[OPINI] Anies Ingin Satukan Warga Tapi Masih Pakai Istilah Pribumi

Gak nyambung, dong?

Pidato politik Anies Baswedan seusai dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta viral di media sosial. Bukan karena ia dianggap berhasil mewujudkan janjinya untuk "merajut kembali tenun kebangsaan", tapi justru disebabkan oleh retorika yang digunakannya.

Anies, yang kemenangannya dibantu oleh sentimen anti-Ahok dan pernyataannya terkait Al Maidah ayat 51, mengeluarkan pidato yang membuat warga semakin terpolarisasi. Mantan menteri pendidikan era Jokowi tersebut mengaku berniat untuk menjadi gubernur bagi seluruh warga Jakarta, tapi isi pesannya justru kontradiktif karena ia menggunakan dikotomi pribumi dan non-pribumi.

Ia membangun citra sebagai pemimpin pemersatu dengan mengesankan pemimpin sebelumnya adalah pemecah belah.

[OPINI] Anies Ingin Satukan Warga Tapi Masih Pakai Istilah PribumiANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Dalam pidatonya, Anies berkata,"Ikatan yang kemarin sempat tercerai, mari kita ikat kembali. Mari kita rajut kembali. Mari kita kumpulkan energi yang terserak menjadi energi yang terkumpul untuk membangun kota ini bersama-sama."

Sentimen bahwa banyak warga Jakarta yang dipinggirkan oleh pemerintahan Ahok-Djarot sudah dibangun oleh Anies sejak masa kampanye. Ia, misalnya, pernah berkata bahwa "pemimpin harus merangkul, bukan memukul".

Itu diucapkannya beberapa kali, salah satunya ketika debat Pilkada pada 27 Januari lalu untuk menyindir Ahok, kebijakannya soal penggusuran, serta ucapannya terkait memilih pemimpin non-Muslim. Anies menegaskan selama ini Pancasila belum terwujud di Jakarta, dan ia yang berniat untuk mewujudkannya.

[OPINI] Anies Ingin Satukan Warga Tapi Masih Pakai Istilah PribumiANTARA FOTO/Handout/Setpres/Agus Suparto

"Di kota ini, Pancasila harus mengejawantah. Pancasila harus menjadi kenyataan. Setiap silanya harus terasa dalam keseharian," ujarnya. Ia lalu berkata bahwa misinya adalah untuk mewujudkan keadilan sosial.

Menurutnya, sila ini baru bisa terealisasi jika "ada rasa kemanusiaan, hadir rasa keadilan bagi seluruh rakyat tanpa ada yang terpinggirkan, terugikan, apalagi yang tidak dimanusiakan dalam kehidupannya". 

Baca juga: Siapa Pribumi Asli Indonesia yang Sebenarnya?

Semuanya sia-sia ketika ia masih menggunakan istilah pribumi untuk menciptakan perbedaan antara "kita" vs. "mereka".

[OPINI] Anies Ingin Satukan Warga Tapi Masih Pakai Istilah PribumiANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Jakarta adalah hot spot - sebuah titik panas di mana pertarungan politik bukan lagi hanya jadi perhatian warganya, tapi juga warga Indonesia lainnya. Apalagi karena statusnya sebagai ibu kota negara yang menjadi melting pot atau tempat bertemunya manusia dari berbagai suku, ras, dan agama.

Maka, iklim politik di sana pun tak hanya mempengaruhi yang ber-KTP Jakarta. Tragisnya, sang gubernur yang baru dilantik justru bermain-main dengan dikotomi antara "kita" vs. "mereka".

Ia dengan jelas menyebut bahwa "Jakarta ini satu dari sedikit kota di Indonesia yang merasakan kolonialisme dari dekat" di mana "penjajahan di depan mata itu terjadi di Jakarta selama ratusan tahun" dan "kolonialisme itu dirasakan sehari-hari".

Kemudian, keluarlah pernyataannya yang paling membuat geger: "Karena itu bila kita merdeka, janji-janji itu harus terlunaskan bagi warga Jakarta. Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan, kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri."

Melihat kondisi politik saat ini, pidato Anies tersebut tak bisa sekadar dibaca sebagai pengingat akan masa penjajahan Belanda atau Jepang di masa lalu. Pernyataannya itu dengan cermat menargetkan orang-orang tertentu untuk melegitimasi kekuasaannya.

[OPINI] Anies Ingin Satukan Warga Tapi Masih Pakai Istilah PribumiANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Tidak bisa dibaca demikian karena ia dengan spesifik menilai warga Jakarta adalah yang paling menderita akibat penjajahan. Tidak bisa dibaca demikian karena Anies tidak cukup bodoh untuk tidak mengetahui bahwa lawannya, Ahok, dicap membela konglomerat-konglomerat keturunan Tionghoa.

Anies juga tidak cukup bodoh untuk tak memahami sejarah dikotomi pribumi dan non-pribumi. Ia juga tak cukup bodoh untuk tak mengerti bagaimana dikotomi itu digunakan sepanjang sejarah untuk membedakan "kita" yang paling berhak atas Indonesia, dan "mereka" yang hanya menumpang dan mengambil keuntungan.

Ini semakin ditegaskan oleh Anies ketika ia mengutip pepatah Madura. "Itik se atellor, ayam se ngerremmi. Itik yang bertelor, ayam yang mengerami. Kita yang bekerja keras untuk merebut kemerdekaan, kita yang bekerja keras untuk mengusir kolonialisme, kita harus merasakan manfaat kemerdekaan di ibu kota ini," katanya.

Setelah itu, menurut saya, apa yang diucapkan Anies tak lagi penting. Beberapa orang menyebut ia tak berhak berbicara tentang pribumi sebab ia keturunan Arab. Beberapa lainnya mengklaim pejabat pemerintah lain pernah menyinggung pribumi dan semua baik-baik saja.

Namun, keduanya tak bisa dijadikan dasar untuk mengecam atau mendukung pernyataan Anies. Mengapa? Sebab sudah saatnya kita tak lagi memperdebatkan perkara siapa pribumi dan non-pribumi. Sudah cukup kita menormalisasi pernyataan ceroboh para pejabat atau politisi.

Bukan karena urusan itu sudah selesai saat ada Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998, tapi karena tujuan dari dikotomi itu adalah untuk mengotak-otakkan manusia Indonesia berdasarkan suku, agama dan ras kita demi perebutan kekuasaan. 

Baca juga: Ramai #CiriCiriPribumi, Netizen Tunjukkan Konsep Pribumi Tak Lagi Relevan

Topik:

Berita Terkini Lainnya