Keberingasan Oknum Aparat saat Berhadapan dengan Para Petani, Pantaskah?

Melindungi dan mengayomi (?)

Saat kita disibukkan dengan investigasi Ahok, ide-ide tak masuk akal Ahmad Dhani, atau demonstrasi FPI, oknum aparat negara menyerbu para petani di Desa Mekar Jaya, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara pada 18 November 2016. Kejadian ini hanya berselang sehari dari peristiwa serupa di Desa Sukamulya, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Tak hanya menyerbu untuk menggusur paksa, mereka juga melakukan kekerasan langsung terhadap para petani yang hanya ingin mempertahankan haknya.

1.500 aparat kepolisian dan TNI dikerahkan dalam penyerbuan yang melukai 13 orang petani.

Keberingasan Oknum Aparat saat Berhadapan dengan Para Petani, Pantaskah?spi.or.id

Dikutip dari Tempo.co, Kepolisian Resor Langkat dan TNI dari LINUD Raider mengerahkan 1.500 personel untuk menyerbu dan menggusur lahan petani anggota Serikat Petani Indonesia di Langkat. Aparat juga membawa serta puluhan alat berat. Penyerbuan itu pun memakan korban di mana ada 13 orang petani terluka, termasuk satu anak-anak dan tiga wanita karena mereka tak ingin digusur.

Seperti yang tertulis dalam situs Serikat Petani Indonesia (SPI), penggusuran paksa oleh aparat hampir terjadi selama beberapa kali, tapi SPI Langkat berhasil menjelaskan duduk perkara konflik tanah ini. Namun, kali ini kepolisian tak lagi menggunakan cara-cara damai dan justru melakukan kekerasan secara langsung terhadap para petani.

Ketua Badan Pengurus Cabang (BPC) SPI Kabupaten Langkat, Suriono, mengaku bahwa aparat mengusir para petani yang dianggap menghalangi upaya penggusuran dengan memukul dan menendang mereka. Akibatnya, sebagian besar dari mereka mengalami luka lebam bahkan pecah kepala. Salah satu petani yang bernama Sadikun tak hanya terluka fisik, tapi juga ditangkap aparat.

Aparat negara justru membela perusahaan asing yang ingin menguasai lahan pertanian.

Keberingasan Oknum Aparat saat Berhadapan dengan Para Petani, Pantaskah?koran-sindo.com

Zubaidah, Ketua DPW SPI Sumatra Utara, menuturkan bahwa konflik pertanahan di Langkat dipicu oleh semakin gencarnya ekspansi perusahaan perkebunan luar negeri. Awalnya, sejak tahun 1998 mereka berseteru dengan PTPN II Kebun Gohor Lama yang dimiliki negara . Kemudian, PT Langkat Nusantara Kepong dari Malaysia mengambil alih dan melakukan semua cara untuk menggusur petani. Berdasarkan keterangan Zubaidah, PTPN II Kebun Gohor Lama juga menyerobot lahan seluas 554 hektar.

Ia pun mengaku merasa miris karena rupanya aparat justru lebih membela kepentingan perusahaan asing dibandingkan rakyat Indonesia sendiri, terlebih ketika kepentingan asing itu tak memiliki dasar hukum yang jelas. SPI Langkat justru yang berinisiatif untuk meminta membawa sengketa ini dibawa ke Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Langkat agar memperoleh kejelasan. Namun, aparat yang dipimpin Kabag OPS Polres Langkat memilih tetap meneruskan pemukulan dan penggusuran.

Pemerintah Sumatra Utara hanya memberi pernyataan normatif.

Keberingasan Oknum Aparat saat Berhadapan dengan Para Petani, Pantaskah?satuislam.org

Dikutip dari Harian Analisa, Gubernur Sumatra Utara, Tengku Erry Nuradi, meminta agar semua pihak menahan diri untuk tidak terprovokasi terkait kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat terhadap petani. Ia menyarankan mereka untuk mengikuti aturan hukum yang berlaku. Ketua Fraksi PAN DPRD Sumatra Utara yang berasal dari Langkat, Syah Afandin, juga menyatakan bahwa persoalan ini bisa diselesaikan secara persuasif dan penuh kesabaran.

Baca Juga: Setelah MA Kabulkan Gugatan Warga Kendeng, DPR Justru Dukung Pembangunan Pabrik Semen

Di Majalengka, petani juga menjadi korban buasnya oknum aparat negara.

Keberingasan Oknum Aparat saat Berhadapan dengan Para Petani, Pantaskah?mongabay.co.id

Serikat Petani Indonesia melaporkan bahwa Desa Sukamulya di Kabupaten Majalengka adalah benteng penolakan terakhir. Sepuluh desa lain menyerah pada penggusuran lahan pertanian yang akan digunakan untuk proyek Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB). 1.200 personel gabungan dari TNI, Polri dan Satpol PP dikerahkan untuk melawan petani Sukamulya yang menolak dilakukannya pengukuran lahan.

Kemudian aparat menembakkan gas air mata, melakukan pemadaman listrik, sweeping dan pendirian tenda aparat di tengah pemukiman penduduk sebagai upaya teror terhadap warga sekitar. Akibatnya, belasan petani terluka dan enam orang lainnya ditangkap. Tak hanya itu. Tindakan intimidasi yang dilakukan aparat juga memberi dampak trauma bagi warga, utamanya anak-anak dan perempuan.

Petani Sukamulya menolak menyerahkan lahannya karena tak pernah ada kesepakatan dengan pemerintah.

Keberingasan Oknum Aparat saat Berhadapan dengan Para Petani, Pantaskah?kpa.or.id via rappler.com

Iwan Nurdin, Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria, angkat bicara. Kepada BBC Indonesia dirinya menyebut bahwa warga selalu menolak adanya kegiatan pengukuran apalagi penggusuran karena tak pernah ada sosialisasi sebelumnya. Pemerintah juga tak pernah menegosiasikan jumlah uang ganti rugi yang akan diberikan. Ia juga menambahkan bila lahan sudah diukur, berarti sudah ada kesepakatan. Padahal, faktanya tak demikian.

Iwan pun menyebutkan pihaknya telah meminta waktu untuk berdialog dengan pemerintah, tapi hingga kini tak pernah membuahkan hasil. Ia juga menilai bahwa intimidasi yang dilakukan oleh pemerintah dengan mengerahkan ribuan aparat itu dilatarbelakangi oleh penolakan secara terus-menerus oleh para petani setempat. Wagub Jawa Barat Deddy Mizwar sendiri mengeluarkan pernyataan yang justru tak memihak mereka dengan menyebut para petani bukan pemilik lahan.

Pada Februari 2016, aparat bentrok dengan para petani di Kulon Progo, Yogyakarta.

Keberingasan Oknum Aparat saat Berhadapan dengan Para Petani, Pantaskah?Kuntadi/Okezone

Seperti dikutip dari okezone.com, ada 15 orang petani terluka setelah bentrok dengan aparat ketika mereka melakukan penolakan terhadap pematokan tanah yang digunakan untuk Bandara Nyi Ageng Serang di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo. Para petani tersebut adalah anggota dari organisasi Wahana Tri Tunggal. Salah satu warga yang mengecewakan tindakan aparat menilai mereka dianggap sebagai kelompok masyarakat liar sehingga pemerintah menurunkan ribuan polisi untuk menundukkan mereka.

Kemarin (22/11), ratusan warga Kulon Progo kembali protes di depan Pengadilan Negeri Wates. Hingga kini belum ada titik terang mengenai persoalan ini. Pemerintah masih belum mencapai kata sepakat mengenai hubungan antara Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 dengan perda yang mengatur tentang kepemilikan tanah Paku Alam dan Sultan yang disengketakan selama ini.

Pantaskah aparat negara melakukan tindakan kekerasan seperti itu?

Keberingasan Oknum Aparat saat Berhadapan dengan Para Petani, Pantaskah?jurnalasia.com

Benang merah dari ketiga sengketa ini adalah: 1) ketidakjelasan status tanah karena masing-masing pihak masing saling klaim; 2) tidak ada kesepakatan mengenai ganti rugi, serta; 3) aparat melakukan tindakan kekerasan untuk mengintimidasi para petani yang menolak mereka.

Pertanyaannya, pantaskah aparat keamanan yang digaji dari pajak rakyat melakukan tindak tidak manusiawi seperti itu? Pastilah tidak. Para petani memiliki hak untuk memperjuangkan apa yang mereka yakini sebagai hak milik mereka dan negara wajib memberi perlindungan pada mereka. Lahan masih disengketakan. Semestinya pemerintah melaksanakan tanggungjawab moral untuk setidaknya menyelesaikan persoalan ini dengan baik-baik dan menghukum aparat yang terbukti melakukan kekerasan. Hal ini penting jika negara tak ingin dicap gagal lebih jauh dalam menegakkan hak asasi manusia di Indonesia.

Baca Juga: Orang Rimba Diusir dari Tempat Tinggal Mereka, di Mana Kehadiran Negara?

Topik:

Berita Terkini Lainnya