Mengungkap Krisis Lingkungan dan Hutan di Indonesia: Konflik Agraria

Mengulas dampak kerusakan hutan Indonesia

Indonesia terkenal akan kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah, salah satu sumbernya adalah dari Hutan. Sayangnya persoalan yang menonjol dalam masalah lingkungan di Indonesia adalah deforestasi lahan hutannya. Sekitar 727.981,2 ha/tahun, dalam jangka waktu 2012-2013 (sumber: KLHK) lahan yang semula adalah hutan, dialih fungsikan sebagai lahan pertanian.

Jika melihat tren bencana yang ada di Indonesia, tercatat dari BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), terjadi kasus bencana sekitar 3.622 kasus  di sepanjang tahun 2019. Hal ini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, lantas menjadi ironi tersendiri di pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan di Indonesia. Walaupun bencana alam terbagi menjadi dua, yang disebabkan oleh alam sendiri dan faktor campur tangan manusia.

Ternyata permasalahan lingkungan di periode pembangunan sebuah negara, tak lepas dari hasil pembabatan kelompok berkepentingan tertentu dalam penguasaan sektor lahan dalam dalih kepentingan Ekonomi Nasional beserta komoditi industri di lahan garapannya. Data dari BNPB, bencana alam Indonesia dari rentang waktu 2019 sampai 2020, jenis bencana kebakaran hutan tercatat sebanyak 55 kasus. Hal ini patut disorot berbagai pihak, sebagai permasalahan lingkungan yang mengancam berbagai sektor kehidupan manusia maupun peremajaan alam sendiri di Indonesia.

Program pengalihfungsian tidak matang, berdampak pada kerugian lingkungan

Mengungkap Krisis Lingkungan dan Hutan di Indonesia: Konflik AgrariaUnsplash/Sepia Photography of bare trees

Salah satu dampak dari pembabatan lahan adalah polusi udara, kondisi penuh asap pekat oleh pembakaran lahan sungguh terlihat. Banyak dampak yang ditimbulkan seperti pencemaran udara, air, dan tanah oleh zat asam. Hal ini ditemui di Kalimantan Tengah, dekat sungai Kahanan.

Pemerintah pernah hendak membuka lahan hutan di Kalimantan tengah untuk dialih fungsikan sebagai lahan pertanian. Namun project tersebut gagal, dan lahan dibiarkan gundul tak terurus, dan tidak ada ganti rugi dari pemerintah terhadap masyarakat yang terkena dampak maupun rehabilitasi hutan.

Dampak buruk deforestasi

Mengungkap Krisis Lingkungan dan Hutan di Indonesia: Konflik Agrariapixabay.com/Nordseher

Hutan Kalimantan sebelum proyek lahan gambut untuk sawah.
Yang tersisa adalah bekas saluran irigasi yang tidak berfungsi dan hutan gundul di sepanjang sisi. Dan kabut asap yang hingga kini masih tersisa. 11 juta hektar luas perkebunan sawit. Banyaknya masyarakat, banyaknya mobilitas menyebabkan pencemaran polusi udara karena pemakaian mesin berbahan bakar pencemar udara. Sabun, sampo, pelumas mesin, dll. Dan juga sebagai bahan bakar, contoh biodisel dan bio premium untuk mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil. Ketika hal ini dirasa baik karena penggunaannya ramah lingkungan karena menggunakan bahan hayati, namun hal tersebut malah membuat hutan digasak dengan semena-mena.

Butuh banyak lahan untuk kelapa sawit. Bahkan rencana untuk bahan bakar pesawat namanya bio aftur, menggunakan minyak kelapa sawit sebagai bahan bakarnya. Untuk PLN juga masih menggunakan disel. Sekitar 1/3 berasal dari sawit. Setiap 5 tahun lahan kelapa sawit bertambah seluas pulau Bali. Katanya ramah lingkungan, namun banyak konsekuensi. Ada harga yang harus dibayar dan harga itu tidaklah murah. Contohnya adalah polusi asap pekat sisa dari pembakaran hutan untuk membuka lahan.

Dampak langsungnya sudah bisa dirasakan seperti di kota Palangkaraya kadar polusi melebihi ambang batas, banyak yang mengalami infeksi saluran pernapasan bahkan meninggal. Hal ini banyak dijumpai di Kalimantan dan Sumatera karena banyak lahan luas di sana yang dialih fungsikan sebagai perkebunan sawit dengan pembukaan lahan yang semena-mena.

Sejumlah konflik mengenai lahan dan hutan

https://www.youtube.com/embed/rq_NKpfZF1Q

Kemarau panjang adalah faktor lain yang menambah keruhnya keadaan karena pembukaan lahan untuk perkebunan atau untuk lahan sawah. Katanya bumi tanah dan kekayaan alam lainnya untuk masyarakat, nyatanya dikuasai oleh orang-orang kapital saja. Di Papua begitu alam jadi di sana ada pohon sagu, tidak ada yang menanam sagu. Mereka mempertahankan tanah milik alam bukan industri ataupun pemerintah.

Hal tersebutlah yang mampu mempertahankan hutan di Papua, setidaknya terhindar dari deforestasi atau pembukaan lahan sawit oleh korporasi, yaitu dengan kepercayaan adat masyarakat lokal. Ada kaitan secara ekonomi antara perkebunan dan kebakaran hutan. Areal yang terbakar akan menguntungkan mereka yang mencoba menjadikannya kebun sawit.

Di Kalimantan selatan, dampak perkebunan tidak hanya kebakaran dan pencemaran udara saat pembukaan lahan. Namun juga pencemaran air, akibat limbah sawit. 1/4 warga sekarang harus keluar desa untuk mencari makan. Jika di Sumatera negara tak berdaya oleh korporasi begitu pula di kalimantan barat. Banyak masyarakat depresi karena lahan mereka mencari makan di hutan, hutan mereka tiba-tiba dibabat.

Merusak tatanan alam sebelumnya, berdampak pada ketika musim kerung sumber air segera kering, kalau musim hujan segera banjir. Dan hal itu merugikan alam.dan masyarakat ada sekitar wilayah perkebunan sawit. Tidak adanya akomodasi hak masyarakat adat karena keegoisan dari perusahaan.

Upaya Kebijakan Oleh Pemerintah

Pemerintah juga bisa menerapkan kebijakan-kebijakan akan pelarangan pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, pelarangan pembalakan hutan liar untuk wilayah metropolitan baru, dan pemeliharaan habitat liar agar tidak tersentuh dunia. Hal ini dilakukan untuk dapat mencegah persebaran patogen baru yang masuk ke ranah masyarakat, juga melindungi kekayaan alam baik flora maupun flora agar tetap terjaga, dan mencegah adanya migrasi organisme dan hewan liar ke pemukiman manusia.

Meskipun sejumlah terobosan telah diupayakan oleh pemerintah dan pihak terkait. Melalui saluran KPK dan UKP4, untuk mencegah kasus korupsi dalam sektor kehutanan, dalam proses kerja sama, perizinan, dan perjanjian di atas sertifikat.

Kembali lagi ke perubahan iklim, hal ini besar sekali hubungannya dengan gas emisi rumah kaca yang semakin banyak dan membuat bumi semakin panas. Penggunaan bahan bakar fosil dapat dilakukan untuk mengurangi emisi gas tersebut guna menjaga iklim tetap stabil. Bagaimanapun segala aktivitas manusia di bumi akan mempengaruhi lingkungan dan berimbas pada kemerosotan kehidupan maupun kesejahteraan hidup manusia. Menjaga kesehatan perlu dilakukan lewat lingkungan. Lingkungan yang bersih dan terjaga dari segala bentuk eksploitasi dapat mengurangi dampak buruk yang bisa saja manusia temui, dan hal ini merupakan tanggung jawab bersama, bahkan seluruh manusia di bumi.

Baca Juga: [OPINI] Penerapan Smart City di Indonesia, Bisakah Dijalankan?

Tamarin Erningtyas Photo Writer Tamarin Erningtyas

"das Leben ist kein Ponyhof"

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya