Aisha Weddings dan Bom Waktu Perkawinan Anak

Kapan otak akun Aisha Weddings diungkap

Jakarta, IDN Times – Sudah lebih dari dua pekan sejak kasus Aisha Weddings mencuat dan ramai pada 10 Februari 2021. Lewat akun Facebook-nya, Aisha Weddings menawarkan paket perkawinan usia 12-21 tahun, poligami dan menikah siri. Aisha Weddings menawarkan sejumlah keuntungan melalukan ketiga hal itu.

Semua itu menempatkan perempuan dalam posisi terancam, baik secara fisik, mental maupun material. Paket lengkap mulai dari sisipan doa yang meyakinkan sampai layanan penyelenggaraan dijajakan. Layanan yang ditawarkan akun tersebut, terutama mengajak perkawinan anak, berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang
Perubahan Atas UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UU yang lebih baru mengatur usia kawin minimal 19 tahun. UU lain yang dilanggar adalah UU Perlindungan Anak.

Di media sosial, terutama Twitter, ada yang menganalisis bahwa akun ini tergolong baru. Diduga dimaksudkan menciptakan kehebohan, untuk memecah konsentrasi atas isu yang menarik bagi polarisasi politik yang sangat kental di media sosial.

Lepas dari debat di media sosial itu, kasus ini harus menjadi genderang pengingat bahaya yang mengancam perkawinan anak. Karena itu, menurut saya penting untuk mengusut tuntas siapa di balik pembuat akun tersebut untuk mengetahui, apa niatnya. Mau bikin heboh? Atau betul-betul mempromosikan perkawinan anak, poligami dan menikah siri, harus diungkap secara terbuka.

Kasus ini sudah dilaporkan ke pihak kepolisian. Sampai hari ini, belum ada titik terang, apalagi ditangkap pelakunya. Pada 18 Februari 2021, polisi menyatakan situs Aisha Weddings dikelola dari luar Indonesia.

“Hasil profiling, akun itu tidak ada di Indonesia, adanya di luar negeri,“ kata Kepala Bidang
Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Metro Jaya, Komisaris Besar Yusri Yunus kepada media (18/2/2021).

Selama ini, divisi siber Polri tergolong canggih. Mereka cepat mengungkap akun-akun yang dianggap menebar informasi hoaks, termasuk akun yang kritis kepada penguasa dan pendukungnya. Jadi, tidak ada alasan untuk tak bisa mengungkap siapa yang bertanggung jawab atas akun Aisha Weddings yang membahayakan anak-anak perempuan itu. Berpotensi memfasilitasi perdagangan anak. Ini dampaknya jauh lebih besar.

Apalagi, pandemik membuat angka perkawinan anak bertambah. Sebagian karena alasan ekonomi yang terpuruk. Wahana Visi Indonesia (WVI) mengungkapkan sepanjang Januari hingga Juni 2020 terdapat 34.000 permohonan dispensasi kawin, peluang yang dimungkinkan dalam UU Perkawinan juga. Data tersebut diperoleh dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama.

Ketua Tim Perlindungan Anak WVI, Emmy Lucy Smith, memaparkan, ada 97 persen dari jumlah permohonan tersebut dikabulkan dan 60 persen pemohon merupakan anak di bawah 18 tahun. Ia mengatakan jumlah permohonan dispensasi kawin ini jauh meningkat dibandingkan tahun 2019, sebanyak 23.700 permohonan. Emmy menilai peningkatan permohonan dispensasi perkawinan anak selama pandemik COVID-19 menunjukkan anak-anak, terutama anak perempuan, sangat rentan dilanggar hak-haknya.

"Menikahkan anak dianggap bisa mengurangi beban keluarga terutama di masa pandemik seperti ini. Perkawinan anak merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual terhadap anak yang biasanya dibarengi dengan kekerasan fisik dan mental," ujar Emmy dalam siaran tertulis yang diterima IDN Times, Jumat (5/1/2021).

Data yang diterima Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan ada 109 perkawinan anak yang terjadi selama pandemik. Angka ini didapat dari pemantauan terhadap 49 sekolah du 21 kabupaten dan kota. Angka putus sekolah meningkat, termasuk karena anak dipaksa kawin di usia dini saat COVID-19 ini.

Kerusakan yang ditimbulkan pandemik COVID-19 terhadap edukasi dan ekonomi dapat membalikkan kemajuan puluhan tahun atas perkawinan anak dan kehamilan. Laporan ini dimuat dalam jurnal The Lancet yang ditulis oleh Sophie Cousins. Lembaga “Save the Children” menganalisa bahwa sekitar 2-5 juta lebih anak perempuan di seluruh dunia alami risiko perkawinan dini dalam lima tahun ke depan karena pandemik COVID-19.

Dalam laporan berjudul Global Girlhood Report 2020, organisasi terkait keselamatan anak itu mengingatkan bahwa 2020 menjadi tahun kemunduran yang tidak bisa diubah dan kemajuan yang hilang untuk anak-anak perempuan, dengan perkiraan bahwa 500 ribu anak perempuan alami risiko dipaksa kawin di usia muda di tahun lalu. Dan lebih dari 1 juta anak bakal hamil.

Gabrielle Szabo, penasihat senior gender di Save the Children, Inggris, dan penulis laporan itu, mengatakan kepada The Lancet, bahwa pandemik mengancam mengembalikan situasi ke 25 tahun ke belakang berkaitan dengan perkawinan anak, sebagian besar karena ditutupnya kegiatan di sekolah dan ekonomi yang memburuk. Masalah ini muncul terutama di Asia Selatan, kawasan di mana terjadi perkawinan anak dalam jumlah paling besar dan populasi yang besar pula. Sebanyak 200 ribu anak perempuan di Asia Selatan dipaksa menikah di tahun 2020.

India misalnya, di mana terdapat 1 dari 3 perkawinan anak secara global, sebelum COVID-19 menyerang, memimpin upaya mengurangi perkawinan anak melalui pendidikan dan membangun kesadaran. Tetapi, pandemik yang memburuk, karantina wilayah (lockdown), yang diberlakukan hanya lewat pemberitahuan beberapa jam sebelumnya, membuat jutaan pekerja harian dan pekerja migran mendadak menganggur, menambah jutaan angka kemiskinan baru.

Situasi yang sama bisa terjadi di Indonesia. Masih kecilnya angka perkawinan anak yang terungkap selama pandemik, bukan alasan untuk menganggap remeh persoalan ini. Penting untuk melindungi anak-anak dan mendukung orang tuanya agar tidak harus memilih antara menikahkan anak atau kelaparan.

Prediksinya, minimal ada 10 juta anak yang mungkin gak akan kembali ke sekolah karena pandemik ini, dan kebanyakan adalah anak perempuan. Selain kehilangan kesempatan belajar di sekolah, mereka juga kehilangan peluang menerima pendidikan seks secara memadai, dan ini menempatkan anak perempuan pada risiko hamil di usia dini. Melahirkan di usia anak menyebabkan kematian dalam jumlah signifikan diantara anak perempuan usia 15-19 tahun.

Jika pemerintah tidak melakukan upaya serius, pandemik akan menjauhkan tujuan mencegah perkawinan anak, apalagi menghentikannya untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Targetnya, 2030 tidak ada lagi perkawinan anak. Perkawinan anak menciptakan bahaya lain yang nyata bagi perempuan, yaitu menjadi korban kekerasan seksual, baik fisik, psikis maupun verbal. Relasi kuasa yang terjadi dalam perkawinan anak membuat posisi perempuan kian terpuruk. Di sini pentingnya semua pihak, terutama pemerintah dan wakil rakyat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS).

Heboh vaksinasi dan penanganan pandemik COVID-19 seyogyanya tidak membuat kita lupa akan bom waktu meledaknya perkawinan anak selama 1-2 tahun ke depan. Polisi diharapkan segera mengumumkan dalang akun Aisha Weddings, sebagai efek jera bagi siapapun yang menganjurkan perkawinan anak.

Baca Juga: IJF EVAC: Ada Isu Perampasan Hak Hidup Anak dalam Kasus Aisha Weddings

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya