[OPINI] BPJS Kesehatan: Menaikkan Premi Bukan Jalan Keluar

Menaikan iuran premi bukan jaminan

BPJS Kesehatan lahir pada tanggal 1 Januari 2014 yang memiliki fungsi memberikan jaminan kesehtan nasional kepada masyarakat Indonesia. Program BPJS Kesehatan berjalan di detik akhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhyono di tahun 2014. Pihak yang mendorong dan mendesak pemberlakuan UU BPJS yakni Ribka Tjiptaning yang merupakan salah satu anggota DPR-RI dari Fraksi PDIP.

Awal pembentukan BPJS Kesehatan Pemerintah menganggarkan dana 7 Triliun pada 2013 untuk persiapan sarana dan prasarana BPJS Kesehatan. Adapun anggaran yang disiapkan tahun 2014 mencapai 26 Triliun untuk persiapan infrastruktur dan tanggungan premi bagi penerima bantuan premi (PBI) BPJS Kesehatan. Pada tahun 2014 Jokowi memenangkan Pemilihan Presiden 2014 melawan Prabowo Subianto, BPJS Kesehatan masuk ke dalam program Jokowi sebagai salah satu Jaminan Kesehatan Nasional.

Pengeluaran Pemerintah di bidang kesehatan memang bukan termasuk yang tertinggi, karena hanya menempat porsi sebesar 5 persen dari keseluruhan APBN. Untuk menjaga keberlanjutan program BPJS dan JKN pun, Pemerintah telah menaikan anggaran kesehatan menjadi sebesar Rp. 111 triliun di tahun 2018, dari jumlah Rp. 104 triliun di tahun 2017. Sejak 2014, fakta bahwa BPJS mengalami defisit sudah rame terdengar, hingga tahun 2019 nilai defisitnya makin bertambah tinggi. Bukan rahasia Pemerintah terengah-engah menutupi defisit yang ada.

Jika dibandingkan dengan ekonomi negara lain yang berpendaptan rendah, Indonesia tergolong cukup berani dikarenkan 16 persen APBN dialokasikan untuk BPJS kesehatan, sedangkan, negara dengan penghasilan rendah seperti Tanzania, Rwanda dan Liberia hanya mampu mengaloasikan 11 persen untuk alokasi dana kesehatan mereka.

Walau dana besar digelontorkan untuk alokasi BPJS Kesehatan entah dikarenakan pengelolaan yang buruk, BPJS Kesehatan tetap mengalami defisit dalam setiap tahun sejak awal dibentuk tahun 2014 hingga 2018 mencapai defisit Rp. 51,2 Triliun. Kenaikan iuran BPJS pun di untuk tahun 2020 mengalami kenaikan hamper 100% di setiap kelasnya, di kelas 3yang awalnya dari 25.500 menjadi 42.000, kelas 2 yang awalnya 51.000 menjadi 110.000, kelas 1 yang awalnya 80.000 menjadi 160.000.

Dengan anggaran  besar yang digelontorkan oleh Pemeirntah kepada BPJS membuktikan bahwa masih mengalami defisit yang cukup besar. BPJS dianggap memfasilitasi akses pengobatan dan kesehatan yang biasa dilakukan oleh negara dunia pertama, berupa pemeriksaan gigi gratis, obat-obat-an, fisioterapi sampai transpalasi organ. Dengan ini, Indonesia pun masuk sebagai salah satu negara berkembang dengan pengeluaran social expenditure atau subsidi sosial yang jumlahnya tinggi. Negara-negara tersebut antara lain adalah Brazil, Tiongkok, India, Indonesia, dan Afrika Selatan.

Namun, program yang telah banyak membantu warga ini, ternyata harus berbenturan dengan pengalaan pahit di lapangan. Selain ancaman defisit yang begitu nyata, ternyata kebijakan ini juga tidak membuat tarif kesehatan masyarakat meningkat. Akses kepada pengobatan memang dijangkau lebih mudah, tetapi untuk pencegahan penyakit tidak meningkat sama sekali. Selain itu, BPJS pun terbukti hanya mampu dijangkau oleh kalangan urban (perkotaan) terutama di daerah Jawa, sedangkan di daerah Indonesia timur akses ini sulit sekali didapatkan.

Membahas program BPJS yang banyak membantu masyarakat tersebut, mau tak mau mengingatkan pula pada teori yang disampaikan oleh Anthony Giddens mengenai Third Way. Third Way atau jalan ketiga merupakan model pembangunan yang dipakai untuk melihat kebijakan yang dicanangkan Pemerintah berhaluan sosialis maupun neoliberalis, dan menyeleksi aspek-aspek yang tepat baik dari konsep “kiri” (intervensi negara) maupun “kanan” (pasar bebas).

Bila menarik kacamata seleksi yang dilakukan oleh Giddens, kebijakan BPJS merupakan kebijakan bersifat ‘sosialis’. Tetapi di sisi lain, kebijakan ini tidak bisa membangun kesejahteraan yang positif, karena Pemerintah hanya memberikan bantuan kesehatan dan tidak melindungi masyarakat dari penyakit. Indeks kesehatan masyarakat Indonesia masih rendah, terbukti dengan merebaknya difteri beberapa waktu lalu. Secara managerial, BPJS masih memiliki hutang kepada Rumah Sakit sebesar 17 Triliun per 30 September 2019, tentu hal ini bisa kita nilai ada potensi “salah urus” BPJS Kesehatan ini.

Menaikan iuran premi terhadap pengguna BPJS bukan jaminan juga menyelamatkan permasalahan BPJS ini, kita bisa belajar dari Filipina yang menerapkan kebijakan kenaikan harga rokok yang menghasilakan pemasukan yang sangat besar bagi negara, hasil dari kebijakan tersebut Pemerintah Filipina dapat menambal, bahkan membiayai jaminan kesehatan gratis bagi masyarakatnya.

Kebijakan memotong 50 persen dari cukai rokok untuk dana talangan defisit BPJS tersebut sebenarnya terkendala tarik ulur kepentingan politik. Sebab rencana awal ingin menaikkan tarif cukai rokok dibatalkan dengan alasan memberatkan rakyat. Padahal langkah tersebut cukup strategis yang kemudian beralih alternatif lain dengan tetap menggunakan hasil cukai rokok sebagai dana talangan tanpa menaikkan tarif cukai rokok yang ada. Entah jalan keluar seperti apa yang dilakukan Pemerintah, menaikan premi bukanlah suatu hal yang bisa memberikan penyelesaian masalah BPJS, tapi suatu hal yang pasti kenaikan premi ini pasti memberatkan rakyat.

Baca Juga: [OPINI] 5 Alasan Kenapa Kita Perlu Bersyukur Sidang Jessica Wongso Disiarkan di Televisi

Rully Satria Photo Writer Rully Satria

Penghindar Zona Nyaman

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya