Sejarah Panjang Peran Wanita dalam Negara Maupun Dunia

Artikel ini merupakan deskripsi sejarah dalam peran wanita serta opini terhadap wanita masa kini yang ditulis oleh Sardo Sinaga.

Dalam membentuk sebuah negara perlu dukungan dari setiap elemen masyarakat baik secara politik, ekonomi, LSM, dan berbagai hal dalam membentuk negara. Di samping itu, wanita juga mengambil peran aktif dalam menggerakan roda nasionalisme negara. Namun banyaknya hambatan bagi wanita dalam menuangkan aspirasinya, baik secara politik, industri, budaya, bahkan bentuk terkecil yaitu keluarga.

Dari tulisan ini penulis mencoba menganalisis serta menjelaskan bagaimana sejarah pergerakan feminisme di Indonesia maupun secara global.

Banyaknya permasalahan kaum wanita dalam menuangkan apresiasinya dalam bernegara, politik, serta rasa nasionalisme itu sendiri. Selain itu tak sedikit gerakan feminisme yang gagal ketika revolusi industri pertama tercetus. Banyaknya kapitalis cetak eropa saat itu yang memaksa para kaum buruh bekerja 12 jam lebih dalam industrialisasi. Sehingga terbentuknya gerakan nasionalis serta gerakan feminisme dalam menentang industri liberalisme. 

Dari tinjauan sejarah, mayoritas mempunyai sistem kebudayaan patriarki yang laki-laki sebagai pemegang kendali dalam segala faktor dari segi politik, perekonomian, ataupun keluarga. Dalam buku “Sarinah” karya Ir.Soekarno (2014:6) dijelaskan sejarah budaya indonesia laki-laki sangat mengekan wanita dan mengumpamakan wanita sebagai mutiara. Mutiara yang disimpan dan dikurung sehingga tidak mampu mengetahui dunia luar.

Dalam tulisan Bung karno tersebut dijelaskan hampir setiap negara menganut sistem patriarki sebagai pemimpin. Dalam masyarakat primitif yang awalnya pria bertugas berburu dan meramu, namun wanita hanya berdiam dirumah dengan urusan rumah tangga. Dari hal tersebut cikal bakal hak kepemilikan lahan. Wanita yang tidak punya pekerjaan dirumah mulai belajar bercocok tanam dan seiring perkembangan zaman pertanian semakin besar.

Wanita sejak dulu dianggap dewi yang berharga, namun sengaja dikurung dikarenakan wanita dianggap berharga.

Sejak tempo dulu wanita hanya bekerja mengurusi rumah serta anak dari hubungan laki – laki dan perempuan. Wajar saja wanita tempo dulu intelektualnya jauh lebih rendah dibanding pria, karena pria saat itu tidak mengizinkan wanita bersekolah. Banyaknya wanita saat itu yang tidak tahu bagaimana cara menulis karena hanya mengandalkan kondisi kepala keluarga. Pria yang dominan dalam sektor ekonomi, politik, serta bagian terkecil keluarga dikuasai kepala keluarga dikarenakan pria yang lebih dulu mendapatkan pendidikan.

Namun saat ini banyaknya aksi pergerakan feminisme yang menentang dominasi pria dan meminta Hak Assasi Perempuan, hanya sedikit yang sadar bahwa pentingnya peran wanita dalam bernegara serta membentuk jiwa nasionalisme. Feminisme sendiri (Raho. 2014:224) dijelaskan berupa gerakan masyarakat dalam menentang dominasi pria serta menentang adanya sistem patriarki. Tuntutan utama tersebut untuk melakukan persamaan kaum pria dan wanita dalam segala faktor. Namun tidak semua masyarakat setuju, dikarenakan kodrat wanita memang harus dipimpin oleh seorang pria dan mengurusi rumah. Masyarakat yang  tidak setuju memang pada dasarnya sudah tertanam jiwa patriarki dalam bentuk melestarikan budaya.

Memang pada dasarnya banyak gerakan feminisme yang menentang adanya kasta antara pria dan wanita.

Di Indonesia sendiri mempunyai gerakan Hak Asasi Perempuan (HAP). Gerakan tersebut menuntut agar kedudukan wanita sejajar dengan pria. Dalam UUD 1945 Pasal 27 (Budiardjo. 2008:257) menegaskan kedudukan semua orang sama di hadapan hukum. Namun fakta lapangan masih banyak yang mengalami diskriminasi dalam keluaga maupun dalam dunia profesi.

Dalam trilogi Marhaenisme Bung Karno mencakup tiga pokok yaitu sosio-kultural berupa persamaan dalam setiap suku budaya, sosio-demokrasi berupa setiap individu dan golongan tertentu mempunyai hak yang sama, dan yang terakhir ketuhan yang maha esa dalam artian negara Indonesia secara garis besar adalah negara yang beragama dan bukan negara. Tiga pilar tersebut dapat dijadikan dasar pembentukan rasa nasionalisme dan sebagai pencetus awal ideologi pancasila. Tetapi dalam posisi lapangan masih banyak wanita mengalami diskriminasi budaya, politik, ekonomi, serta dalam bentuk kecil keluarga.

Bukan hanya diskriminasi, dalam partai politik kasta antara pria dan wanita Provinsi/ Kabupaten/ Kota untuk pemilihan memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30% (Budiardjo. 2008:259). Namun dalam praktiknya keterwakilan wanita dalam partai politik sangat sedikit dikarenakan kesadaran yang kurang akibat budaya patriakat yang melekat sejak dulu.  Akibanya kursi parpol yang diperuntukkan bagi wanita banyak yang diambil alih oleh pria karena kurangnya kesadaran dalam menuangkan aspirasi.

Bukan hanya itu, dari doktrin budaya masyarakat yang telah menjadi struktur sosial menjadikan masih banyak wanita yang beranggapan tanpa bekerja mereka dapat hidup makmur dari hasil pendapatan suaminya. Ini menjadikan kemunduran status wanita dalam hal pergerakan sosial yang telah tercetus pada masyarakat eropa tempo dulu.

Keterlekatan masyarakat terhadap budaya patriakat masih melekat. Sejatinya dalam perspektif budaya haruslah budaya tanah air dilestarikan dalam mempertahankan rasa nasionalisme itu sendiri. Namun dalam praktik sosial kadang masih melenceng. Banyaknya diskriminasi terhadap kaum wanita, seakan budaya tersebut menjadi kultur sosial dalam negara.

Gerakan feminisme secara nasional maupun global memberitahu kita sebagai bangsa Indonesia perlunya pemerataan wanita dan pria untuk menggerakan rasa nasionalisme. Bukan hanya sarana aspirasi, namun secara kolektif dalam membangun bangsa dalam keterpurukan diskriminasi gender dimasa ini.

Dalam buku “Sarinah” bung Karno mengatakan persamaan gender bukan hanya persamaan pria dan wanita, melainkan persamaan kodrat.

Kodrat dalam arti disamping kewajiban untuk membangun perekonomian keluarga maupun bangsa, sebagai masyarakat juga harus melihat hak wanita. Jika masyarakat sadar dan mampu menjalankan apa yang harus dikerjakan dengan persamaan kodrat, negara menghasilkan jiwa nasionalime yang mampu menghasilkan gerakan sosial yang nyata dalam masyarakat.  MERDEKA!!! MERDEKA!!!

Penulis: Sardo Sinaga

Sardo Sinaga Photo Writer Sardo Sinaga

Mahasiswa Universitas Brawijaya Malang (Masih Aktif Sampai Sekaang)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya