[OPINI] Rugikan Perempuan, Keperawanan adalah Konstruksi Sosial

Hakim Binsar Gultom usulkan tes keperawanan untuk calon pengantin.

Seorang hakim bernama Binsar Gultom menulis sebuah buku berjudul "Pandangan Kritis Seorang Hakim". Dalam buku tersebut, ia menuliskan,"Bila perlu sebelum pernikahan harus diatur persyaratan yang tegas, yakni mereka masih dalam posisi kudus, suci artinya perawan atau tidak. Untuk itu, harus ada tes keperawanan. Jika ternyata sudah tidak perawan lagi, maka perlu tindakan preventif dan represif dari pemerintah."

Tak sedikit yang kemudian mempertanyakan kapasitas Binsar sebagai hakim karena mengeluarkan pernyataan tersebut. Ditambah lagi, ia menyebut menikah dalam kondisi perawan dapat menurunkan tingkat perceraian.

Binsar menilai jika calon pengantin sudah tak perawan, bisa jadi ada unsur keterpaksaan untuk menikah demi menutupi aib, sehingga menimbulkan perceraian atau KDRT di kemudian hari. Ia menghubungkan ketulusan niat seseorang dengan apakah ia masih perawan atau tidak.

Baca juga: Banyak Ditentang, 5 Negara Ini Masih Jalankan Tes Keperawanan

Mendefinisikan keperawanan tidak pernah mudah.

[OPINI] Rugikan Perempuan, Keperawanan adalah Konstruksi SosialCamila Cordeiro via Unsplash

Apa itu perawan? Menurut pemahaman tradisional, seorang perawan adalah seorang perempuan yang tak pernah melakukan hubungan seksual. Lalu, aktivitas apa saja yang dikategorikan sebagai hubungan seksual?

Ada konsensus yang menyebutkan hubungan seksual harus melibatkan dua orang atau lebih yang berjenis kelamin berbeda. Dalam hubungan itu terdapat penetrasi kelamin laki-laki ke dalam vagina. Hubungan itu juga dilakukan atas dasar sama-sama suka, yang kemudian menghasilkan kepuasan seksual.

Untuk membuktikan apakah hubungan seksual terjadi, disebut-sebut beberapa prosedur berbeda yang perlu dilakukan. Salah satunya adalah memasukkan dua jari ke alat kelamin perempuan. Pada dasarnya, tujuannya adalah untuk mengetahui apakah selaput dara sudah sobek atau belum.

Padahal, eksistensi selaput dara ini masih diperdebatkan. Tak hanya karena fungsinya yang masih dipertanyakan secara medis, tapi juga karena masing-masing perempuan punya ketebalan selaput dara yang berbeda. Bahkan, selaput dara bisa sobek karena aktivitas sehari-hari seperti olahraga.

Oleh karena itu, sangat sulit membuktikan bahwa definisi keperawanan yang digunakan oleh masyarakat kebanyakan itu valid. Ditambah lagi dengan tidak adanya kesepakatan apakah jika gay atau lesbian melakukan hubungan badan itu berarti mereka tidak sedang melakukan hubungan seksual.

Pasalnya, laki-laki tidak memiliki selaput dara, dan perempuan tidak memiliki penis. Apakah kemudian berarti seks oral tidak tergolong hubungan seksual? Atau apakah masturbasi juga termasuk di dalamnya? Atau apakah konsep keperawanan hanya berlaku untuk perempuan heteroseksual?

Konsep keperawanan mendiskriminasi perempuan.

[OPINI] Rugikan Perempuan, Keperawanan adalah Konstruksi SosialPriscilla Du Preez via Unsplash

Selama ini hanya perempuan yang selalu menjadi "obyek penyelidikan" tentang keperawanan. Ini merupakan bentuk standar ganda yang mengejutkannya tak hanya digaungkan oleh laki-laki, tapi juga perempuan.

Secara tradisional, perempuan yang belum menikah akan dianggap memiliki moral lebih tinggi jika masih perawan. Sementara itu, masyarakat tidak memandang laki-laki dengan cara yang sama seperti memandang perempuan, meski mereka sudah tidak perjaka.

Sumber dari miskonsepsi terkait keperawanan salah satunya muncul dari pandangan Kristen. Dalam keyakinan Kristen, Bunda Maria adalah sosok yang dijunjung tinggi karena masih perawan saat mengandung Yesus. Perempuan yang masih perawan kemudian dipandang sebagai sosok suci.

Sumber lain yang turut membentuk kesalahpahaman soal keperawanan adalah mitologi Yunani. Dalam mitos, ada tiga dewi perawan yang diagungkan, yakni, Minerva, Artemis (Diana) dan Hestia (Vesta). Dua contoh ini dilihat dari sudut pandang laki-laki sehingga sulit untuk tak mengaitkan sistem patriarki dalam glorifikasi keperawanan.

Ada cara yang lebih masuk akal untuk mengurangi perceraian.

[OPINI] Rugikan Perempuan, Keperawanan adalah Konstruksi SosialJose Chomali via Unsplash

Ada banyak sekali faktor yang menyebabkan perceraian. Begitu juga faktor yang membuat sebuah pernikahan itu tak hanya awet, tapi juga bahagia dan memuaskan. Kedekatan emosional disebut sebagai faktor utama yang membuat hubungan suami dan istri harmonis.

Kedekatan emosional yang dimaksud bisa diukur dari, misalnya, bagaimana respon seseorang terhadap emosi yang pasangannya. Semakin positif reaksinya, semakin baik dampaknya untuk keawetan sebuah hubungan.

Faktor ini jauh lebih masuk akal dan tidak diskriminatif jika ingin dipertimbangkan sebagai prasyarat pernikahan dibanding keperawanan. Pendidikan seks juga bisa menjadi pertimbangan lain.

Dengan memberi pemahaman bahwa hubungan seksual memiliki konsekuensi tersendiri, maka diharapkan setiap orang akan melakukannya ketika sudah siap secara mental dan emosional. Dalam jangka panjang, ini juga berpengaruh terhadap pernikahan di usia dini yang bisa menimbulkan perceraian.

Baca Juga: Perempuan Muslim Tunisia Akan Diizinkan Nikah Beda Agama

Topik:

Berita Terkini Lainnya