Tinggalkan Netflix untuk Nonton Sinetron dan Kini Saya Letih 

Tiga hari terasa seperti selamanya~

Bara mendatangi Maira yang entah bagaimana berada di kampung pemulung. Penampilan keduanya sangat kontras dengan situasi sekitar. Bara dengan jaket polyester leather dan boots, sedangkan Maira dengan riasan sempurna serta rambut keriting rapi.

Bara mulai menyerang Maira. Di tengah perkelahian, Maira sadar warna mata Bara berubah merah. Kemampuan bertarungnya juga semakin kuat. Perubahan ini terjadi setelah Bara diisukan meninggal karena digigit ular ketika berusaha membunuh Maira di sebuah hutan.

Otak saya mencoba mencerna perkembangan cerita sinetron berjudul "Anak Langit" itu. Berbagai artikel di media daring menyebut sinetron itu berkisah tentang persahabatan dan percintaan anggota-anggota geng motor serta rivalitas dengan gerombolan lain. Tidak ada tanda-tanda soal skenario fantasi yang melibatkan kekuatan magis.

Kebingungan saya dikonfirmasi oleh komentar-komentar netizen di YouTube stasiun TV yang menayangkannya. Setelah memasuki episode 1.267 per 13 Agustus 2019, penonton setia "Anak Langit" dikejutkan oleh keputusan penanggungjawab sinetron yang memasukkan unsur sihir ke dalam cerita.

Hari ini adalah Selasa (13/8) dan merupakan hari ketiga saya menonton sinetron. Rasanya sangat meletihkan.

1. Saya tidak menonton sinetron TV dan lebih memilih Netflix

Tinggalkan Netflix untuk Nonton Sinetron dan Kini Saya Letih Bagi banyak millennial di perkotaan, Netflix adalah sumber hiburan dan informasi. unsplash.com/Caspar Camille

Saya tidak punya TV dan tidak merasa perlu repot-repot membelinya. Ini karena sudah bertahun-tahun saya tak menikmati menonton sebagian besar tayangan TV. Alhasil, saya juga tak mengikuti sinetron Indonesia.

Salah satu sumber hiburan dan edukasi utama saya adalah Netflix. Hampir dua tahun saya berlangganan layanan streaming asal Amerika Serikat tersebut. Beberapa hari lalu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang anggota-anggotanya baru dilantik mengatakan Netflix perlu diawasi dan diatur.

Tujuannya macam-macam mulai dari meniadakan konten tidak mendidik, memberikan hiburan dan informasi yang sesuai budaya Indonesia, sampai soal membuat Netflix setara dengan secara perlakuan dengan stasiun TV konvensional.

Tentu banyak sekali orang menolak ini. Alasannya juga beragam. Yang paling kentara adalah karena Netflix layanan berbayar sehingga pelanggan pasti tidak menghendaki penyensoran. Alasan lainnya karena rasa tidak percaya kepada KPI.

"Mengawasi tayangan TV saja tidak becus, apalagi meluaskan jangkauan ke Netflix?" kurang lebih begini reaksi netizen.

Baca Juga: Ini Alasan KPI Mau Awasi Konten YouTube & Netflix 

2. Saya mencoba seolah-olah tidak ada Netflix selama tiga hari

Tinggalkan Netflix untuk Nonton Sinetron dan Kini Saya Letih Semua sinetron yang sempat saya tonton sangat Jakarta-sentris. IDN Times/Rosa Folia

Barangkali saya termasuk orang yang paling menentang rencana KPI. Sebenarnya karena saya memang secara umum menolak penyensoran oleh negara, apalagi dengan helat untuk kebutuhan pendidikan atau penyesuaian dengan budaya Indonesia.

Kalau bicara budaya, sinetron seharusnya menampilkan cerita masyarakat di Papua atau Ambon, dong? Faktanya, sinetron di Indonesia sangat Jakarta-sentris. Tetapi, saya tidak mau jadi netizen hanya modal bacot pada umumnya.

Oleh karena itu, saya memutuskan mencicipi hasil pengawasan KPI terhadap tayangan TV nasional. Perlu diketahui bahwa KPI mengklaim tidak bisa menyensor suatu tayangan. Akan tetapi, lembaga itu punya wewenang memberikan sanksi dan mencabut izin siaran kepada yang dianggap melanggar pedoman penyiaran.

Rencana awal saya adalah seminggu hidup tanpa mengakses Netflix dan hanya menonton acara TV sebagai gantinya. Hanya saja, ternyata tiga hari saja sudah membuat saya sangat stres. Daripada saya jatuh sakit, sebaiknya eksperimen ini saya sudahi di hari ketiga. Semua saya tonton melalui streaming di laptop pribadi.

3. Saya alokasikan dua sampai tiga jam per hari untuk menonton acara TV

Tinggalkan Netflix untuk Nonton Sinetron dan Kini Saya Letih Menikmati makan malam sambil menyaksikan sinetron Anak Langit. IDN Times/Rosa Folia

Hari pertama adalah Sabtu malam (10/8). Biasanya saya maraton (atau yang dalam istilah kultur pop disebut dengan binge-watching) Netflix. Beberapa minggu terakhir saya menikmati Terrace House.

Sabtu kemarin saya tinggalkan reality show Jepang itu dengan menonton sinetron Cinta Anak Muda. Itu kali pertama saya mengetahui ada judul tersebut. Aktor yang saya ketahui hanya Verrell Bramasta.

Karena telat, saya hanya menonton bagian akhir di mana dia sedang bertarung mixed martial arts. Saya hanya sanggup bertahan kurang dari lima menit karena scene ini berlarut-larut. Ciri khas sinetron pun muncul dengan banyak sekali adegan lamban serta zoom-in yang memperlihatkan ekspresi bingung atau khawatir dari karakter-karakternya.

Selanjutnya saya menonton sinetron "Cinta Karena Cinta". Tidak ada wajah familiar. Berdasarkan catatan saya (ya, saya menyimpan catatan) hampir 30 menit sinetron berjalan, fokus cerita tetap kepada satu karakter protagonis—Jenar yang lembut, dimusuhi dua cewek, direbutkan oleh dua cowok—ketika dia dirawat di rumah sakit.

“Kalau ditinggal buang air besar pun sepertinya tidak akan ada cerita yang terlewat,” pikir saya.

4. Salah satu sinetron membuat saya melakukan riset yang cukup dalam

Tinggalkan Netflix untuk Nonton Sinetron dan Kini Saya Letih IDN Times/Muhammad Rahmat Arief

Saya baru sempat menonton acara TV lagi pada Senin sore (12/8). Secara mental saya tidak siap dengan apa yang mungkin akan muncul di layar. Saya putuskan menonton cuplikan-cuplikan Terrace House dulu di YouTube. Lumayan untuk membantu rileks. Sekitar sepuluh menit kemudian, baru saya menyaksikan sinetron Topeng Kaca.

Sembari membuka situs streaming, saya membaca sinopsis ceritanya. “Jadi, Kania dan Safira adalah saudara kembar?” tanya saya dalam hati. Lalu, saya lihat wajah kedua karakter. Rasa bingung muncul. “Di mana letak kembarnya? Jelas sekali mereka sangat berbeda,” gumam saya di depan laptop.

Saya membaca laman Wikipedia. “Biarpun kembar, wajah dan sifat Kania dan Safira sangat berbeda.” Tetap tidak menemukan jawaban, saya menonton potongan-potongan tayangannya di YouTube selama hampir sejam. Saya tersentak.

Ternyata keduanya tidak ada hubungan darah sama sekali. Safira adalah anak yang diadopsi ibu Kania untuk menggantikan kembarannya yang sudah meninggal. BOOM. Ini adalah plot twist paling mengguncang di abad 21. Christopher Nolan dan David Fincher perlu berguru ke padepokan persinetronan Indonesia.

5. Pelanggan butuh Netflix tanpa campur tangan pemerintah

Tinggalkan Netflix untuk Nonton Sinetron dan Kini Saya Letih IDN Times/Muhammad Rahmat Arief

Meminta pertanggungjawaban KPI atas tayangan-tayangan sinetron itu tentu saja adalah tuntutan yang salah alamat. Ini karena KPI tidak berhak melakukan penyensoran dalam artian teknis seperti memotong atau membuat blur suatu adegan.

KPI juga tak berwenang menghentikan sebuah sinetron hanya karena jalan ceritanya membuat orang perlu mengonsumsi puyer sakit kepala atau pergi ke dokter untuk periksa tekanan darah. Namun, secara legal, ada jalan bagi KPI untuk menghukum lembaga penyiaran yang dianggap melanggar aturan.

Dalam UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002, suatu tayangan dilarang “menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang”. Saya terpikir serial Netflix seperti Narcos dan Sex Education kemungkinan besar akan terjerat kalau aturan yang sama diterapkan.

Padahal alur cerita keduanya jauh lebih masuk akal, menghibur dan informatif dibandingkan sebagian besar program di TV nasional. Pemerintah kan perlu tahu bahwa banyak warga negara Indonesia yang harus merogoh kantong demi mendapatkan konten bagus karena tayangan gratis yang ada tidak memuaskan.

Dan siapa KPI sampai berhak memutuskan mana konten layak tonton, padahal kami yang harus mengeluarkan rupiah setiap bulan? Apakah anggota KPI terlalu sering terpapar sinetron sehingga ini pola pikir yang mereka punya?

Saya tidak otomatis menghakimi penikmat sinetron. Jutaan orang di negara ini tak punya kemewahan berupa koneksi internet cepat atau uang lebih untuk berlangganan Netflix. Bisa jadi sinetron adalah satu dari sedikit pilihan hiburan yang bisa mereka nikmati.

Oleh karena itu, saya pun tidak menghendaki penyensoran terhadap tayangan TV, terutama saat tidak tepat sasaran seperti membuat blur badan Sizhuka dalam anime Doraemon.

6. Otoritanianisme digital sedang marak terjadi

Tinggalkan Netflix untuk Nonton Sinetron dan Kini Saya Letih Pemerintah di beberapa negara berniat mengatur internet. unsplash.com/William Iven

Indonesia bukan satu-satunya negara yang mencoba mengutak-atik Netflix. Dalam pernyataan resmi, Netflix mengaku menghapus episode "Patriot Act" yang khusus membahas Arab Saudi dan pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi karena menerima “permintaan legal” dari kerajaan Islam itu. Di luar Arab Saudi, episode ini masih bisa diakses.

Lalu, menurut laporan Reuters, Turki merencanakan regulasi yang mewajibkan Netflix untuk mendapatkan izin tayang dari badan sensor setempat. Setelahnya, pemerintah berhak mengawasi  kontennya dan memberi sanksi jika melanggar.

Belum jelas pakem seperti apa yang akan dipakai untuk memagari Netflix. Di Malaysia, politisi setempat mengaku khawatir dengan konten Netflix yang menayangkan  adegan seks dan memiliki skenario tentang LGBT.

“Ini soal film-film di Netflix. Apakah ada mekanisme penyensoran berbeda yang diterapkan antara film-film biasa dengan yang ditayangkan di Netflix?” tanya Datin Mastura Mohd Yazid, politisi Barisan Nasional, seperti dilansir  dari The Star Online.

Ini adalah bentuk otoritarianisme digital di mana pemerintah berusaha mengatur internet. Electronic Frontier Foundation menilai peraturan-peraturan yang ingin dibuat untuk platform seperti Netflix berdampak kepada kebebasan berekspresi, netralitas internet, hak konsumen serta inovasi.

Dari pelaku sinema, mereka dibatasi oleh norma sosial dan politik yang berbeda-beda ketika berkreasi. Dari sisi pelanggan, ranah privat kami diganggu dengan alasan macam-macam itu.

7. Negara melihat masyarakat sebagai konsumen pasif

Tinggalkan Netflix untuk Nonton Sinetron dan Kini Saya Letih Internet jadi perbatasan terakhir dari kebebasan berekspresi. unsplash.com/Sara Kurfess

Pada 2016, Lembaga Sensor Film (LSF) sendiri mengaku “bingung” bagaimana harus meregulasi Netflix dan menanti keputusan pemerintah untuk memperjelas kategorinya. Sejauh ini, hanya Telkom dan Telkomsel yang memblokir Netflix dengan alasan tidak sesuai dengan peraturan di Indonesia.

Tidak jelas peraturan mana yang dimaksud. Menkominfo Rudiantara pun mengatakan pada suatu kesempatan bahwa ia mendukung langkah Telkom dan Telkomsel. Sadar bahwa Indonesia tidak bisa mengatur Netflix dengan undang-undang yang ada, Ketua KPI Agung Suprio menjabarkan rencana untuk memperluas wewenang lembaganya.

Dalam wawancara dengan Kompas TV, Agung mengatakan KPI akan “berkoordinasi dengan pemerintah” agar Netflix “berbadan hukum Indonesia atau punya kantor di Indonesia”. Dengan begini, Netflix akan tercakup dalam subyek Undang-undang Penyiaran.

Alasan KPI bahwa lembaganya perlu memberi tahu pelanggan Netflix mana konten mendidik dan bukan menguatkan anggapan negara hanya melihat publik sebagai konsumen pasif.

Negara menempatkan dirinya sebagai orangtua, sedangkan masyarakat adalah anak-anak, yang tidak peduli berapa usianya, tidak akan bisa membuat keputusan sendiri, termasuk soal pilihan tontonan.

Baca Juga: Selain Indonesia, Ini Negara yang Sensor Media Sosial karena Pemilu

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya