan di jalan raya dengan pengendara motor yang juga mengenakan jilbab sudah membuatmu begitu damai.
  21. Bagi kamu yang berprofesi sebagai guru, mungkin kamu juga pernah merasakan perbedaan signifikan ketika memulai atau mengakhiri pertemuan dalam kelas. Seperti doa sebelum dan sesudah belajar yang menjadi sesuai keyakinan masing-masing, serta mungkin tidak ada lagi kebiasaan cium tangan ketika akan pulang jika jadwal mata pelajaranmu berada di penghujung jam pulang.
  22. Lagi, bagi kamu yang berprofesi sebagai guru, mungkin awalnya agak asing bagimu melihat siswi-siswimu dengan rok selutut dan lengan baju pendek serta rambut yang di kepang atau di kuncir, karena kamu biasanya melihat semua siswi-siswimu mengenakan kerudung dengan warna dan model yang sama di tempatmu dulu.
  23. Ucapan 'Assalamualaikum' yang dulu begitu familiar, sekarang ucapan 'Shalom' yang acap kali kamu dengar.
  24. Tak jarang, kamu juga sering dimintai pendapatnya dari sisi seorang Muslim ketika kamu dan rekanmu berbincang-bincang di tempat kerja. Kamupun sempat canggung dalam bertutur kata, karena kamu takut salah menyampaikan ajaran agamamu dan kamupun resah jika saja ada kata-katamu yang menyinggung perasaan rekanmu padahal kamu tak pernah bermaksud begitu. Duh, dilemanya itu loh.
  25. Dan, jujur saja, kamu pasti sempat khawatir akan jatuh hati pada dia yang berbeda iman denganmu. Duh, sakit!
  26. Namun, di balik semua itu, kamu bersyukur pernah di beri kesempatan menjadi minoritas. Kamu berkesempatan memaknai keberagaman di Indonesia secara lebih utuh.
  27. Kamu menemukan keluarga baru, yang mengarungi suka-duka kehidupan bersama. Pembentukan kepribadian kalian bertumbuh lebih kuat, kamu menjadi sosok yang ditempa dengan lebih mandiri di awal karirmu.
  28. Kamu berkesempatan untuk belajar secara langsung mengenai makna toleransi, yang tidak hanya dari tutur teori. Misalnya, walaupun mereka tidak paham dengan keyakinanmu, setidaknya menyempatkan membelikan menu berbuka puasa yang sederhana saja sudah membuatmu terharu. Dan, suatu ketika kamu bersedia di tinggal sendirian sebagai ‘penjaga kantor’ ketika mereka melaksanakan Kebaktian Akhir Bulan di aula.
  29. Tanpa kamu sadari, kamu pun mulai sedikit-banyak mengetahui tentang seluk-beluk keyakinan rekanmu, yang kelak membantumu untuk lebih cepat bersosialisasi ketika dihadapakan pada situasi yang sama suatu saat nanti, di tempat yang berbeda lagi. Ya, walau kamu tentu tetap berpegang teguh dengan agamamu.

Dan, tentu saja, keimananmu justru akan semakin pekat lantaran pada akhirnya kamu sadar hanyalah Tuhan tempatmu berserah diri ketika di hadapkan pada situasi seperti ini. Hikmahnya lagi, dengan semakin kuatnya pondasi agama dalam bathinmu, kamupun menjadi rutin menjalankan puasa sunnah Senin-Kamis, mengaji setiap selesai Shalat wajib, lebih istiqomah dengan jilbabmu, dan lain sebagainya.

Tuh, siapa bilang menjadi minoritas itu isinya pahit semua. Nah, kira-kira mana nih yang paling berkesan bagimu?

Baca Juga: Kurang Toleran Apa Minoritas di Indonesia?

Rahmadila Eka Putri Photo Verified Writer Rahmadila Eka Putri

Hai, salam kenal. Terima kasih sudah membaca tulisan saya. Mari terhubung melalui Facebook (Rahmadila Eka Putri), Instagram (@rahmadilaekaputri), ataupun Twitter (@ladilacious), kritik dan sarannya juga dipersilahkan, lho!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya