[OPINI] Kulari ke Pantai dan Hal-hal yang Harus Dipahami Millennial

Harusnya Riri Riza & Mira didapuk jadi pencari bakat

Seharusnya Riri Riza dan Mira Lesmana juga didapuk jadi juri pencarian bakat. Terutama bakat anak. Lihat saja, setelah 10 anak-anak Laskar Pelangi, anak-anak Asli Belitong, anak-anak lokal dengan bakat luar biasa berhasil ditampilkan, kini dalam film "Kulari ke Pantai", Riri Riza menemukan bakat yang sangat luar biasa dari pemeran Sam (Masha Kanna) dan Happy (Lil’li Latisha).

Akting kedua anak perempuan berbeda dunia ini mengalir begitu menakjubkan. Seperti yang sering mereka katakan dalam filmnya “Tidak boleh berpura-pura”, akting mereka benar-benar memukau.

Happy yang cenderung jadi antagonis sama sekali tak menyebalkan. Ia malah membuat film ini lengkap dengan alur yang manis. Semanis senyumnya ketika mendengar suara lautan dari seekor keong yang didekatkan di telinganya.

Karakter Happy menunjukkan bahwa manusia tidak melulu bersikap tidak baik, atau Sam juga menunjukkan bahwa manusia sama sekali tidak mungkin tidak pernah berbuat jahat. Inilah gambaran yang sesungguhnya. Saya merasa sedang menikmati film rasa Hollywood, tapi nyatanya saya sedang menyaksikan film Indonesia.

Saya menyesal baru datang ke bioskop setelah setengah bulan berjalan. Saya pikir ini hanya tentang anak-anak. Begitu duduk, saya merasa film ini memang dipersiapkan untuk saya. Tidak hanya tentang anak-anak, melainkan calon orangtua, orangtua, dan yang pernah bercita-cita menjadi orangtua yang baik juga layak nonton film ini. Saya suka nama Samudera Biru yang dilekatkan Riri Riza pada sosok Sam.

Tentu bukan sembarang nama agar terlihat keren. Nama ini membawanya bermimpi mengarungi samudera dengan menjadi peselancar perempuan.

Balutan perjalanan juga seolah jadi ciri film Riri Riza dewasa maupun anak-anak. Sebab, dalam film Ada Apa dengan Cinta 2, perjalanan Rangga dan Cinta mengelilingi separuh Yogyakarta, membuat setiap yang menonton ingin sekali ke tempat-tempat yang ditampilkan.

Kulari ke Pantai juga demikian. Perjalanan dari Jakarta hingga ujung timur pulau Jawa, membuat setiap yang menonton akan berpikir ingin pelesir. Saya juga berjanji ketika menjadi ibu nanti, saya ingin melakukan perjalanan panjang bersama anak saya. Berdua saja.

Ya, sebab kami akan tahu bagaimana cara bertahan, bagaimana cara mengasihi satu sama lain, dan saling mengingat bahwa ada kenangan antara ibu dan anak yang tak terganti ketika mereka sama-sama menua nanti.

Tentang Happy yang lebih memilih restoran daripada warung biasa, menjadi satu metode mendidik anak yang baik dalam film ini. Anak tak harus dipatahkan atau dipaksa untuk langsung menyukai sesuatu hal yang baru bagi mereka.

Cukup mengenalkan hal-hal unik, seperti bagaimana tukang satai membuat satainya, bagaimana musik ala Club Malam bisa hadir di warung tukang satai, membuat Happy menyukai satainya tanpa ampun. Ia meniadakan kejijikannya. Yang penting satai ini enak.

Lebih enak dari restoran cepat saji yang menjamurnya begitu cepat di Indonesia. Sayang, anak-anak zaman now, lebih populer dengan ayam goreng crispy ketimbang kuliner khas Indonesia yang ogah dikenalkan orangtuanya. 

Tentang Happy yang merasa “English” tak pernah jauh dari percakapan bahasa Inggris. Tapi, Happy lebih sadis. Bahasa Inggrisnya memang asyik. Tidak dibuat-buat ala mimi peri, peri mimi, atau apalah sejenisnya.

Happy banyak menyinggung tentang budaya kebarat-baratan yang sedang dipuja di Indonesia, bahkan merasuk dalam kalangan anak-anak. Bahasa Inggris memang penting dipelajari, tapi tidak mengubah jati diri dan budaya yang dimiliki. Demikian pesan Baruna, seorang anak-anak dengan pemikiran nasionalismenya yang turut menjadi pemanis dalam film ini.

Soal gadget juga dibahas dalam film ini. Gadget yang membuat generasi memiliki pandangan lain soal kehidupan. Mereka dibentuk untuk mahir di dunia maya, melainkan tak memahami apa-apa di dunia nyata. Happy adalah satu generasi yang tak bisa tanpa telepon pintar.

Semua aktivitasnya berhubungan dengan dunia maya. Hingga ia lupa bahwa harus ada hidup yang dinikmati, harus ada alam yang dipandang untuk bisa menemukan perspektif, serta ada teman dalam hidup nyata yang lebih penting dari apapun di dunia maya.

Kalau kata orang dulu, kita harus bersikap baik agar bisa selamat dunia dan akhirat. Zaman now, pesan itu bertambah jadi tiga dunia. Dunia nyata, dunia maya, juga akhirat. 

Tak berlebihan jika semua orangtua juga anak-anak yang sedang bertumbuh harus menyaksikan film ini. Orangtua tidak melulu sempurna dalam mendidik, begitupun menjadi anak, tak bisa sepenuhnya mengabulkan setiap harapan orangtua. Bagaimana keduanya bekerja sama adalah hal terbaik yang bisa diupayakan.

Semua harus dikomunikasikan semua hak harus dihormati, semua janji harus dilunasi. Terkadang juga tidak semua yang diinginkan bisa tercapai. Inilah dinamika hidup. Jika pilihan terakhirnya harus berlari, larilah ke pantai.

Ni Nyoman Ayu Suciartini Photo Verified Writer Ni Nyoman Ayu Suciartini

I'm a writer

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya