[OPINI] Benarkah Gen Z Gemar Mengemis Validasi?

Be yourself, it's better for you  

Pada 2030 nanti, Indonesia akan mengalami bonus demografi. Tanpa menunggu lama atau sekitar 8 tahun dari sekarang keuntungan itu sudah tampak “batang hidungnya”. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sekitar 27,94 persen, saat ini negara kita dihuni oleh gen Z. Tumbuh seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi, generasi yang lahir pada era 1997-2012 itu pun mendapatkan julukan kurang mengenakan yaitu sebagai generasi unproductive.

Generasi itu kerap merasa tidak punya banyak waktu, padahal mereka hanya sedang memanipulasi waktu saja. Bayangkan, setiap harinya bahkan sampai berjam-jam waktunya dihabiskan untuk melihat postingan dan cuitan yang beredar di timeline media sosial. Tak mau kalah saing, kita sendiri pun sering menumpahkan segala perasaan, pikiran, hingga pendapat di akun media sosial masing-masing. Berharap ada yang menyetujui pendapat kita. Syukur-syukur ada yang menyukainya, walaupun hanya satu orang, jika tidak, kita pun seolah merasa tersisihkan.

In a fact, siapa sih yang tidak senang saat mendapatkan balasan semangat dari postingan yang penuh berisi keluhan hidup? Siapa juga yang menolak ucapan selamat atas pencapaian yang berhasil didapatkan? Siapa pula yang tidak bahagia saat postingan foto “banjir” likes dan comments? Siapa yang tidak ingin mendambakan balasan “cantik atau keren” dari postingan selfie dan gaya OOTD terbaik kita?

Akan tetapi, bukan hanya gen Z yang berpikiran seperti itu, generasi di atas dan di bawahnya pun juga mengalami hal serupa. Fokus pada sorotan paragraf pembuka opini tadi, gen Z menjadi populasi paling banyak saat ini. Apalagi, jika merunut pada rentang usia, maka sebagian generasi itu sedang berada di posisi mencari jati dirinya sendiri. Hal ini tentu sangat penting untuk memperkokoh mental para gen Z sebagai pemimpin di masa mendatang. 

Para motivator bilang “Berhentilah berharap apa pun pada siapa pun, bila kamu tidak ingin merasakan kecewa.” Kelihatannya hal itu perlu diterapkan juga pada saat ingin dimengerti atau mendapatkan pengakuan.

Ya, selama ini kita haus akan validasi dari teman atau bahkan orang yang tidak kita kenal sama sekali. Kita membutuhkan validasi dari orang lain agar kita beranggapan bahwa “inilah saya” dengan segala kemampuan, pencapaian, atau penampilan di atas rata-rata. Adanya validasi itu akan membuat orang menganggap diri kita sebagai orang yang pintar, rupawan, bijaksana, kaya raya, atau humoris. Dari hari ke hari, tanpa sadar kita terus berusaha agar tervalidasi bahwa hidup kita sudah sesuai dengan standar hidup orang lain. 

Melansir Psychology Today, manusia sejatinya memang membutuhkan validasi sebagai “support system” dari teman, kekasih, hingga anggota keluarga. Validasi juga dianggap sebagai sarana tepat untuk menolong seseorang saat dilanda stres. Lantas, apa yang salah dari validasi? Bukankah ia telah melegakan pikiran atau perasaan seseorang? Ibaratnya validasi sama saja dengan hawa nafsu, semakin kita berusaha memuaskan hawa nafsu itu, maka semakin tidak puaslah diri kita.

Tak ada bedanya mental kita dengan mental seorang pengecut, apabila kita selalu ingin mendapatkan pujian atau dukungan dari orang lain. Jangan pernah menggantungkan kebahagiaan di pundak orang lain, sebab hanya kecewa yang akan didapatkan.

Tidak ada salahnya mengutamakan ego dengan berdalih ingin mencintai diri sendiri. Toh, kita juga perlu menciptakan boundaries yang berarti standar atau batasan terhadap kaidah dan aturan tersendiri dalam hidup yang akan membuat kita lebih peka untuk mendengarkan pendapat sendiri (inner voice).

Aturan main dalam hidup itu berdasarkan pada apa yang kita suka ataupun segala hal yang tidak disukai. Sekalipun jangan pernah terbuai karena hanya ingin mendapatkan pujian dan dukungan, sebab validasi mengandung zat kafein yang akan menyebabkan kecanduan. Gen Z juga dianggap sebagai tukang mengeluh dan tidak sabaran, hal ini tidak terlepas dari pengaruh media sosial yang menurutnya harus menjadi pribadi sempurna.

Percayalah hidup tanpa adanya validasi dari orang lain seolah-olah menjadikan dunia hanya milik kita seorang. Lain hal dengan kegalauan yang selama ini dialami oleh Gen Z. Kita kerap khawatir berlebihan apalagi saat merasa kisah hidupnya sudah tidak relatable lagi dengan teman.

Pemakaian media sosial yang berlebihan telah mengikis sense of awaraness pada diri masing-masing. Padahal, tidak perlu semua yang kita rasakan saat itu harus ditumpahkan ke dalam media sosial. Jadikan media sosial hanya sebagai media komunikasi bukan sebaliknya malah menentukan kebahagiaan kita, bahkan menjadikan diri sendiri merasa tidak berharga.

Dari sinilah, perlu adanya pengendalian terhadap pemakaian media sosial. Membatasi penggunaannya bukan berarti menghambat kreativitas, hanya saja perlu adanya penegasan bahwa saat kita menumpahkan sesuatu tidak perlu bergantung pada pujian orang lain. Berhentilah mengejar validasi, apalagi hanya untuk mewajarkan segala isi perasaan dan pemikiran kita.

Berpegang pada pendapat Leo Tosloy yang berkata "Banyak yang tahu bahwa orang lain harus berubah. Tetapi sedikit yang tahu, bahwa diri merekalah yang seharusnya berubah." Motivasi ini bisa menjadi tamparan keras bagi gen Z, untuk berbenah diri dari mulai yang paling sederhana yaitu dengan tidak memburu validasi di media sosial lagi, demi masa depan yang lebih baik. 

Baca Juga: [OPINI] Memento Mori, Ingatlah Kita Pasti akan Mati 

Shafira Arifah Photo Verified Writer Shafira Arifah

...

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya