Dede Oetomo soal Keberagaman, Penerimaan, dan Keadilan Sosial

Orasi Kebudayaan Diversity Award 2021

Jakarta, IDN Times - Dédé Oetomo, Pendiri dan Pembina Yayasan GAYa NUSANTARA, Surabaya, menyampaikan Orasi Kebudayaan dalam acara Diversity Award 2021, di Jakarta, Minggu, 12 Desember 2021.

Acara digelar  Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK) didukung Kedutaan Besar Norwegia. Pertemuan ini dilakukan secara tatap muka dengan protokol kesehatan ketat, termasuk tes usap antigen bagi semua yang hadir. Tahun ini, SEJUK mengusung tema Diversity Award, ‘Pergulatan Minoritas di Tengah Pandemik”.

Atas izin penulis, dan untuk menyebarluaskan semangat keberagaman kepada khalayak, redaksi memuat lengkap orasi kebudayaan Dédé Oetomo itu.

Baca Juga: Kisah Hiba, 15 Tahun di Pengungsian Ahmadiyah karena Rumah Dibakar

Pada Mulanya

Saya seorang aktivis keberagaman. Saya senantiasa berusaha belajar tentang berbagai dimensi keberagaman, seluk-beluk penerimaan terhadapnya, strategi, dan taktik memperjuangkannya demi keadilan untuk semua.

Dalam pemahaman saya, semangat dan komitmen saya pada keberagaman didorong atau dipicu oleh beberapa hal, yang paling awal, tetapi kemudian bercampur dengan hal-hal lain, kiranya adalah kondisi pribadi saya dan orang-orang dan hal-hal di lingkungan saya, baik yang terdekat maupun yang tidak langsung bersentuhan tetapi mempengaruhi pemikiran dan perasaan saya. Dari proses pendidikan, baik formal maupun yang lain, serta berbagai macam pembacaan, saya juga mendapatkan berbagai narasi mengenai keberagaman maupun desakan yang menentangnya, dalam kadar yang berbeda-beda menyentuh pemikiran dan perasaan saya.

Dalam kesempatan kali ini, terlebih dahulu saya hendak berbagi pemahaman. Dalam melakukan hal itu, akan saya sampaikan soal narasi-narasi keberagaman itu sendiri dan akan saya ajukan usulan-usulan tentang keberagaman yang bagaimana, yang sepatutnya kita cita-citakan dan perjuangkan. Mudah-mudahan ini dapat bermanfaat untuk perjuangan kita yang peduli akan keberagaman ke depannya.

Kesadaran saya paling awal tentang perbedaan dan keberagaman adalah tentang identitas saya sebagai anak Tionghoa. Baik dari nama, ragam bahasa yang kami tuturkan di keluarga, maupun adat kebiasaan, yang dalam beberapa segi berbeda dengan orang-orang lain dalam rumah tangga kami maupun di lingkungan sekitar rumah kami, saya merasa berbeda, dan sesekali belajar dari orang-orang dewasa dalam keluarga saya bahwa kami adalah orang Tionghoa (kadang untuk kalangan sendiri kami menggunakan sebutan “Cina” atau “Tenglang” [kata bahasa Hokkian yang berarti ‘orang Tang’]).

Di kalangan orang-orang yang kami sebut Tionghoa pun ada berbagai ragam sebutan yang mencerminkan sejarah migrasi orang-orang Tionghoa ke Nusantara. Ada istilah “Baba” untuk golongan kami sendiri, yang merupakan keturunan dari perkawinan campur kakek moyang dari Tiongkok dengan nenek moyang setempat, dan leluhur yang mereka turunkan. Belakangan, dari bacaan, saya belajar bahwa sebelum abad ke-20 hanya laki-laki yang merantau ke Nusantara dari Tiongkok. Ada pula istilah “Totok” untuk mereka yang Tionghoa juga tetapi leluhurnya baru datang pada pergantian abad ke-19 menuju abad ke-20, dan waktu saya kecil sebagian dari mereka masih hidup.

Ada istilah yang berkonotasi negatif untuk menyebut mereka, seperti “Singkek” (dari bahasa Hokkian, berarti ‘tamu baru’ atau ‘pendatang baru’) atau Tengsuakwe (belakangan sesudah saya belajar linguistik bahasa-bahasa Tiongkok, saya tahu artinya ‘setan Gunung Tang’). Oleh orang tua saya, kami anak-anak dilarang menggunakan istilah-istilah ini, karena tidak sopan dan merendahkan atau menghina. Pelajaran awal menghargai keberagaman.

Seperti tadi saya sebutkan, dalam rumah tangga kami maupun di lingkungan sekitar rumah kami, ada orang-orang non-Tionghoa. Kebanyakan adalah orang Jawa dan Madura. Sebagian menyandang sebutan berdasarkan tempat tinggal mereka, yang berkaitan dengan mata pencaharian mereka, seperti orang-orang Kisik yang rata-rata nelayan dan perempuannya menjual ikan hasil tangkapan laki-lakinya. Ada juga orang-orang keturunan migran dari Mandar, Sulawesi Selatan, yang tinggal di Mandaran. Lalu masih ada lagi orang-orang Arab, India (umum disebut Bombay [diucapkan Mbongmbai]), juga orang-orang Manado, Ambon, Batak, dan lain-lain. Belakangan sesudah saya masuk taman kanak-kanak dan sekolah dasar, saya berinteraksi dengan suster-suster dan romo Katolik yang orang Belanda.

Pada umumnya keberagaman ini tidak disertai dengan penerapan hierarki antara satu golongan dan golongan yang lain, dan pada awal-awal masa kanak-kanak saya, tidak dibarengi dengan sikap dan wacana rasis. Ya, beragam memang artinya berbeda, tetapi kesannya kami semua duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.

Pertama kali saya menyadari bahwa perbedaan saya sebagai bagian dari golongan Tionghoa dapat menimbulkan masalah adalah ketika terjadi huru-hara anti-Tionghoa pada 10 Mei 1963 di Bandung. Tiba-tiba kesan berbeda menjadi sesuatu yang menakutkan atau setidaknya menimbulkan perasaan tidak enak. Perasaan semacam ini muncul tiap kali saya mendengar atau membaca berita tentang huru-hara serupa: 1968, 1974, 1980, 1998…

Perasaan seperti itu menjadi lebih masif ketika pemerintahan Orde Baru pada tahun 1966-1967 mulai menerapkan kebijakan yang secara eksplisit meliyankan dan mendiskriminasi golongan Tionghoa, seperti penggantian istilah “Tiongkok” dan “Tionghoa” dengan “Cina.” Walaupun dalam kalangan kami sendiri istilah “Cina” berkonotasi netral, kalau digunakan orang lain, apalagi pada ranah publik, timbul perasaan diliyankan dan direndahkan pada diri saya.

Kebijakan yang serupa adalah pelarangan penggunaan huruf Tionghoa pada papan nama toko dan sebagainya., yang kembali meninggalkan perasaan tidak enak pada diri saya. Pemerintah juga menutup sekolah-sekolah Tionghoa, yang muridnya anak-anak Totok, dan yang terasa sangat tidak adil adalah kebijakan yang diterapkan Komando Resort Militer (Korem) 083/Baladhika Jaya, yang antara lain membawahi kota saya, Pasuruan, terhadap pemilik toko yang Tionghoa WNA (warga negara asing), yang harus menyerahkan bagian depan tokonya kepada pemerintah, untuk diserahkan kepada pengusaha “pribumi.” Komandan Korem waktu itu, yang ayah saya kenal, mengatakan kepada ayah saya, “Aku ingin lihat ada Cina miskin, Cina mbecak.”

Ada juga anjuran dan pemudahan mengganti nama Tionghoa menjadi nama “Indonesia” bagi orang Tionghoa yang WNI (warga negara Indonesia). Walaupun sesungguhnya kebijakan ini tidak memaksa, dalam kenyataannya terjadi mobilisasi, dan dengan latar belakang pembunuhan massal kepada orang-orang PKI atau yang di-PKI-kan (yang di beberapa daerah mengenai orang Tionghoa juga) pada tahun 1965-1966, kesan memaksanya terasa sangat kuat.

Pendek kata, sejak pergantian rezim menjadi Orde Baru, kesadaran perbedaan dan keberagaman yang relatif netral bergeser menjadi perasaan bahwa identitas Tionghoa itu sendiri salah, dan harus dikikis atau dihilangkan. Seringkali timbul perasaan ragu apakah orang seperti saya adalah bagian utuh dan sepenuhnya dari nasion dan masyarakat Indonesia.

Baca Juga: Diversity Award 2021: Toleransi Saja Tidak Cukup

Dede Oetomo soal Keberagaman, Penerimaan, dan Keadilan SosialPixabay

Pendewasaan

Semua kejadian tadi menerpa saya di dalam keluarga dan masyarakat. Sumbernya adalah wacana di keluarga dan liputan media massa.

Pada saat yang sama, melalui pendidikan formal saya mendapatkan wawasan bahwa masyarakat Indonesia beragam. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika,” yang pada tingkatan SD sampai SMA merupakan bagian dari lambang negara Garuda Pancasila yang mau tak mau saya ketahui karena pelajaran dan selalu melihatnya di mana-mana, ketika saya mulai lebih banyak membaca dan belajar ilmu pengetahuan yang menekankan kesetaraan, menjadi seakan janji negara yang di kemudian hari patut saya tagih.

Namun pada awal-awal saya belajar sebagai mahasiswa, penghilangan dan penegatifan identitas Tionghoa membuat saya berusaha meraih ke-Indonesia-an yang “tunggal ika” dan mengabaikan atau menekan “kebhinnekaan” saya.

Pertama kali saya belajar tentang keunikan dan perbedaan serta kesetaraan di antara yang unik dan berbeda itu adalah waktu saya belajar linguistik (ilmu bahasa).

Baiklah saya mulai dengan latar belakang kebahasaan saya. Narasi tentang bahasa yang saya pelajari di bangku sekolah mementingkan bahasa Indonesia yang kurang-lebih baku atau yang setidaknya bukan ragam Melayu Jawa (seringkali disebut “Melayu Pasar” atau “Melayu Tionghoa”). Ragam Melayu Jawa ini adalah ragam bahasa pertama saya, dan proses pendewasaan bahasa di sekolah, setidaknya bagi saya, berupa penghindaran sebisanya, masuknya unsur-unsur kosakata atau gramatikanya ke dalam bahasa Indonesia. Proses “pembersihan” ini baru tuntas ketika saya masuk SMA di Surabaya. Saya sendiri juga tidak tahu mengapa.

Linguistik, yang saya pelajari dalam bahasa Inggris mulai tingkat dua sarjana muda, secara tegas membedakan linguistik preskriptif (normatif) dari linguistik deskriptif. Perlahan-lahan saya belajar untuk mencurigai tata bahasa preskriptif, yang sejak saya masuk sekolah menjadi norma, dan mendeskripsikan dan menghargai ragam-ragam bahasa sesuai dengan apa yang dituturkan oleh penggunanya. Prinsip ini masuk ke dalam kurikulum jurusan pendidikan bahasa Inggris melalui metode pengajaran yang menolak metode grammar-translation (tata bahasa-terjemahan) yang mendominasi dunia pengajaran bahasa sebelumnya.

Satu prinsip lagi yang penting dalam linguistik deskriptif (dan metode pengajaran bahasa turunannya) adalah bahwa “semua (ragam) bahasa sama memadainya untuk komunitas penuturnya.” Lambat-laun saya pun makin merasa bahwa saya tidak usah merasa rendah diri dengan ragam bahasa Melayu Jawa saya. Perasaan ini makin kuat ketika saya menulis disertasi saya tentang bahasa dan identitas di kalangan komunitas Tionghoa di Pasuruan. Bersamaan dengan kepedean bahasa ini juga tumbuh kepedean etnisitas.

Dede Oetomo soal Keberagaman, Penerimaan, dan Keadilan SosialMalam penganugerahan Diversity Award 2021, Minggu (12/12/2021). Dok. IDN Times/SEJUK

Melela

Selain etnisitas saya, satu sifat lain yang semakin saya sadari berbeda dari kebanyakan orang dan dari norma yang disosialisasikan di masyarakat adalah ekspresi gender dan orientasi seksual saya.

Sewaktu kelas 3 SD, kawan-kawan saya sering mengejek saya dengan sebutan bahasa Jawa “lembeng” (feminin, dengan konotasi negatif) karena sebagai anak laki-laki saya masih mudah menangis dan tidak suka olahraga. Barangkali pada waktu yang bersamaan gerak-gerik saya juga tidak maskulin penuh untuk ukuran anak laki-laki. Tetapi, secara umum ejekan ini tidak merisaukan saya betul, mungkin karena sifat saya yang tidak terlalu suka menyesuaikan diri dengan kawan-kawan di sekolah. Keluarga saya juga tidak terlalu mengatur standar maskulinitas kami anak laki-laki.

Yang kemudian mulai membuat saya panas-dingin ketika memasuki masa akil baligh adalah ketika saya sadar bahwa anak laki-laki seharusnya tertarik kepada perempuan.

Ayah saya cukup liberal dan memberikan pendidikan seks dasar selama kurang-lebih 1 jam, tetapi hal-ikhwal seks yang diajarkannya bersifat heteronormatif. Saya pun terlalu takut untuk mengatakan kepada ayah saya bahwa dalam mimpi dan khayalan saya, dan hasrat seks saya adalah tentang dan pada laki-laki. Perasaan beda juga datang dari kebiasaan kawan-kawan akrab saya yang mulai membicarakan dan menaksir kawan-kawan perempuan.

Sewaktu sudah di bangku SMA, rasa beda yang menimbulkan kecemasan itu diperparah oleh wacana homofobik dalam pelajaran agama, liputan media massa maupun bisik-bisik gunjingan bernada miring di kalangan kawan-kawan sekolah maupun rekan-rekan sesama anak kos.

Kecemasan itu tidak selalu saya rasakan. Umumnya timbul dan jadi intens ketika sedang liburan dan minim kegiatan. Biasanya saya tepis, tapi lama-kelamaan tidak bisa juga. Karena saya gemar membaca, saya cari buku-buku yang menguraikan dan menjelaskan seks dan seksualitas laki-laki secara ilmiah populer. Namun awalnya buku-buku yang saya baca berkerangka pikir heteronormatif dan sebagian malah homofobik. Pada usia 20 tahun saya melela kepada seorang kawan perempuan yang akrab, yang saya tahu kenal seorang psikolog. Dia pun mengantar saya ke tempat praktik psikolog itu. Niat awal saya saat itu sejujurnya ingin berubah.

Sesudah wawancara pertama kali, psikolog merujuk saya kepada internis, yang mengadakan pemeriksaan anatomis pada tubuh saya, dan tidak menemukan apa-apa yang tidak lazim. Internis ini pun merujuk saya untuk tes endokrinologi (hormon), yang waktu itu hanya bisa dilaksanakan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) di Jakarta. Patut diingat pemahaman tentang identitas gender dan orientasi seksual umumnya masih kacau, setidaknya pada diri internis itu. Karena perlu biaya untuk ke Jakarta yang melebihi tabungan yang saya punyai, saya pun meminta bantuan biaya kepada orang tua saya, kembali dengan niat ingin berubah. Saya pun “melela” kepada mereka. Reaksi mereka pragmatis, dan ayah saya pun mengantar saya ke Jakarta.

Psikolog saya sekalian merujuk saya kepada dosennya di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Prof. Slamet Iman Santoso, dan kami pun datang menemuinya di kantornya. Sayangnya dia hanya bicara kepada ayah saya, dan minta saya ke luar ruangan. Belakangan sesudah saya memutuskan untuk menjalani hidup sebagai gay terbuka, ayah saya menceritakan bahwa Prof. Slamet mengatakan tidak ada yang bisa dilakukan untuk mengubah saya, hanya bagaimana saya menyesuaikan diri di masyarakat. Sayangnya ayah saya tidak membagikan cerita itu, mungkin karena dia pun berharap saya akan bisa berubah.

Sepulang dari Jakarta, psikolog memberi saya bacaan-bacaan yang serupa dengan yang sudah saya baca setakat itu. Kami kemudian malah jadi tukar-menukar buku. Dia juga menganjurkan saya berpacaran dengan perempuan. Kebetulan saya punya kawan kuliah perempuan yang akrab (bukan kawan yang mengantar saya ke psikolog tadi), dan kami pun sering keluar bersama untuk nonton film atau makan malam bersama. Tapi jujur saya merasa semua itu palsu, dan belakangan sesudah saya melela, saya merasa lega karena kawan saya itu tidak merasa bahwa kami berpacaran. “I thought you were my sister,” katanya.

Beberapa tahun saya berkonsultasi dengan psikolog, pengetahuan saya mengenai seks dan seksualitas makin lengkap, tetapi tetap masih heteronormatif. Terobosan terjadi ketika saya menemukan dua bacaan yang membuka mata dan pikiran saya lebar-lebar.

Yang pertama, pada September 1975, saya menerima edisi majalah Time yang secara panjang lebar menguraikan kehidupan gay di Amerika Serikat, termasuk gerakan pembebasan gay (gay liberation) yang mulai marak dan militan sejak huru-hara Stonewall di Kota New York pada tahun 1969. Liputan ini meyakinkan saya bahwa ada banyak orang-orang gay seperti saya yang dapat menjalani hidup secara terbuka, bahkan menjadi aktivis gerakan untuk mengubah masyarakat menjadi lebih menerima keberagaman seksualitas.

Yang kedua, beberapa bulan kemudian pada tahun 1976, saya menemukan di Toko Buku Narain, Surabaya, yang sering saya kunjungi, sebuah buku berjudul Homosexual Behavior Among Males oleh Wainwright Churchill. Berdasarkan tinjauan terhadap kajian-kajian berbagai disiplin ilmu seperti psikologi, psikiatri, dan antropologi, tesis buku itu adalah bahwa homoseksualitas merupakan bagian dari keberagaman seksualitas manusia.

Karena pada tahun 1976 itu saya melanjutkan kuliah sarjana lengkap di Malang, saya hanya dapat berkonsultasi dengan psikolog sesekali saja. Lagipula, saya merasa tidak ada perubahan pada diri saya, malah dari bacaan-bacaan tadi saya yakin bahwa tidak ada yang salah dengan saya. Maka semangat saya untuk konsultasi mengendur, dan akhirnya saya berhenti sama sekali.

Memang saya tidak langsung berani melela, namun perlahan-lahan saya mulai lebih santai meletakkan bacaan seperti buku Wainwright Churchill itu sekenanya. Ketika ada kawan yang menanyakan mengapa saya membaca buku seperti itu, padahal disiplin studi saya adalah pendidikan bahasa Inggris, saya hanya menjawab, “Kan aku bisa saja membaca apa yang aku mau.” Kebetulan di sana-sini dalam kuliah prosa dan drama, kami dipajankan pada novel atau drama yang mengusung tema biseksualitas atau homoseksualitas, seperti novel Julian oleh Gore Vidal (yang belakangan saya tahu memang gay) dan drama The Zoo Story oleh Edward Albee (yang juga gay).

Sesudah saya lulus sarjana lengkap di Malang, saya beruntung mendapatkan beasiswa untuk studi doktoral di Cornell University di Amerika Serikat. Mau tak mau saya acapkali melihat pengumuman tentang acara gay dan lesbian, baik di kampus maupun di kota Ithaca. Tetapi saya belum tergerak untuk bergabung. Dorongan untuk jujur kepada diri sendiri (yang oleh para aktivis minoritas seksual masa kini disebut “coming in”) muncul juga sesekali, tetapi entah mengapa saya tepis. Hal ini berlangsung sekitar satu setengah tahun, hingga liburan musim dingin 1979-1980.

Karena banyak waktu senggang, saya iseng-iseng melihat-lihat koleksi buku kawan seapartemen saya, yang sempat aktif terlibat gerakan progresif Amerika. Secara kebetulan saya menemukan pamflet gay liberation yang diterbitkan oleh organisasi Quakers (American Friends Service Committee), yang terkenal progresif. Ini pertama kali saya membaca pamflet politik yang menyuarakan keberagaman seksualitas dan menuntut kesetaraan, penerimaan, dan keadilan.

Seruan dalam pamflet itu merupakan pemicu saya menemukan keberanian untuk sekaligus “coming in” dan coming out (melela atau membuka diri kepada orang lain). Maka secara langsung atau melalui surat saya pun melela kepada orang-orang dekat saya: keluarga, kerabat, kawan-kawan lama dan sahabat pena, kawan kuliah, dosen dan siapa saja yang ada di sekitar saya.

Saya memberanikan diri meminjam buku-buku tentang berbagai aspek homoseksualitas dan gerakan gay dari perpustakaan universitas. Membawanya ke meja peminjaman menjadi latihan keberanian bagi saya. Selama liburan itu dan sesudahnya, saya lahap semua literatur itu, yang membuat saya makin yakin bahwa seksualitas saya yang beda hanyalah bagian dari keberagaman manusia, dan kalau belum diterima atau diperlakukan dengan adil, patut dan harus diperjuangkan.

Sesudah liburan usai, saya pun bergabung dengan Gay People at Cornell, organisasi gay di kampus, yang di kemudian hari saya baca merupakan organisasi gay kampus kedua di Amerika Serikat (1968). The rest, begitu ekspresinya dalam bahasa Inggris, is history.

Pada titik ini, saya ingin mengajak kita semua menganalisis bagaimana saya, dengan dua sifat yang membedakan saya dari kebanyakan orang, berhasil mencapai kepercayaan diri dalam mengekspresikan perbedaan dan keberagaman saya itu, sehingga berhasil merajut kehidupan yang lumayan sejahtera.

Baca Juga: Jazz Syuhada 2021 Gandeng Komunitas Lintas Iman di Kotabaru

Dede Oetomo soal Keberagaman, Penerimaan, dan Keadilan Sosialpixabay.com

Pentingnya Media dan Literasi

Tapi pertama sedikit catatan: pada kesempatan ini saya memusatkan perhatian pada dua dimensi keberagaman, yaitu etnisitas dan orientasi seksual, karena selain saya ingin berbagi perspektif pribadi, karena itulah yang paling saya ketahui dan sadari, saya juga menghindari pembahasan yang melebar ke sana-sini. Sudah barang tentu saya sadar sepenuhnya akan, dan menghargai dan menghormati dimensi-dimensi keberagaman manusia yang banyak sekali, seperti identitas gender, kelas sosial, afiliasi keimanan, ideologi politik, masyarakat adat, usia, disabilitas, dan lain-lain.

Dari uraian saya tentang perbedaan etnisitas dan orientasi seksual saya tadi, walaupun keduanya tidak persis sama, kelihatan bahwa pada awalnya saya sebagai anggota keluarga dan masyarakat menerima mentah-mentah apa yang dipajankan kepada saya sebagai anak dan remaja. Dapat dilihat bagaimana media massa, narasi di sekolah (sekuler maupun religius) maupun narasi hegemonik negara membentuk pengertian awal itu (tentang etnisitas dan orientasi seksual).

Untungnya, di keluarga saya ada kebiasaan membedakan kebenaran yang kami yakini dalam keluarga, yang bisa berbeda dari kebenaran yang berlaku di masyarakat. Barangkali justru karena identitas etnis kami yang diliyankan (dan kami liyankan juga), kebiasaan ini kuat.

Maka dalam hal etnisitas, bacaan dan pendidikan yang menekankan kesetaraan dalam keberagaman bahasa dan masyarakat lambat-laun berhasil membuat saya menerima ketionghoaan saya (dalam semua keunikannya) di hadapan golongan-golongan etnis lain maupun terhadap narasi nasional Indonesia, bahkan global.

Dalam hal orientasi seksual, kembali pajanan terhadap liputan media yang memberdayakan minoritas seksual kala itu, juga bacaan ilmiah yang serupa, dapat mengubah swa-homofobia saya menjadi penerimaan diri yang teguh, sehingga saya pun berani melela dan bahkan menjadi aktivis keberagaman, khususnya dalam dimensi gender dan seksualitas, sejak 1980.

Izinkanlah saya berbagi hal-hal yang saya dapatkan dari bacaan-bacaan yang berdasarkan penelitian dan pemikiran ilmiah yang kritis meyakinkan saya bahwa orientasi seksual gay hanyalah bagian dari keberagaman manusia.

Dari psikologi dan psikiatri yang kritis saya teryakinkan bahwa homoseksualitas bukan penyakit atau gangguan jiwa, dan memang tidak dapat dan tidak perlu diubah. Dari berbagai bacaan saya belajar: penentuan bahwa homoseksualitas adalah gangguan jiwa itu didasarkan pada sampel orang-orang homoseks yang datang ke psikolog atau psikiater, yang memang mengalami gangguan jiwa karena merasakan kesenjangan antara orientasi seksualnya dan norma yang dominan dalam masyarakat. Di sini metode sederhana dari sosiologi memberikan perspektif yang berbeda ketika diadakan survei kepada orang-orang gay yang tidak ditemui di praktek psikolog atau psikiater, dan ternyata mereka menunjukkan kesehatan mental yang rata-rata baik.

Dari antropologi saya belajar bahwa ada banyak budaya di mana keberagaman seksualitas dan gender lazim ditemukan dan diterima sebagai bagian dari kehidupan masyarakat. Dalam salah satu bacaan saya menemukan pernyataan dari Margaret Mead, salah seorang perintis antropologi, yang mengatakan, kalau dalam suatu budaya suatu fenomena atau perilaku tidak dilarang, tidak ada alasan untuk kita tetap melarangnya dalam budaya kita sendiri.

Ketika saya sudah melela dan menulis sebagai aktivis gay pemula, hal ini sampai pada perhatian guru saya di Cornell waktu itu, Pak Ben Anderson, dan dia pun memberikan setumpuk fotokopi artikel-artikel yang dikumpulkannya selama bertahun-tahun, yang menunjukkan kekayaan ragam gender dan seksualitas dalam budaya-budaya Nusantara. Saya pun diingatkan akan fenomena transgender dalam seni tari dan pertunjukan, seperti tari bedhaya di Yogyakarta dan tari gandrung di Banyuwangi yang pada abad ke-19 ditarikan oleh anak laki-laki yang mengenakan pakaian perempuan. Di Banyuwangi, berdasarkan catatan etnografis, disebutkan bahwa laki-laki dewasa yang nonton menyelipkan uang pada kutang para penari itu.

Saya diingatkan lagi tentang warok dan gemblakan di Ponorogo, yang pernah saya baca sebagai anak-anak di majalah populer. Saya diperkenalkan pada naskah Jawa klasik Serat Centhini atau Suluk Tambangraras, yang setidaknya mengandung dua episode relasi laki-laki dengan laki-laki (tetapi juga dengan perempuan transgender dan cisgender). Dengan bekal bacaan-bacaan ini, saya menjelajahi literatur lain yang mengungkapkan keberagaman gender seperti pada orang-orang Bugis, Toraja, dan Dayak, di mana perantara spiritual dengan dunia arwah (seperti bissu dalam budaya Bugis) disyaratkan menunjukkan berbagai ekspresi gender yang beragam sekaligus.

Hal-hal serupa saya dapatkan juga dari salah seorang pendiri FISIP Universitas Airlangga, Dr. A. Adi Sukadana, yang berbagi banyak pengetahuan tentang keberagaman gender dan seksualitas di Nusantara, juga dari kawan dan rekan senior saya, Dr. Ong Hok Ham. Belakangan saya menyimpulkan bahwa tidak benar bahwa homoseksualitas dan keberagaman gender dan seksualitas lainnya berasal dari Barat, karena sudah ada di Nusantara.

Dan akhirnya, walaupun pada masa itu saya sudah tidak religius lagi, dari teologi dan studi teks yang memberdayakan, yang belakangan berkembang menjadi teologi queer, saya belajar bahwa sikap agama-agama Samawi yang menabukan homoseksualitas, yang kita lihat sekarang, sesungguhnya diakibatkan oleh tafsir atau terjemahan yang dipengaruhi oleh sikap homofobik penafsir dan penerjemahnya, atau ditafsirkan atau diterjemahkan tanpa memperhatikan konteks. Umpamanya, kisah Sodom dan Gomora atau kaum Nabi Luth, apabila diperhitungkan konteks budaya gurun, lebih berkaitan dengan ketidakramahan terhadap tamu, yang merupakan pelanggaran berat.

Mudah-mudahan setakat ini saya telah dapat meyakinkan anda bahwa di sinilah krusialnya aktivisme yang dikerjakan oleh organisasi macam SEJUK. Yang juga senafas dengan itu adalah kegiatan pengelolaan pengetahuan yang antara lain dikerjakan peneliti dan pendidik, umumnya di perguruan tinggi, tetapi kadang harus dilakukan di luar lingkungan itu, karena seperti akan saya kritikkan pada bagian berikut ini: kadang perguruan tinggi, alih-alih menjadi fasilitator penemuan solusi atas tabu-tabu tertentu yang sesungguhnya tak berdasar, justru menjadi bagian dari masalah.

Oleh karena itu dalam strategi gerakan organisasi macam GAYa NUSANTARA, organisasi utama saya saat ini, kemitraan strategis dengan media dan lembaga ilmu pengetahuan yang menghargai dan menjunjung tinggi keberagaman itu sangat penting. Malahan dalam tiga dekade awal gerakan kesetaraan gender dan seksualitas, selain terbuka kepada media maupun lembaga ilmu pengetahuan arus utama, kami menerbitkan media alternatif (yang untungnya sudah mulai dilestarikan oleh Queer Indonesia Archive) dan kadang menerbitkan secara ilmiah populer pengetahuan alternatif juga.

Dede Oetomo soal Keberagaman, Penerimaan, dan Keadilan SosialIlustrasi LGBT (IDN Times/Arief Rahmat)

Keberagaman dan Keberagaman: Yang Mana yang Kita Perjuangkan

Akhirnya, izinkanlah saya mengajak kita semua mengkritisi keberagaman sebagai ideologi, sebagai cita-cita, dalam pelaksanaannya (oleh negara dan masyarakat sipil), dan mana yang kita perjuangkan.

Banyak orang dan lembaga menggunakan konsep keberagaman (kadang dengan istilah lain seperti kebinekaan), tetapi apakah pemahaman dan penerapan mereka sama? Negara Republik Indonesia, yang menyemboyankan Bhinneka Tunggal Ika pada lambang negara, narasi awalnya pun cenderung terbatas dalam menafsirkan keberagaman.

Narasi resmi negara mengakui suku (golongan etnis), yang kadang mencakupi golongan etnis yang dikonstruksi sebagai “keturunan asing.” Namun ini harus dipandang sebagai cita-cita. Dalam pelaksanaannya, penguasa negara atau pemerintah, atau bagian darinya, acapkali lebih menekankan “persatuan” dan “kesatuan” dalam bertindak. Ini tampak dalam responnya terhadap tuntutan-tuntutan kedaerahan pada tahun 1950-an. Kadang juga muncul kebijakan-kebijakan lokal atau nasional yang mendiskriminasi golongan Tionghoa, seperti penutupan sekolah-sekolah Tionghoa di Sumatera Utara oleh penguasa militer pada akhir tahun 1950-an, atau pelarangan terhadap pengusaha Tionghoa yang bukan WNI untuk berdagang di tingkatan lokal, dengan Peraturan Pemerintah No. 10/1959.

Dalam bidang agama, pengakuan 5-6 agama saja yang kemudian dibirokrasikan pada Departemen atau Kementerian Agama sebetulnya juga kebijakan yang mengingkari keberagaman yang sepenuhnya. Kebijakan konseptual terhadap agama-agama yang politeistik dan nonteistik juga terkesan memaksakan monoteisme apabila agama-agama minoritas ini hendak diakui dan dimasukkan dalam birokrasi negara. Belum lagi definisi baku agama (antara lain adanya kitab suci, misalnya) yang meminggirkan agama-agama lokal atau asli di Nusantara. Ketegangan ini masih terjadi hingga sekarang.

Dalam bidang ideologi politik, Orde Baru dari sejak berupa embrio sehingga berkembang penuh dengan eksplisit meminggirkan ideologi Marxisme-Leninisme. Pembatasan yang mungkin kurang eksplisit diterapkan juga kepada Islamisme sepanjang era Orde Baru, dan terakhir masih terjadi dengan pelarangan organisasi seperti Hizbut Tahrir Indonesia.

Dalam bidang gender, penguasa negara Orde Baru, dan hingga pemerintah yang sekarang pun, menerapkan ideologi yang secara jitu dikonsepsikan oleh Julia Suryakusuma sebagai ibuisme negara, di mana posisi perempuan dikotakkan sebagai penyerta suami dan dalam ranah-ranah domestik, yang dinomorduakan dibandingkan dengan posisi laki-laki.

Dalam perkembangannya, atas desakan masyarakat sipil maupun lembaga-lembaga internasional, bidang seperti disabilitas dan masyarakat adat pun semakin diperhatikan, tetapi apakah sepenuhnya?

Akan tetapi, dari sudut pandang aktivis keberagaman orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender serta karakteristik seks (SOGIESC) seperti saya, masih ada kesangsian apakah dimensi itu sendiri diakui sebagai bagian dari kebinekaan oleh penguasa negara, dan juga oleh masyarakat.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, makin banyak penolakan untuk membahas keberagaman yang satu ini, meskipun memang tidak universal. Dalam konteks akademik pun banyak penolakan terhadap kajian, diskusi, dan sebagainya. Kadang penolakan datang dari masyarakat juga; dan polisi, alih-alih menjadi wasit yang adil, lebih sering menghentikan kegiatan.

Bahkan bagian-bagian dari pemerintah, walaupun bukan pemerintah secara keseluruhan, seperti dapat kita saksikan pada apa yang oleh para aktivis dinamakan “tsunami panik moral” terhadap “LGBT” pada tahun 2016 lalu, secara eksplisit menunjukkan homofobia dan transfobia mereka, baik dengan usulan-usulan maupun rumusan legislasi yang diskriminatif.

Akhir bulan November 2021 yang lalu, kebetulan saya mendengarkan sambutan Duta Besar Kanada untuk Thailand, Laos dan Kamboja, Dr Sarah Taylor, pada acara HERO Awards daring yang diselenggarakan oleh organisasi yang waktu itu saya ketuai, APCOM. HERO adalah singkatan dari HIV, equality & rights. Dr Taylor merujuk pada konsep yang sekarang banyak digunakan dalam bidang bisnis maupun pemerintahan, yaitu diversity and inclusion (keberagaman dan inklusi atau penerimaan). Dikatakannya bahwa keberagaman faktual bisa saja diakui oleh suatu lembaga, tetapi apakah dibarengi dengan inklusi atau penerimaan?

Pemahaman saya akan “penerimaan” (yang beda dengan “toleransi”) saya dapatkan dari pidato pembukaan Prof. Kerryn Phelps, Presiden Ikatan Dokter Australia, pada Konferensi Hak Asasi Manusia dalam rangka Pekan Olahraga Gay di Sydney pada tahun 2002. Menurut Prof. Phelps, yang berbicara sebagai lesbian terbuka, beda antara penerimaan dan toleransi bisa dimetaforakan sebagai jamuan makan. Penerimaan artinya semua dapat duduk di meja makan yang sama. Toleransi dimajaskannya sebagai mengizinkan orang makan juga, tetapi di meja terpisah, dan mungkin makanannya lain dan bermutu lebih rendah.

Maka dari itu, pada hemat saya, dalam memperjuangkan keberagaman kita perlu senantiasa mencermati dan mengkritisi apakah kita juga mengusahakan inklusi atau penerimaan sepenuhnya.

Satu hal lagi yang perlu dicermati dan dikritisi adalah apakah kita hanya berkutat soal keberagaman dan penerimaan pada tataran konsep dan nilai saja, ataukah juga pada tataran kesejahteraan sosial-ekonomi. Di sini dapat saya bagikan bahwa makin banyak organisasi yang bergerak di bidang keberagaman SOGIESC, termasuk di Indonesia, sebagiannya dipicu oleh dampak pandemi Covid-19, secara integral memasukkan asas kesejahteraan sosial-ekonomi dalam strategi mereka. Mereka juga kian sadar akan beda kesetaraan (equality) yang memperlakukan semua pihak secara kurang-lebih sama dengan equity, yang memperhitungkan perbedaan modal dasar dan kesempatan.

Harapan saya, semoga semua pemikiran ini, sementara masih diabaikan, bahkan dimusuhi, oleh negara, dapat dibagikan oleh para pejuang media seperti yang hari ini kita rayakan di sini. Untuk itu sekalian saya, atas nama pribadi dan kiranya atas nama pergerakan keberagaman SOGIESC, menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih kepada lembaga seperti SEJUK, yang telah dengan semangat dan komitmen tinggi, menyertai perjuangan kami sebagai sekutu.

Baca Juga: Pentingnya Memupuk Toleransi Masyarakat di Dunia Digital

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya