[OPINI] Ancaman Hoax Terhadap Stabilitas Nasional

Hoax berlindung dibalik kata "kebebasan berbicara"

Teknologi saat ini semakin berkembang  seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini adalah fenomena global yang juga terjadi di Indonesia. Dengan berkembangnya teknologi, semakin berkembang pula kemudahan dalam mendapatkan informasi dan lebih leluasa untuk melakukan kebebasan berbicara atau Freedom of Speech melalui media maya yang biasa disebut “Ruang Siber”. Kehadiran alat komunikasi berbasis gawai digital telah mengubah cara masyarakat dalam berkomunikasi dengan hanya menggunakan sentuhan jari, maka tersebarlah dengan mudah informasi yang ingin kita sampaikan. Kita juga dapat lebih mudah untuk mengungkapkan pikiran dan aspirasi sebagai warga negara yang dekmokratis dengan cara mengangkses diruang publik untuk mengungkapkan kehendak politik kita. 

Berkembangnya teknologi informasi di Indonesia ini berkedudukan sebagia pedang bermata dua. Selain perkembangan ini dapat membuka dan melebarkan ruang demokratis dan memperluas partisipasi rakyat dalam mengemukakan pendapat, disisi lain teknologi informasi juga dapat menjadi media penyalahgunaan kebebasan berdemokrasi dengan menyebarkan berita-berita bohong atau berita yang mengandung kebencian didunia maya. Penyebaran berita hoax ini berlindung dalam kata “kebebasan berbicara” padahal lebih tepatnya kebebasan dalam memfitnah dan membenci. Di Indonesia, hoax berdampak sangat meresahkan bagi masyarakat, bahkan dapat menyebabkan korban jiwa, terancamnya disentegrasi bangsa dan terganggunya stabilitas keamanan nasional.

Hoax sering diartikan oleh masyarakat sebagai berita bohong atau berita palsu. Dalam dunia jurnalistik hoax bukanlah hal yang baru. Hoax dapat merusak prinsip-prinsip jurnalistik dan dapat menghilangkan kepercayaan dari masyarakat. Hoax merupakan kata kerja yang memiliki arti menipu melalui rekayasa, fiksi yang memikat dan nakal atau memainkan kepercayaan. Hal ini sangat membahayakan mengingat berita hoax dapat dengan mudahnya tersebar didunia maya atau ruang siber dan menyebabkan kesalahpahaman sehingga dapat memicu konflik dan keretakan integrasi bangsa Indonesia. 

Di Indonesia fenomena penyebaran hoax ini semakin menjamur ketika kondisi politik sedang memanas, misalnya menjelang Pilkada, Pileg, atau Pilpres. Contohnya saja pada Pilpres 2019 ini diwarnai berita-berita bohong atau fitnah dan cenderung mengdiskreditkan pihak yang dituju, baik yang dialami pihak Joko Widodo-Ma'ruf Amin maupun kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Berita hoax bertebaran dengan sangat cepat didunia siber dan berisi hal-hal yang saling menjatuhkan kedua belah pihak. Contohnya berita hoax yang menyerang nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin tentang adanya berita tujuh container berisi surat suara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang sudah tercoblos nomor urut 01 (Kompas, 16/01/2019). Berita hoax tersebut menyebar melalui WhatsApp berupa rekaman suara yang menyatakan adanya 7 buah container di Tanjung Priok yang berisi kartu suara yang sudah dicoblos dibagian nomor 01. 

Berita hoax juga menyerang kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, yaitu tentang berita dimedia sosial dan pesan berantai menampilkan tayangan hasil Quick Count hasil Pemilihan Umum 17 April 2019 pada laman berita Metro TV yang memperlihatkan bahwa suara terbanyak ada pada Pasangan Calon nomor urut 02, yaitu Pasangan Prabowo-Sandi (Liputan 6, 20/04/2019)

 Selain berita hoax berbau politik, berita hoax mengenai isu-isu sensitif lainnya tak kalah membahayakan. Dalam kasus yang terjadi pada 23 Seprember 2019 di Wamena, Papua terjadi suatu kericuhan yang cukup besar yang diakibatkan berita hoax. Berita tersebut berisi tentang kata-kata rasis yang dilontarkan oleh seorang guru disalah satu sekolah di Papua yang setelah diselidiki oleh pihak kepolisian setempat sudah dipastikan itu tidak benar. 

"Guru tersebut sudah kita tanyakan dan tidak ada kalimat rasis, itu sudah kita pastikan. Jadi kami berharap masyarakat di Wamena dan di seluruh Papua tidak mudah terprovokasi oleh berita-berita yang belum tentu kebenarannya," tutur Kapolda Papua Irjen Rudolf A Rodja (Kompas, 23/9/2019).

Tidak ada kata-kata rasis yang di lontarkan oleh guru tersebut. Berita itu tersebar dan menyulut kemarahan para siswa SMA PGRI dan warga setempat yang terprovokasi sehingga terjadilah demo yang berakhir dengan kerusuhan pada 23 September 2019 sekitar jam 09.00. Kericuhan ini pecah di beberapa titik, yaitu di kantor Bupati, Jayawijaya dan Jalan Sudirman.

Aksi turun kejalan yang berakhir dengan kericuhan ini berlansung dengan sangat berutal. Terjadi pembunuhan, penganiayaan, pembakaran dan pengrusakan fasilitas-fasilitas umum. Kantor bupati, rumah-rumah warga juga menjadi sasaran pembakaran sebagai bagian dari tindakan anarkis para pengunjuk rasa. Warga yang tidak besalah harus kehilangan rumah mereka bahkan nyawa mereka. Dari kejadian ini terdapat 21 orang yang tewas dan sekitar 65 orang yang luka-luka. Selain itu, kerugian materi juga sangat besar. Karena kejadian itu, para warga setempat terpaksa diungsikan di kantor polisi dan Kodim terdekat. Pengungsi tersebut sejumlah sekitar 1.500-an orang. Disana mereka mengalami kekurangan bahan makanan dan kelaparan. 

Kasus tentang Pilpres 2019 dan kerusuhan di Wamena ini menyadarkan kita bahwa sangat berbahayanya berita hoax dan dapat menyebabkan konflik. Membuat produk hukum adalah solusi yang efektif dalam mengatasi dan menekan penyebaran berita hoax. Salah satu produk hukum tersebut adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2011 tentang penyelenggaraan intelijen negara yang bersifat nasional yaitu BNI (Badan Intelijen Negara). Dengan adanya BIN, jika terjadi penyebaran berita hoax atau sejenisnya didunia maya maka BIN akan mengambil langkah proteksi. Selain BIN, pemerintah juga memiliki Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang didirikan pada 2017, Kemkominfo, dan Satgas Anti-Hoax.

Bersikap kritis dan bersikap skeptis juga sangat membantu menekan penyebaran berita hoax. Informasi-informasi yang kita dapat seharusnya tidak langsung ditelan mentah-mentah. Kita harus memastikan kebenaran isi berita tersebut. Selain itu, kita tidak boleh mudah terpengaruh atau terprovokasi jika mendengar isu-isu yang kebenarannya masih harus ditelusuri lebih lanjut.  Jika hal ini dapat dilakukan, mata rantai penyebaran berita hoax akan terhenti oleh individu yang kritis. Jika tindakan pemutusan ini dilakukan oleh semua masyarakat, maka penyebaran berita hoax dapat ditekan penyebarannya. Terbentuknya masyarakat yang kritis akan menekan resiko terprovokasinya masyarakat dalam menerima berita hoax dan  memperkuat proses demokrasi serta integrasi bangsa.

Baca Juga: [OPINI] Pendidikan & Esensi Kemanusiaan

Rania Malik Photo Writer Rania Malik

Menulislah, maka sejarah akan mengingatmu

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya