Hari-hari Kelabu di Ujung Agustus 

#SatuTahunPandemik COVID-19, saat itu dunia terasa berhenti

Dunia mendadak terasa berhenti saat aku mendengar teman dekatku di kantor positif COVID-19. Peristiwa ini terjadi di pertengahan Agustus 2020, ketika angka COVID-19 tengah menanjak tinggi pasca-libur panjang lebaran, dan masih banyak orang mengucilkan atau mencemooh penderita COVID-19.

Saat itu aku yang tengah sakit panas, flu, dan sakit kepala di rumah, tiba-tiba saja merasakan suhu tubuhku semakin menyengat, kepala semakin sakit, dan tak bisa berpikir apa-apa lagi ketika mendengar kabar tersebut. Hanya satu yang aku pikirkan saat itu, apakah sakitku gejala COVID atau sudah COVID?

Kekhawatiranku beralasan, karena beberapa hari sebelum teman kantorku dinyatakan positif, interaksiku dengan dia sangat intensif. Kami pernah makan bersama, salat di musala kantor yang sama, dan beberapa kali berbicara dan bercanda dalam jarak yang sangat dekat, bahkan aku sempat memegang HP-nya saat dia memperlihatkan kepadaku sesuatu di HP tersebut.

Aku juga ingat sempat tak bisa mencium bau apa-apa, sampai-sampai aku memetik bunga melati dan menciumnya untuk mengetes penciumanku dan saat itu aku tak bisa mencium wanginya.

Saat itu juga aku menyampaikan kepada suamiku perihal ini dan malam itu juga  langsung mengisolasi diri di rumah. Anakku yang masih SD menangis, tidak bisa memeluk dan tidur bersamaku seperti biasa.

Besoknya aku langsung mendatangi puskesmas sekitar tempat tinggalku untuk tes COVID-19. Aku gak mau menunggu apa-apa lagi, aku harus cepat mengetahui kondisiku, karena ini akan berpengaruh kepada keluargaku juga. Inilah pertama kalinya aku memberanikan diri mendatangi tempat pelayanan kesehatan (puskesmas/rumah sakit), sejak pandemik melanda pada awal Maret 2020.

Sebelumnya aku sangat takut ke puskesmas atau rumah sakit karena takut terpapar COVID-19. Sampai-sampai aku berusaha mencari obat alternatif untuk mengobati sakit gigiku, yang penting tidak ke rumah sakit dulu saat pandemik.

Namun setelah info temanku positif COVID-19 dan aku kebetulan juga sedang sakit, akhirnya aku datang ke Puskesmas. Tiba di puskesmas yang tak jauh dari rumah, aku melihat petugas di meja pendaftaran memakai baju hazmat. Ah, hatiku makin ciut.

Apalagi saat dia menanyakan maksud kedatanganku dan tahu aku akan tes swab dan memintaku duduk di satu pojok terpisah dari pasien-pasien lain, aku merasa semakin terkucil dan takut. Di saat itu aku berusaha menghibur diri dan berdoa semoga saja aku tidak COVID.

Di puskesmas, petugas memeriksa tensi darahku, saat itu tensi darahku 200 per sekian, tinggi banget ini tak pernah terjadi sebelumnya. Kemudian dokter menanyakan beberapa hal dan dari jawaban-jawabanku dokter menyatakan penyakitku seperti gejala COVID.

Setelah melewati beberapa prosedur, akhirnya aku tes swab di Puskesmas, ini adalah tes swab pertamaku selama pandemik melanda Indonesia. Saat itu juga aku di bawah pantauan petugas puskesmas. Sambil menunggu hasil tes keluar, aku harus isolasi dan meminum obat dan vitamin yang diberikan puskesmas. Total aku menjalani tes swab dua kali di puskesmas, dan tiap hari suhu tubuhku dikontrol petugas lewat WhatsApp selama 14 hari.

Sambi menunggu hasil swab keluar, drama-drama pun muncul di rumah. Yang paling aku dan suamiku takutkan adalah jangan sampai petugas puskesmas datang ke rumah menggunakan baju hazmat untuk mengantarkan hasil tes swab-ku.

Aku ngeri kalau petugas datang, tetangga akan tahu dan mengucilkan atau malah menyuruhku isolasi di tempat lain. Sementara aku punya anak yang masih SD, dan tidak punya saudara dekat untuk tempat menitipkannya kalau-kalau aku harus isolasi di tempat lain. Berbagai macam pikiran pun berkecamuk di kepalaku dan juga suamiku saat itu. Apalagi anakku sering sedih gak bisa memelukku walau hanya sebentar.

Seiring waktu aku pun mencoba menerima kondisi ini dan terus berdoa serta melakukan hal-hal yang bisa membuat tubuh sehat dan mematikan virus corona, seperti berjemur setiap pagi, minum madu, air rebusan jahe, temulawak, jeruk nipis, atau makan telur rebus.

Beberapa hari kemudian hasil tes swab pertamaku keluar, alhamdulillah hasilnya negatif. Kendati demikian, petugas puskesmas tetap menyuruhku isolasi sampai menunggu hasil tes kedua keluar. Artinya, saat itu aku belum benar-benar terbebas dari hantu covid-19.

Menunggu hasil tes kedua sempat membuatku marah dan frustasi karena lebih dari seminggu hasilnya tak kunjung keluar. Beberapa kali aku mendesak petugas puskesmas untuk mencari tahu hasil tes kedua ini, tapi mereka pun tak bisa berbuat banyak dengan alasan belum ada info dari laboratorium kesehatan daerah (labkesda. Sementara bagiku, hasil tes swab kedua ini sangat-sangat menentukan keadaanku.

Akhirnya lebih dari sepekan hasil swab kedua pun keluar. Begitu petugas puskesmas memberitahu aku langsung mengambil sendiri ke puskesmas, agar petugas berpakaian hazmat tak perlu datang ke rumahku. Hasilnya negatif, aku, suami, dan anakku langsung merasa plong dan sangat bersyukur. Bagaimana pun keadaanku ini berimbas setidaknya pada anak dan suami, mereka pun harus menjalani rapid test, setelah aku menjalani tes swab. Alhamdulillah, hasil tes mereka nonreaktif.

Pengalaman ini benar-benar memberiku pelajaran. Banyak hal bisa dipetik, salah satunya selalu melaksanakan 3M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak) di mana pun dan saat bersama siapa pun. Pengalaman ini juga membuat ada kebiasaan baru di keluargaku yakni berjemur setiap pagi dan meminum vitamin untuk menjaga kesehatan tubuh. Kami juga kadang berolahraga bersama di rumah.

Pengalaman lain yang kualami selama pandemik ini yakni melakukan perjalanan ke luar kota dengan menggunakan pesawat. Pada awal Desember 2020 ayahku meninggal dan harus segera pulang kampung ke rumah. Ini adalah pertama kali aku keluar jauh dari rumah selama pandemik.

Semula aku takut naik pesawat karena banyak berita orang yang baru pulang dari Jakarta dan sekitarnya dengan menggunakan pesawat terkena COVID. Namun semua perasaan takut dan khawatir itu aku singkirkan, dengan meyakinkan diri jika benar-benar mematuhi 3M, insya Allah akan terjauh dari COVID. Alhamdulillah, keadaankku tetap sehat-sehat dan tidak terjangkit virus ini setelah berpergian menggunakan pesawat. Begitu juga dengan keluargaku.

Selama setahun pandemik COVID-19, terhitung sejak 2 Maret 2020, banyak sekali peristiwa-peristiwa penting yang terjadi. Gara-gara COVID ini juga lah aku memberanikan diri membawa motor dari Bekasi sampai kantorku di Jakarta demi menghindari menggunakan bus umum. Sesuatu yang tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Di tahun COVID ini juga aku kehilangan ayahku.

Semoga virus corona ini segera hilang dari bumi Indonesia, dari dunia, paling tidak kalah oleh vaksin yang saat ini sudah ada, sehingga kehidupan bisa normal kembali, bisa saling mengunjungi teman dan saudara tanpa takut dianggap membawa atau terkena virus corona. Bisa kembali menyusun rencana-rencana indah ke depan. Semoga....

#SatuTahunPandemik adalah refleksi dari personel IDN Times soal satu tahun virus corona menghantam kehidupan di Indonesia. Baca semua opini mereka di sini.

Baca Juga: Menyoal Pandemik dan Kemampuan Adaptasi Kita

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya