Pandemik dan Keluarga Kecilku

#SatuTahunPandemik COVID-19

Genap setahun pandemik COVID-19 melanda warga dunia. Setelah adaptasi kebiasaan baru mulai terbiasa di rumah, pandemik tak juga kunjung mereda. Virus corona justru mengganas. Masalah lain pun muncul. Terutama masalah di keluarga kecilku.

Anak bungsu saya yang setiap hari terbiasa bermain di luar rumah sebelum pandemik, terpaksa bermain di dalam rumah. Mereka stres, mungkin sama juga dialami anak-anak lainnya.

Tinggal di zona merah di Depok, Jawa Barat, membuat saya lebih ketat urusan protokol kesehatan di rumah. Misalnya saja pergi dari supermarket atau ke luar rumah, saya harus mandi dan ganti baju. Berapa kali dan kapan pun saya ke luar rumah. Tak ada toleransi. Ini bagian dari edukasi kepada anak-anak saya juga. Urusan belanja kebutuhan rumah pun saya minta istri saya belanja secara daring.

Pandemik benar-benar menuntut saya berpikir kreatif dan bekerja keras. Sebut saja urusan ngemong anak-anak di rumah. Ini jadi masalah baru. Anak-anak bosan bermain di ruang tertutup.

Celakanya, handphone tak jarang jadi sasaran untuk mengobati kejenuhan mereka, jika saya sudah kehabisan ide permainan lain atau istri dan saya sibuk. Anak saya yang bungsu mulai kecanduan HP, meski saya dan istri sering membuat kegiatan edukasi seperti membuat kerajinan, melukis, hingga membaca buku atau mendongeng.

Sesekali untuk mengurangi stres, saya ajak mereka ke tempat wisata alam terbuka dengan protokol kesehatan ketat, saat saya libur kerja.

Untungnya, kantor memberikan kelonggaran bekerja dari rumah (work from home/WFH) meski ada tuntutan kerja lebih. Jelas ini menuntut konsentrasi dan energi yang lebih pula. Bekerja profesional itu keharusan. Saya tak ingin urusan kehidupan lain mengganggu pekerjaan, saya berusaha membagi waktu.

Tapi kesalahan selalu saja menghampiri saat saya bekerja. Saya mencoba bekerja lebih hati-hati agar tak ada kesalahan, namun lagi-lagi melakukan kesalahan yang sama. Kepala saya seperti tidak bisa berpikir. Kesal bercampur sedih. Saya tak tahu penyebabnya. Mungkin depresi.

Akhirnya, saya coba mencari suasana lain. Siapa tahu bisa mengobati. Saya pergi ke kampung halaman, refreshing sekaligus silaturahmi dengan orangtua yang kebetulan tinggal di zona hijau wilayah Jawa Tengah.

Di kampung, kedua anak saya terlihat ceria bisa bermain ke mana saja. Terutama ke tempat alam terbuka seperti ke sawah, sungai, kebun, hingga peternakan. Tapi kondisi saya belum ada perubahan signifikan. Saya malah jatuh sakit. Dua pekan terbaring di kasur, kepala saya begitu pusing.

Dokter memvonis saya vertigo. Sampai sekarang pun pusing di kepala belum hilang total. Saya harus berhenti dua jam sekali saat berada di depan laptop, ketika kepala mulai pusing. Saya mencoba terapi dengan berolah raga ringan. Pagi hari sebelum bekerja, saya berjalan kaki sejauh enam hingga tujuh kilometer. Tapi pusing di kepalaku belum juga hilang. Apalagi setelah menunduk atau berbaring, kepala seperti diguncang gempa.

Kabar baiknya, kami akan dianugerahi seorang bayi laki-laki lagi. Alhamdulillah. Kini usia kandungan istri saya sudah berjalan tujuh bulan. Dokter memperkirakan, istri saya melahirkan akhir Mei.

Tapi ngeri-ngeri sedap. Muncul rasa khawatir persalinan di tengah pandemik. Saya dan istri terus mencari info soal tips hamil di tengah pandemik, juga tak tak lupa terus berdoa agar dimudahkan proses persalinan nanti, dan kami semua dilindungi dari COVID-19. Semoga ini jadi penyemangat saya di tahun-tahun sulit ini dan pandemik segera berakhir!

#SatuTahunPandemik adalah refleksi dari personel IDN Times soal satu tahun virus corona menghantam kehidupan di Indonesia. Baca semua opini mereka di sini.

Baca Juga: Perjuangan Seorang Mizi Tetap Produktif di Tengah Pandemik

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya