[OPINI] Jika Sosok Soe Hok Gie Masih Ada, Mungkin Indonesia Akan Beda

Gie adalah sosok pemuda yang layak jadi panutan kamu...

Soe Hok Gie merupakan pemuda Indonesia keturunan Tionghoa kelahiran 17 Desember 1942 yang bahkan setelah akhir hayatnya namanya tetap bergema di pelosok negeri, desa, gunung dan di atas awan. Gie adalah pemuda Indonesia yang sangat Indonesia meski juga tidak mau kehilangan ke-Cina-annya, asal dan turunannya.

Gie adalah Indonesia, ketika ayahnya berganti nama dari Seo Lie Pit menjadi Salam Sutrawan, ketika kakak laki-lakinya mengubah nama dari Soe Hok Djin menjadi Arif Budiman, Soe Hok Gie tetap ingin menjadi Soe Hok Gie.

Dalam buku Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran disebutkan Gie memang tidak selalu benar akan segala sesuatu namun ia selalu jujur. Ia selalu melangkah berprinsip pada kebenaran dan keadilan.

Bukan berarti ia tidak pernah meragu tentang sesuatu, ketika hidupnya berada pada masa yang bisa dibilang sebagai masa penghancuran cita-cita dan sesekali pandangannya mengenai dunia menjadi serba hitam, namun ia tegak berdiri berpegang teguh pada prinsipnya.

Dalam buku itu pula disebutkan, Gie adalah orang yang berani. Ia melontarkan kritik kepada pemerintahan dengan lugas, pemikiran dan pendapatnya ia sampaikan di koran-koran. Lalu koran-koran itu dibaca oleh rakyat di pelosok-pelosok Indonesia.

Bahkan sampailah kepada seorang rakyat yang berprofesi sebagai pembuat peti mati yang bahkan menangis saat harus membuat peti mati untuk Gie di Malang.

Gie adalah aktivis mahasiswa dengan arti mahasiswa yang sebenarnya. Ia mampu mengarsiteki runtuhnya sebuah pemerintahan berdasarkan pandangannya mengenai ketidakbenaran dan kebenaran yang sangat clear.

Ia sangat jelas membedakan mana yang adil mana yang tidak. Gie adalah seorang dengan hati yang berkobar mencintai Indonesia.

Dalam catatannya, Gie menulis :

"Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung."

Karena mencintai Indonesia pulalah ia mencintai alam.

Lalu ia menulis :

"Dunia itu seluas langkah kaki. Jelajahilah dan jangan pernah takut melangkah. Hanya dengan itu kita bisa mengerti kehidupan dan menyatu dengannya."

Dengan menjelajah alamlah ia menyatu dengan kehidupan. Dengan tulisan itu seolah ia menegaskan, bahwa dunia ada di dalam dirinya dan hanya selebar langkah kakinya. Maka ia akan bersuara menyuarakan segala pandangannya, mengkritik politik pemerintahan yang dianggapnya sedang menghancurkan dan memperkosa rakyat.

Ia terus lantang tanpa takut mundur dan memberi keberanian kepada orang-orang lain, rakyat-rakyat lain yang sebenarnya berani namun memilih tidak bersuara seperti dirinya, maka ia akan mewakili keberanian orang-orang lain tersebut.

Gie sempat meragu soal apa yang ia lakukan. Apakah semua yang ia lakukan selama ini akan berguna bagi Indonesia? Lalu dengan segera ia menemukan jawabannya sendiri. Tokoh revolusi memang selalu sendirian, meski pemerintahan yang ia kritik berhasil runtuh maka ia akan tetap terasing, dan sikapnya seolah menjawab "Aku siap,"

Jika seandainya Gie tidak mati muda pada ulang tahunnya yang ke 27 tahun kurang satu hari, pada 1969 lalu, mungkin ia akan mengarsiteki pemikiran pemuda dan mahasiswa Indonesia menjadi lebih megah, layaknya manusia berpendidikan yang sebenarnya, layaknya manusia yang selalu teguh dengan prinsipnya yang berdasarkan pada kejujuran dan keadilan.

Seandainya, Gie hidup lebih lama, mungkin banyak pemuda Indonesia yang tidak akan menghancurkan segala cita-citanya sendiri. Seandainya, Gie masih ada, mungkin banyak pemuda Indonesia yang pundaknya lebih kuat menanggung amanat kebenaran.

Teruntuk Gie, sebagian dari kami pemuda dan mahasiswa Indonesia masa kini, kami katakan kami mengenal semangatmu, meski sebagian lagi dari kami mungkin tidak tahu sosokmu. Kami akan memiliki keberanian dan memandang hanya kepada kebaikan serta keadilan sepertimu, meski kadang kami akan meragu sedikit. Tapi, kelak di antara kami, akan tumbuh jiwa-jiwa sepertimu.

Dan semenjak 16 Desember 1969 lalu, angin dari puncak mahameru itu membisikkan kepada kami ribuan kata semangat, tidak lupa kata-kata kecaman kepada oknum-oknum pemerintahan yang tidak benar. Seandainya kau masih di sini, mungkin kau akan sangat geram pada mereka yang duduk-duduk di kursi empuk.

Mungkin kau akan kembali mengirimkan pupur-pupur dan gincu seperti yang kau lakukan dahulu, katamu agar mereka terlihat lebih "cantik". Dan jika takdir Tuhan tidak mengambilmu secepat itu, mungkin Indonesia kita akan beda. Terima kasih, Gie.

Kim Photo Verified Writer Kim

An INTJ-A

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya