[OPINI] Memangnya Kenapa Kalau Tidak Menikah?

Tidak menikah, tidak masalah.

Saya seorang perempuan yang tahun ini akan memasuki usia 27 tahun. Tak pernah sekalipun dalam hidup ini saya malu mengakui berapa umur saya. Ya, karena untuk apa malu? Namun, tak bisa dipungkiri bahwa ada banyak orang di luar sana yang sungkan menyebutkan berapa usia mereka. Saya berasumsi salah satu sebabnya adalah soal pencapaian dalam hidup.

Apa maksudnya?

[OPINI] Memangnya Kenapa Kalau Tidak Menikah?Cristian Newman/Unsplash

Coba dengarkan lagu dari Five For Fighting yang berjudul 100 Years. Di situ ia menceritakan perjuangan manusia sejak mendapat cinta pertama, mengalami krisis kehidupan, berkeluarga, hingga masuk ke usia senja. Di setiap tahap kehidupan, selalu ada ekspektasi dan keresahan tersendiri.

Tak berhasil memenuhi ekspektasi, baik dari diri sendiri maupun orang lain, adalah realita kehidupan dan ini terjadi pada siapa saja. Contohnya, seorang Beyonce saja bisa gagal mendapatkan penghargaan Grammy 2017 untuk kategori Album of The Year. Padahal kurang fenomenal apa lagi album Lemonade?

Saat ini "normalnya" saya harus memikirkan tentang pernikahan sebagai pencapaian hidup selanjutnya.

[OPINI] Memangnya Kenapa Kalau Tidak Menikah?Agnieszka P/Unsplash

Saya seharusnya sudah khawatir tentang pernikahan sejak dua atau tiga tahun lalu. Sayangnya, waktu itu saya masih sibuk meneruskan pendidikan. Nah, kalau sekarang? Sekarang saya lebih fokus mengumpulkan pundi-pundi rupiah karena ekonomi dunia sedang tidak bersahabat.

Mayoritas teman-teman saya sendiri sudah berkeluarga. Memberikan pertanyaan pada saya tentang kapan menikah pun jadi sebuah keniscayaan. Itu yang saya anggap menyebalkan dari acara reuni sekolah. Selalu ada saja pertanyaan soal waktu saya merelakan membagi tempat tidur dan makanan dengan pria lain setelah kami disumpah di depan pemuka agama dan diresmikan oleh negara.

Mereka tak bertanya apa pandangan saya tentang Donald Trump, Pilkada, konflik Suriah, album baru Kendrick Lamar, atau apakah salah satu serial televisi favorit saya, Game of Thrones, itu rasis. Pernikahan, di usia saya, didesain untuk menjadi kekhawatiran pertama dan utama bagi para perempuan.

Baca Juga: Meski Jadi Minoritas, 7 Perempuan Muslim Amerika ini Buktikan Bisa Tetap Berprestasi

Pernikahan seolah-olah adalah sebuah kewajiban yang harus dipenuhi oleh perempuan.

[OPINI] Memangnya Kenapa Kalau Tidak Menikah?Drew Coffman/Unsplash

Ekspektasi untuk perempuan Jawa -- kebetulan saya memang dari suku Jawa -- tak jauh beda dulu maupun sekarang. Perempuan Jawa diberi "kewajiban" untuk menikah. Coba lihat betapa pentingnya pernikahan untuk perempuan dalam adat Jawa. Pengantin perempuan tak hanya harus mencium tangan pengantin laki-laki sebagai tanda penghormatan, tapi juga mencuci kakinya.

Mencium tangan dan mencuci kaki itu adalah simbol bahwa laki-laki, sebagai suami, siap menjadi kepala rumah tangga, sedangkan perempuan, sebagai istri, siap melayani. Ini, bagi saya setidaknya, seperti berkata: terima kasih, laki-laki, telah rela menerima saya menjadi istri. Saya bukan Kartini yang "ikhlas" menikah, apalagi dipoligami, demi menuruti perkataan sang ayah.

Saya cenderung mengikuti pemikiran Simeone de Beauvoir. Dalam buku legendarisnya yang terbit pada 1949, The Second Sex, aktivis hak perempuan sekaligus jurnalis asal Prancis ini menuliskan ada kepercayaan dalam masyarakat bahwa "pernikahan adalah jalan satu-satunya untuk perempuan melanjutkan hidup dan satu-satunya yang menjustfikasi eksistensinya".

Menurut de Beauvoir, kepercayaan itu lahir dari dua alasan. Pertama, masyarakat mengharapkan perempuan melahirkan anak. Dengan kata lain, perempuan sebaiknya menjadi ibu. Kedua, perempuan menikah untuk memuaskan hasrat seksual laki-laki dan mengurusi segala kebutuhannya. Dengan kata lain, perempuan sebaiknya menjadi pelayan.

Perempuan juga diharuskan menikah karena perempuan memiliki masa kedaluwarsa.

[OPINI] Memangnya Kenapa Kalau Tidak Menikah?Sweet Ice Cream Photography/Unsplash

Ayu Utami, penulis feminis Indonesia, menggarisbawahi masalah ini dalam bukunya yang berjudul Pengakuan Eks Parasit Lajang. Saya sepakat dengannya dalam memprotes label perawan tua yang disematkan kepada perempuan yang berusia matang, tapi belum atau tidak menikah.

Perawan tua. Itu masalahnya. Bukan karena seorang perempuan memang perawan dan tua. Tapi karena pada kedua hal itu dilekatkan nilai. Itu kata kuncinya: dilekatkan nilai. Karena masyarakat mencemooh dan nilai-nilai merendahkan mereka (yang disebut perawan tua).

Lalu, persoalan selanjutnya mengapa perempuan harus menikah adalah karena faktor keperawanan. Ini hampir serupa dengan apa yang diungkapkan de Beauvoir bahwa perempuan sebaiknya melayani hasrat seksual pria, kemudian menjadi ibu. Tentu saja itu bisa dilakukan tanpa pernikahan. Tapi, masyarakat tak mengizinkannya, bukan?

Memang pendapat umum masyarakat yang telah terbentuk sejak dimulainya peradaban sulit dibongkar. Dalam budaya patrilineal, seperti yang dituliskan Ayu, keperawanan itu bukan mahkota perempuan yang bersifat abadi.

"Seorang gadis harus menjaga kesuciannya sampai malam pertama. Seorang gadis harus bisa mempersembahkan keperawanan bagi sang suami," kritik Ayu. Jika tidak, maka perempuan itu dicap perawan tua. "Keperawanan ada tanggal kedaluwarsanya. Haha! Keperawanan bisa basi. Seperti makanan kaleng," tambahnya.

Oleh karena itu, perempuan harus "kejar target" untuk sesegera mungkin menikah agar tetap prima melayani suami dan bisa menjadi seorang ibu. Dengan segala gagasan di atas, laki-laki yang tak mau berpikir kritis pun terjebak pada dogma bahwa menikah itu adalah untuk mencari pelayan dan ibu dari anak-anaknya saja. Titik.

Pernikahan kemudian berpotensi hanya menjadi persoalan beban dan keuntungan saja.

[OPINI] Memangnya Kenapa Kalau Tidak Menikah?Anna Docking/Unsplash

Untuk imbalan sebagai pelayan yang mengurus semua hal domestik dalam rumah tangga, seorang suami diwajibkan memberikan istri hadiah. Contohnya, membiayai keperluan rias atau membelikan perhiasan. "Hak yang dimiliki perempuan dalam menjalankan tugas-tugasnya direpresentasikan dalam kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh laki-laki," tulis de Beauvoir.

Jika alasan-alasan di atas yang menjadi latar belakang mengapa perempuan harus menikah, maka, menurut de Beauvoir:

Untuk kedua belah pihak pernikahan adalah sebuah beban dan keuntungan di saat bersamaan; tapi tak ada yang simetris dalam situasi ini untuk kedua jenis kelamin; karena untuk perempuan pernikahan hanyalah cara untuk berintegrasi dengan komunitas, dan jika mereka tetap tak diinginkan, mereka dipandang secara sosial sebagai sesuatu yang sia-sia.

Lantas, kenapa memangnya jika saya tidak menikah?

[OPINI] Memangnya Kenapa Kalau Tidak Menikah?Sergey Zolkin/Unsplash

Pertama, yang harus diluruskan adalah bukannya saya tak ingin menikah. Namun, pandangan saya tentang pernikahan itu tak tergantung sama sekali pada usia dan pendapat masyarakat. Saya akan menikah jika memang perkara-perkara di atas sudah rampung di level personal antara saya dan si laki-laki.

Kedua, jika itu tidak terjadi, lalu apa persoalannya? Ada sterotip bahwa perempuan yang tak menikah itu pasti tak bahagia, penggerutu, tak dewasa, tak tahu cara menentukan prioritas. Pokoknya salah! Dalam kasus saya, setidaknya, saya merasa bahagia saja.

Saya bukan tipe orang yang suka kegaduhan di pagi hari. Karena saya single, saya diberkati dengan kedamaian itu. Saya tipe orang yang suka bermalas-malasan di akhir pekan. Ini sulit terjadi jika saya berkeluarga. Saya bisa bekerja hingga larut malam. Bayangkan jika saya punya suami dan anak.

Saya suka bepergian ke mana saja setiap ada waktu. Tak perlu minta izin atau direpotkan dengan drama, saya bisa melakukannya. Jika saya mau menghabiskan Rp 20 juta untuk liburan, tidak ada yang berhak mengomeli saya. Jika minggu depan saya memutuskan untuk sekolah lagi di luar negeri, bebas saja.

Pernikahan bukan perkara genting yang harus membuat panik, apalagi sampai menurunkan kepercayaan diri.

[OPINI] Memangnya Kenapa Kalau Tidak Menikah?Atikh Bana/Unsplash

Pernikahan menjadi begitu darurat, seakan mengancam stabilitas nasional bila tidak dilaksanakan, karena kita menganggapnya sebagai tujuan utama dalam hidup. Pendidikan tinggi, karir bagus, punya jiwa sosial yang baik, pandai menghibur orang, atau punya penampilan rupawan dianggap tak ada artinya bila akhirnya tak bisa menemukan pasangan.

Semua kualitas itu akan dinihilkan ketika pernikahan dianggap sebagai sesuatu yang digdaya. Padahal, ekspektasi tentang pernikahan itu adalah konstruksi sosial semata yang tak ada hukuman legalnya bila tak dijalani. Padahal juga, kita bisa lengkap tanpa harus memiliki teman hidup, kok. Jadi, kenapa harus dipusingkan?

Baca Juga: 5 Hal Ini Pasti Dirasakan Oleh Kamu yang Naksir Sama Orang Cerdas Saja

Topik:

Berita Terkini Lainnya