Hutan Kita, Harga Diri Kita

Banyak masyarakat yang belum memahami fungsi hutan

Saya Sharlin, co-founder perusahaan rintisan Nusantics yang bergerak di bidang teknologi genomics. Dengan teknologi tersebut, kami menganalisa microbiome dan membuat desain utama RT-PCR test kit lokal yang diproduksi Biofarma.

Karena teknologi genomics yang Nusantics kuasai sangat relevan dengan biodiversity Indonesia, saya ingin menanggapi berita yang ramai di media sosial akhir-akhir ini terkait perusakan hutan di Papua.

Saya berterima kasih kepada Tim BBC yang mengangkat issue ini. Tetapi, saya melihat banyak juga masyarakat yang tidak benar-benar memahami fungsi hutan, bahkan menanggapi statement masyarakat adat seperti “di mana roh leluhur saya tinggal kalau hutan kami dibongkar habis?” dengan sentimen yang cenderung “nyinyir”.

Oleh karena itu, kami ingin berkontribusi untuk menambah pengetahuan dari perspektif lain, seperti mengapa keasrian hutan harus dijaga dan tidak selayaknya “digadai” dengan sesuatu yang sangat “amat murah” seperti perkebunan kelapa sawit.

Dahulu, sangat sulit bagi kita untuk mendata keragaman spesies atau biodiversity yang hidup di suatu tempat. Misalnya, hutan hujan tropis. Akibat keterbatasan teknologi, yang kita ketahui tentang biodiversity hanya seputar fakta bahwa tanaman di hutan menyerap emisi karbon dioksida untuk mencegah global warming atau binatang di hutan tersebut cantik dan eksotis sehingga harus dilestarikan.

Tetapi dekade terakhir sangat berbeda. Dengan semakin matangnya teknologi genomics dan semakin murahnya alat sequencer, paradigma terhadap biodiversity pun bergeser.

Teknologi ini memungkinkan kita untuk mendata spesies yang ada di suatu habitat, tidak hanya yang terlihat seperti hewan dan tanaman, tetapi juga microbiome (virus, bakteri, arkea, dan jamur). Hanya dengan sedikit sampel dan waktu singkat, kita bisa mendata spesies apa saja yang hidup di suatu tempat dengan cara membaca kode genetika yang ada di sampel tersebut!

Mengapa mendata dan tentunya menjaga spesies-spesies yang hidup di alam liar itu penting? Karena setiap spesies memegang peranan penting dan keseimbangan di antara makhluk hidup itu benar-benar nyata, bukan hanya imajinasi seperti the force di film Star Wars.

Sebagai contoh, hilangnya satu jenis bakteri penghasil nitrat di tanah saja menyebabkan gangguan pada pertumbuhan tanaman yang kemudian mengganggu pertumbuhan makhluk hidup lain seperti jamur, serangga, dan hewan herbivor yang bergantung pada tanaman tersebut.

Efek dominonya tidak hanya berhenti di situ. Akibat keseimbangan habitat yang tergeser, hewan liar yang terganggu juga akhirnya “pindah tempat”, tak jarang jadi makin dekat dengan habitat manusia, dan dampaknya kembali lagi ke manusia, seperti penularan virus dan bakteri dari hewan liar ke tubuh manusia, hingga mungkin berita pekerja kebun dimakan oleh ular.

Bayangkan, ketiadaan satu jenis bakteri saja bisa berakibat panjang dan fatal, apalagi jutaan spesies yang dimusnahkan dengan sia-sia untuk suatu perkebunan sawit?

Sebagian orang pasti sangat menyadari pentingnya menjaga keseimbangan karena spesies terkecil dan tak kasat mata seperti virus pun sangat penting.

Sebagai contoh, pandemik yang sedang terjadi sekarang. Eits, penganut teori konspirasi Covid-19 pasti cengar-cengir membaca statement ini. Tapi, coba lihat pentingnya biodiversity dari sudut “canggih” berikut.

Hutan Kita, Harga Diri KitaANTARA FOTO/Anis Efizudin

Pentingnya Mengetahui Biodiversity

Jika semua spesies bisa terdata dan diketahui kode genetikanya, then what? Apakah hanya sebagai koleksi atau sebatas untuk museum kehidupan? Jawabannya tidak.

Ketika kita memiliki cukup data genetika dari biodiversity ini, berbagai inovasi bernilai tinggi dan berkelanjutan pun akan bermunculan. Misalnya, enzim, zat aktif, atau virus spesifik yang bisa menggantikan antibiotik yang bermasalah seperti saat ini, yakni membunuh tidak hanya bakteri jahat tetapi bakteri baik juga.

Atau bahkan, dengan memahami kode genetika apa yang menjadikan sarang laba-laba ringan tetapi kuat, di masa depan kita dapat membuat bio-material baru yang kuat tetapi ringan sehingga pembangunan infrastruktur yang adaptif terhadap gempa menjadi memungkinkan.

Apakah kamu mengetahui berapa nilai ekonomi dari penemuan salah satu inovasi tersebut? Setidaknya miliaran US dollar! Itu baru dari satu penemuan. Bayangkan jika dalam puluhan tahun kedepan Indonesia mampu membuat 100 inovasi berbasis biodiversity?

Apakah potensi ini layak digadaikan dengan izin pembabatan hutan sebagai bisnis kelapa sawit yang murah?

Hutan Kita, Harga Diri KitaANTARA FOTO/Siswowidodo

Hutan Kita, Harga Diri Kita

Sekarang pertanyaannya, kalau bukan kita yang menjaga harga diri Indonesia, siapa lagi? Apakah Tanah Air kita hanya dinilai sebatas “tanah kosong” saja untuk diolah menjadi perkebunan murah kelapa sawit?

Tidakkah aneh membiarkan negara maju mengeksplorasi kekayaan genetika kita untuk industri bioteknologi bernilai tinggi milik mereka, sementara bisnis bernilai sedang-rendah seperti perkebunan sawit diletakkan di Indonesia?

Sebagai insinyur Teknik Kimia, saya paham dan tidak menyangkal bahwa industri sawit merupakan salah satu industri penopang ekonomi Indonesia.

Tetapi, dari pada membiarkan permata hutan Indonesia dibakar untuk lahan sawit baru, lebih baik fokus meningkatkan efisiensi dari lahan sawit yang sudah ada, sekaligus invest pada “end-game” yang lebih penting: Biodiversity. Humanity literally depends on biodiversity.

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya