[OPINI] Merosotnya Minat Baca Generasi Muda, Haruskah Kita Prihatin?

Membaca itu penting, namun kita mengabaikannya

Tragedi Nol Buku. Ungkapan dalam hasil penelitian Taufik Ismail 67 tahun yang lalu. Tragedi tentang merosotnya minat baca setiap manusia di Indonesia, terkhusus generasi muda. Sayang, hingga sekarang masih belum terselesaikan problemanya.

Problema ini ibarat kebiasaan yang mendarah daging pada diri setiap generasi muda Indonesia. Kebiasaan yang berlarut-larut terjadi hingga menjadi penyakit, dan belum ditemukan obat yang tepat untuk menyembuhkannya. Haruskah kita masih prihatin terhadap merosotnya minat baca generasi muda tersebut?

Tentu. Perlu perhatian dari beberapa elemen penting negeri ini untuk memulihkan itu semua. Pertanyaannya, siapa yang akan bisa menyembuhkan penyakit yang sudah 67 tahun terjangkit dan kian hari kian menggigit? Perlu pemilihan obat yang tepat, pengobatan yang tepat, dan orang yang tepat dalam menyembuhkannya.

Setiap negara berlomba-lomba untuk menumbuhkan minat baca. Sebut saja Jepang, Finlandia, Korea, dan negara-negara lain, yang menganggap penting kegiatan membaca. Mereka membaca di mana saja dan kapan saja.

Jepang, demikianlah sebutan bagi negara sakura. Namun kita tidak membahas sakuranya, tetapi membahas betapa mereka mementingkan membaca sebagai rutinitas wajib yang mereka lakukan setiap hari. Di Jepang, bus dipenuhi oleh orang-orang dari berbagai latar belakang kesibukan.

Namun di atas bus tersebut, mereka melakukan satu rutinitas yang sama yaitu membaca. Hal yang sama juga akan kita temui di Korea dan negara lainnya. Kebiasaan ini sebagai patokan pertumbuhan pendidikan yang baik dan berkelanjutan. Pendidikan berpatokan terhadap kecerdasan bangsa.

Wawasan luas, pemahaman karakter, dan pengetahuan intelektual adalah beberapa indikator yang terjabar dari kecerdasan tersebut. Semua hal itu akan terwujud jika kita mementingkan kegiatan membaca. Rezim kebahasaan telah menjamahi lingkup bahasa dan sastra di Indonesia begitu lama.

Sejak zaman purba berakhir, kita telah mengenal tulisan, huruf dan angka. Beberapa tulisan sudah dipublikasikan mengenai perjuangan bangsa, pemberontakan, gencatan, dan upaya merebut kemerdekaan.

Surat kabar adalah bukti resmi bahwa dahulu, bangsa Indonesia pernah berjuang untuk membaca. Informasi- informasi penting disebar melalui surat kabar. Namun perlu diam-diam untuk dapat membacanya. Hal tersebut terjadi karena ketakutan akan hukuman yang dilakukan koloni Belanda.

Mengapa di zaman reformasi sekarang, saat kita sudah bebas bersuara, bebas bertindak, bebas melakukan apa saja malah menutup mata dan telinga untuk kegiatan membaca? Sedang para pahlawan terdahulu masih membaca saat nyawanya terancam di bilah senapan.

Membaca tidak hanya wujud dari literasi semata, namun lebih dari itu. Setiap orang yang sukses terlahir dari kegemarannya dalam membaca. Membaca membuat kita bisa menggenggam dunia. Banyak pemimpin yang lahir dari kegemaran membacanya.

Soekarno sebagai sosok politikus dan ahli hukum yang gemar membaca adalah presiden pertama Indonesia. Hatta adalah seorang budayawan yang gemar membaca dan akhirnya menjadi wakil presiden pertama Indonesia.

BJ Habibie seorang ahli merakit pesawat terbang juga mampu menjadi presiden Indonesia karena gemar membaca. Membaca adalah kata kerja dalam memahami dunia dan seisinya. Begitu penting minat baca ditumbuhkembangkan pada diri setiap generasi muda Indonesia.

Sayang sekali, Indonesia adalah negara berkembang yang minat baca penduduknya berada pada peringkat 60 dari 61 negara di dunia. Sungguh fenomena kemerosotan yang sangat luar biasa.

Angka kemerosotan di atas membuat kita berada jauh di bawah negara-negara lain. Harga diri bangsa seumpama terjun bebas meninggalkan cita-cita luhur bangsa kita sendiri. Rona malu mestinya tergambar dari setiap muka kita yang masih memikirkan kemajuan Indonesia.

Membaca ibarat memahami peta dunia dan segala titik-titik pentingnya. Membaca itu penting, namun kita mengabaikannya. Kita punya banyak penulis berkualitas. Kita punya banyak buku berbobot. Kita adalah negara dengan berjuta penulis bertalenta yang telah menebar ilmu-ilmu melalui buku-bukunya, dan disebar ke setiap pelosok kota.

Kita wajib malu jika peringkat kita dalam membaca terbilang demikian rendahnya. Mengakulah bahwa kita kalah. Kita masih berada jauh di bawah mereka, negara-negara yang masih menganggap penting budaya membaca.

Negara literat, demikianlah sebutan bagi Finlandia. Negara yang penduduknya memiliki minat baca tertinggi di dunia. Minat baca di Finlandia ditumbuhkembangkan sejak dini. Orangtua adalah role mode bagi anak- anaknya. Dongeng sebelum tidur jadi cara finlandia untuk membiasakan budaya membaca bagi anak-anak.

Dongeng sebelum tidur, kalimat yang sering kita dengar namun tidak kita laksanakan. Finlandia adalah negara yang mewajibkan setiap orangtua melakukan itu kepada anak-anaknya sebelum tidur. Kita lihat fenomena di Indonesia belakangan ini.

Orangtua sibuk dengan pekerjaan, hingga lupa satu kewajiban utama yaitu menjadi role mode bagi anak-anaknya. Apakah orangtua adalah orang yang tepat untuk menyembuhkan penyakit ini? Mohon bersabar, jangan cepat menarik kesimpulan.

Anak-anak adalah pribadi peniru. Ada ungkapan yang menyatakan bahwa buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya. Begitu juga dengan minat baca. Orangtua terlebih dahulu harus gemar membaca, barulah anak- anaknya akan meniru kebiasaan tersebut.

Sayang sekali, Indonesia adalah negara pemakai aplikasi Facebook terbesar di dunia. Tamparan keras bagi nasib bangsa ke depannya, telak membuat kita putus asa. Bagi orangtua yang gemar sosial media, siap-siap saja untuk tiruan sikap yang dilakukan anak-anaknya, bahkan akan lebih dari itu.

Sejatinya, sosial media dan seluk-beluknya adalah perusak terhebat jika tidak digunakan sesuai dengan semestinya.

Sungguh luar biasa susah menumbuhkan minat baca bagi setiap generasi muda. Mengubah kebiasaan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Gemar gadget susah ditukar dengan gemar baca. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menyelesaikannya. Ucapan salut pantas diberikan sebagai penghargaan atas upaya keras pemerintah dalam menumbuhkan minat baca.

Perpustakaan keliling sudah terpampang jelas di sudut-sudut kota. Buku-buku sudah disebar ke sekolah-sekolah seluruh Indonesia. Perpustakaan daerah telah berdiri di setiap kota madya. Hal-hal unik sudah dilakukan sebagai wujud menumbuhkan minat baca generasi muda.

Semua itu sia-sia jika tidak dibarengi dengan kerja sama orangtua sebagai pemasok utama pendidikan bagi anak mereka. Orangtua lagi dan lagi adalah elemen pertama yang wajib menanamkan minat baca kepada generasi muda demi kemajuan bangsa ke depannya.

Sabang hingga merauke adalah nusantara dengan berjuta penduduk yang lebih gemar menyapa orang-orang lewat sosial media dibanding membaca buku sebagai jendela dunia. Tapi tidak banyak yang tahu bahwa dengan membaca akan memberi lebih banyak keuntungan.

Dicari satu yang dapat banyak adalah prinsip membaca buku. Hal ini berbanding terbalik dengan prinsip internet yang luar biasa instan. Perkembangan teknologi membuat setiap orang terlena. Keseruan dan keasyikan bermain games membuat anak mau berlama-lama di depan layar terang itu.

Hingga akhirnya terulang kembali ungkapan Taufik Ismail lalu, Tragedi Nol Buku. Nyata memang, daya pikat gadget lebih kuat dibanding buku.

Jika permasalahan terletak pada daya pikat buku yang lemah, mungkin solusinya sudah lama diterapkan oleh pemerintah dan elemen terkait. Namun mengapa tingkat minat baca masih saja rendah? Berarti penyakit ini belum diobati sampai ke akar-akarnya.

Perlu banyak mendalami sebelum mencari tahu obat dari penyakit yang sarat untuk disembuhkan ini. Jika begitu tragedinya, berarti Indonesia perlu lebih fokus membahas peristiwa ini. Hal buruk mengenai nasib bangsa akan terjadi akibat keteledoran satu aspek saja yaitu membaca.

Orangtua, adalah role mode bagi anaknya. Finlandia sukses menumbuh kembangkan minat baca berkat campur tangan orangtua. Mungkin negara kita mesti meniru gaya Finlandia dalam hal ini. Apakah salah jika kita meniru kebaikan?

Minat baca tidak terlahir instan. Cara menumbuhkan minat baca beraneka ragam, namun susah untuk mencari solusi tepat, akurat dan mendalam. Butuh kegigihan dari berbagai elemen seperti pemerintah, guru, dan terkhusus orangtua untuk menumbuhkembangkannya.

Penanaman gemar membaca sejak dini adalah satu cara menumbuhkan minat baca anak berkelanjutan. Orangtua adalah role mode bagi anaknya. Jika demikian, orangtua harus rajin membaca. Sehingga budaya baca menjadi kebiasaan orangtua dan anak yang berkelanjutan.

Tragedi nol buku akan hilang dan sirna, dan minat baca akan tumbuh dan berkembang. Hingga terwujudlah Indonesia yang cerdas, intelektual, berkarakter, berpengetahuan, dan berwawasan global.

Unni Erelef Photo Writer Unni Erelef

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya