74 Tahun Merdeka, Apakah Makna Toleransi Masih Erat dengan Agama?

Pengantar Koran IDN Times edisi Kemerdekaan

Jakarta, IDN Times - “Karena begitu serius rupanya, esok paginya tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang Panitia Persiapan bermula, ku ajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo dan Mr Teuku Hasan dari Sumatera, mengadakan suatu rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah itu. Supaya kita jangan pecah belah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk
hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Apabila suatu masalah yang serius dan bisa membahayakan keutuhan negara dapat diatasi dengan sidang kecil yang lamanya kurang dari 15 menit, itu adalah suatu tanda bahwa pemimpin-pemimpin tersebut di waktu itu benar-benar mementingkan nasib dan persatuan bangsa.”

Kalimat di atas milik Mohammad Hatta, atau kita kenal sebagai Bung Hatta, yang bersama Soekarno, memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Bung Hatta menceritakan kisah itu dalam bagian “toleransi pemimpin-pemimpin Islam”, di buku memoar yang terbit pada 1979, semacam kelanjutan dari buku “Sekitar Proklamasi” yang terbit 1969.

Bung Hatta, sosok yang dikenal sederhana, penuh integritas, visioner, taat beragama, memprakarsai rapat singkat yang bersejarah itu untuk menanggapi “gugatan” terhadap naskah pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang sebelumnya mencantumkan, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Awalnya Bung Hatta tak menganggap ketetapan dalam kalimat awal itu menunjukkan diskriminasi terhadap golongan minoritas. Pertemuan dengan opsir Kaigun (Angkatan Laut) Jepang, yang mewakili Protestan dan Katolik, membuatnya berpikir keras, dan menyadari dampak dari kalimat-kalimat tersebut.

“Tergambar di mukaku perjuanganku yang lebih dari 25 tahun lamanya, dengan melalui bui dan pembuangan, untuk mencapai Indonesia Bersatu dan tidak terbagi-bagi. Apakah Indonesia merdeka yang baru saja dibentuk akan pecah kembali dan mungkin terjajah lagi karena suatu hal yang dapat diatasi?”

Kalimat yang disepakati kemudian menjadi sila pertama Pancasila. Membaca kembali jejak perjuangan dan pemikiran para founding-fathers, bapak bangsa, seperti masuk
ke lorong waktu yang penuh wisdom, kebijaksanaan. Pandangan yang jauh ke depan. 74 tahun kemudian, di bulan Agustus 2019, nasionalisme, toleransi, non diskriminasi itu masih menjadi topik paling relevan saat kita berjuang untuk tetap utuh sebagai bangsa Indonesia.

Zaman yang berbeda, perjuangan yang tidak sama. Seperti kata Bung Karno, "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan saudara sendiri.”

Perjuangan masa kini, di era digital, melawan hoaks, informasi palsu yang menyebar setiap detik,dengan kemampuan memecah belah masyarakat, bahkan teman dan keluarga dalam bentuk yang lebih canggih dibanding divide et impera di era penjajahan kolonial Belanda.

Perjuangan masa kini, adalah bagaimana semua masyarakat mendapatkan akses informasi yang benar yang bermanfaat menjadikan kehidupannya lebih baik.
Perjuangan masa kini, adalah memastikan kesetaraan dan sikap inklusi, mewujudkan pelaksanaan hak-hak asasi manusia, mempromosikan Indonesia sebagai rumah bersama.
Perjuangan masa kini, adalah mendemokratisasikan akses informasi yang akurat, berimbang, berguna dan positif, ke seluruh Indonesia.

Perjuangan masa kini, merawat semangat keberagaman yang diwariskan pendiri bangsa, bapak maupun ibu, agar berkelanjutan menembus masa depan, dan masih banyak lagi. Semuanya membutuhkan upaya membangun komunikasi antar warga bangsa,
termasuk Millennial dan Gen Z. IDN Times, bertekad menjadi bagian aktif dari perjuangan itu.

Melalui Koran IDN Times, edisi Agustus 2019, kami mengusung tema nasionalisme dan toleransi, untuk memperingati 74 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Tema ini masih sehati-seirama dengan tema edisi perdana Koran IDN Times, “DiversityisBeautiful”, yang
terbit di Juni 2019, dalam rangka Ulang Tahun IDN Media dan IDN Times yang ke-5. Kami,
keluarga besar IDN Media adalah kumpulan individu yang berbeda-beda, mengusung semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam sesi perkenalan dengan Timmy baru, sebutan untuk karyawan di lingkungan IDN Media, saya selalu menyampaikan suasana kebatinan yang mewarnai bangsa ini, saat Winston Utomo dan William Utomo melahirkan media digital ini. Hanya satu bulan jelang Pemilihan Presiden Juli 2014, dan bangsa ini terpolarisasi menjadi dua kubu. Begitu pula medianya. IDN Times berharap menjadi sumber informasi yang obyektif dan independent bagi Millennial dan Gen Z.

Hari ini, jejak polarisasi itu masih kental. Dikepung dengan arus politik identitas yang menguat, tidak hanya di Indonesia, pula di sejumlah negara. Kami ingin mengajak audiens, Millennial dan Gen Z untuk keluar dari kepungan awan gelap yang dibawa
oleh politik identitas berdasarkan SARA.

Kami optimistis generasi penentu masa depan bangsa ini, yang menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), jumlahnya sekitar 63 juta, mampu jadi perekat. Keyakinan ini didukung oleh hasil survei Indonesia Millennial Report 2019, yang dilakukan oleh IDN Research Institute dan Alvara Research Center, melibatkan 1.400 responden di 12 kota. Dalam survei yang dilakukan Agustus-September 2018 itu, 89 persen millennial menyatakan optimistis akan keberagaman Indonesia.

Millennial dan Gen Z kita harapkan menjadi generasi unggul Indonesia, sebagaimana tema HUT ke-74 RI. Dalam edisi koran kali ini, kami juga menyajikan survei terbaru yang dilakukan IDN Times dan IDN Research Institute soal definisi toleransi menurut milenial Indonesia. Apakah, sebagaimana yang dibahas Bung Hatta dengan lima tokoh Islam, 74 tahun lalu, makna toleransi masih sarat dengan nuansa agama? Salah satu temuan yang menarik adalah, rangkaian kalimat hasil dari kata yang paling banyak muncul dalam survei: Toleransi adalah “sikap menghargai perbedaan ras, agama dan pendapat sesama”.

Di era kini, makna toleransi dan bagaimana implementasinya dalam kehidupan sehari-hari menjadi lebih luas. Memang seharusnya demikian. Semangat toleransi ada di ragam kuliner, kehidupan di perbatasan, ragam kain khas daerah, karya aplikasi anak bangsa, film sampai olah raga. Tidak semua cerita dan kisah nasionalisme dan toleransi itu dapat kami sajikan di sini. Anda bisa mengakses lebih banyak lagi di situs kami.

Akhir kata, Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia. Semoga kita diberkahi untuk terus berjalan bersama-sama sebagai bangsa yang bersatu dalam keberagaman.

Baca Juga: Toleransi di Rumah Betang: Agama hanya Jalan Menuju Tuhan

Topik:

  • Dwifantya Aquina
  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya