Jurnalis Perempuan Memperjuangkan Kesetaraan Gender

Ekosistem dan budaya menghambat

Jakarta, IDN Times - Tidak ada negara yang benar-benar dapat berkembang jika menghambat potensi kaum perempuanya dan menghilangkan kontribusi dari separuh warganya. Michele Obama, Ibu Negara Amerika Serikat (2008-2016) menyampaikan hal ini dalam sebuah kesempatan.

Sebenarnya kutipan senada sering juga kita temui dari berbagai tokoh yang peduli dan ikut memperjuangkan kesetaraan gender. Dalam webinar yang digelar Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) bekerjasama dengan IDN Times, Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi menyampaikan pesan yang senada. “Investasi ke perempuan adalah investasi ke masa depan yang lebih baik,” kata Retno (6/3/2021). Acara digelar untuk memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret.

Apa yang disampaikan kedua sosok perempuan di atas, dasarnya adalah angka. Menurut Bank Dunia, populasi dunia tahun 2019 diperkirakan sebanyak 7,79 miliar, dengan 49,58 persen adalah perempuan. Bagaimana dengan Indonesia? Sensus Penduduk 2020 yang dirilis Badan Pusat Statistik menunjukkan populasi negeri kita ada 270,2 juta, dengan 49,42 persen adalah perempuan. Jelas, baik di tingkat global maupun Indonesia, perempuan hampir separuh dari populasi.

Apakah proporsi yang hampir sama itu menjamin terwujudnya kesetaraan gender (gender equality)? Jawabnya, masih jauh panggang dari api.

Perjuangan kesetaraan gender atau keadilan gender sering dipandang dengan sikap sinis, sebagai upaya mendorong perempuan “menang”. Padahal, secara definisi pun tidak ada istilah menang atau kalah. Kesetaraan gender adalah ketika semua orang, semua warga mendapatkan akses dan perlakuan yang setara, adil dan tidak didiskriminasi berdasarkan identitas jenis kelamin mereka.

Berdasarkan indeks kesetaraan gender yang diterbitkan Badan Program Pembangunan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), tingkat kesetaraan gender di Indonesia masih rendah. Indonesia ada di peringkat 103 dari 162 negara. Di kalangan negara ASEAN, posisi Indonesia ada di peringkat ketiga terendah. Ironis.

“Ini menunjukkan realita di lapangan bahwa saat ini perempuan masih tertinggal di belakang laki-laki, baik di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi hingga keterwakilan dalam politik,” kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Puspayoga, dalam sebuah acara yang digelar secara daring (8/10/2020).

Menurut Bintang, ketimpangan gender di Indonesia berkaitan dengan timpangnya akses partisipasi kontrol, dan kesempatan memperoleh manfaat di antara perempuan dan laki-laki, yang dipicu antara lain oleh nilai patriarki dan konstruksi sosial di masyarakat.
Padahal, di tingkat elit, misalnya di jajaran anggota kabinet, pernah ada sembilan orang menteri perempuan di kabinet periode kesatu Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pernah ada lima menteri perempuan. Saat ini Indonesia memiliki Ketua Dewan Perwakilan Rakyat perempuan.

Bagaimana di kalangan profesi jurnalis?

Dibandingkan dengan saat saya menjabat pemimpin redaksi sebuah majalah mingguan pada akhir tahun 1990-an, di mana saat itu saya satu-satunya pemimpin redaksi perempuan di kalangan media arus utama, kini situasinya membaik. Setidaknya saya kenal dengan belasan pemimpin redaksi perempuan yang mengelola ruang redaksi media umum. Tapi jumlah ini masih kalah jauh dibandingkan dengan pemimpin redaksi laki-laki. Ketimpangan terjadi di tingkat pusat sampai ke daerah, baik di media cetak, elektronik maupun media digital.

Bahkan di kalangan organisasi profesi jurnalis, baru Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang pernah punya ketua umum perempuan, yaitu Ati Nurbaiti, di periode 2001-2003.

Sejak era Dewan Pers yang independen, baru dua anggotanya perempuan. Saya bertugas untuk dua periode (2003-2006 dan 2010-2013) dan Ratna Komala (2016-2019). Ratna dipilih karena sesudah masa tugas saya berakhir, ketika menjadi bagian dari badan pemilihan anggota berikutnya, saya mendorong agar dalam statuta Dewan Pers dicantumkan kewajiban minimal ada satu anggota perempuan di antara sembilan kepengurusan Dewan Pers. Sayangnya, sesudah itu kewajiban itu tidak ada lagi. Organisasi konstituen Dewan Pers pun tidak mendorong keberadaan perempuan di jajaran Dewan Pers.

Jurnalis perempuan memiliki beban ganda: memperjuangkan kesetaraan gender di lingkungan profesi dan pekerjaanya, dan di masyarakat.

Jurnalis Perempuan Memperjuangkan Kesetaraan GenderGERAK Perempuan lakukan aksi di Monas untuk memeringati hari International Women’s Day, di halaman Monas, Minggu (8/3) (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Baca Juga: Sentuhan Perempuan di Berita Politik 

Mengapa hal itu terjadi? Menurut pengalaman dan pengamatan saya, ini fakta-faktanya:

  • Kerja dan perjuangan jurnalis perempuan belum didukung ekosistem, baik di rumah (keluarga) maupun di kantor. Belum semua kantor memberikan dukungan kepada jurnalis perempuan secara memadai. Termasuk soal keamanan dari pelecehan seksual. Ini salah satu dari hasil survei yang dilakukan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) dengan responden jurnalis perempuan dari 8 provinsi di Indonesia yaitu: Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Jambi, Papua, Papua Barat, dan Jatim, pada bulan Februari - Maret 2019 lalu. Survei ini dilakukan oleh FJPI untuk Southeast Asian Press Alliance (SEAPA) guna menyambut World Press Freedom Day 3 Mei 2019. Selain mengalami pelecehan seksual baik dari rekan kerja, maupun saat meliput di lapangan, jurnalis perempuan masih dianggap tidak kapabel dalam meliput hard news, termasuk isu politik.
  • Jurnalis perempuan masih alami diskriminasi akses ke pelatihan dan pengembangan profesi. Hal ini yang menjadi perhatian dari FJPI sejak berdiri 13 tahun lalu. Peningkatan profesionalisme jurnalis perempuan jadi fokus organisasi. Bersama-sama FJPI membangun solidaritas dan kepekaan meliput isu yang terkait pemberdayaan perempuan. Salah satunya, yang baru saja dilakukan adalah kerjasama dengan The Body Shop dan IDN Times menyelenggarakan webinar dan lomba menulis soal mengapa Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual perlu segera disahkan. Keep learning attitude, mau terus belajar, adalah intisari dari the future of work, masa depan bekerja. Mengutip Raden Ajeng Kartini, “Perempuan yang pikirannya telah  dicerdaskan, pemandangannya telah diperluas, tak akan sanggup lagi hidup di dalam  dunia nenek moyangnya”. Menurut saya, pendidikan dan pengembangan profesi bagi jurnalis perempuan penting dilakukan, seraya melakukan pendidikan sensitif gender  kepada jurnalis laki-laki pula.
  • Meskipun kian banyak perempuan menduduki posisi senior, bahkan menjadi pemimpin redaksi, belum tentu mereka bisa membendung dominasi pengaruh pemilik maupun pemimpin perusahaan media yang masih didominasi laki-laki. Studi yang dilakukan di Eropa pada tahun 2018, menunjukkan hanya 16 persen perempuan menjadi kepala eksekutif (CEO) di perusahaan media. Kepentingan bisnis membuat ruang redaksi sering harus tunduk kepada pemilik, termasuk dengan risiko mengorbankan keberpihakan terhadap perempuan dalam produksi konten editorial maupun komersial. Di sini ada hambatan cara berpikir.
  • Laporan Komite Kesetaraan Gender di Komisi Penyiaran Eropa tahun 2018 juga memaparkan bahwa perempuan yang bekerja di media mengalami secara luas, “diskriminasi berdasarkan gender, ketimpangan akses termasuk dalam hal gaji, rekrutmen, penugasan kerja dan promosi".  Dalam konteks gaji dan benefit, saya mendapatkan informasi dari teman-teman  pemimpin redaksi perempuan bahwa situasinya di Indonesia jauh membaik. Tidak  ada perbedaan gaji antara jurnalis laki-laki dengan perempuan, setidaknya saat mulai  bekerja (entry level). Kesempatan promosi dan manfaat non gaji diberikan setara. Masalahnya, ketika jurnalis perempuan berkeluarga dan punya anak, banyak yang terhambat karirnya karena tidak punya ekosistem yang mendukung. “Harus mengurus anak karena tidak punya pengasuh, suami bekerja dan tidak bisa berbagi peran domestik”, adalah alasan yang paling sering ditemukan. Selama pandemik COVID-19, perempuan termasuk jurnalis mengalami beban ganda saat harus bekerja dari  rumah dan menemani anak-anak belajar dari rumah.
  • Jurnalis perempuan rentan alami perisakan (bullying), apalagi di era digital. Studi yang dilakukan Pusat Media di Universitas Texas, di AS, mendapati jurnalis perempuan alami pelecehan di dunia maya saat bekerja dan mencoba melakukan interaksi dengan pengguna internet. Risikonya lebih besar bagi perempuan jurnalis karena pelecehannya bernuansa seksual. Studi ini mewawancarai 75 perempuan jurnalis yang bekerja (atau pernah bekerja) di negara Jerman, Taiwan, Inggris, India dan AS. Responden berasal dari beragam budaya, dengan rentang masa kerja belum lama sampai sudah lama jadi jurnalis. Hasilnya, mayoritas responden mengalami umpan balik negatif yang lebih darii  sekadar kritik atas hasil kerjanya. Mereka menjadi target pelecehan seksual di media sosial. Padahal, dalam suasana kerja saat ini, kebutuhan bagi jurnalis untuk berinteraksi di ranah maya makin tinggi. Para perempuan jurnalis ini juga mengaku tidak mendapatkan dukungan dari kantor (redaksi) saat mengalami pelecehan seksual secara daring. Redaksi menganggap itu masalah personal. Perempuan jurnalis sebenarnya  butuh dibekali bagaimana menghadapi situasi pelecehan di dunia maya.

Poin-poin di atas adalah sekelumit perjuangan jurnalis untuk mencapai kesetaraan gender. Hal itu mempengaruhi kemampuan jurnalis dalam menjalankan kerja jurnalistiknya, termasuk memperjuangkan kesetaraan gender di masyarakat. Ketimpangan dalam jumlah perempuan yang menjadi narasumber, bagaimana media menggambarkan perempuan dalam berita maupun iklan, sampai diksi dalam judul dan tubuh berita yang seksis dan click-bait adalah persoalan berat yang masih terjadi. Penting untuk membangun sistem, termasuk merumuskan buku panduan bagi redaksi, yang memastikan seluruh jurnalis memahami dan menyajikan konten media yang sensitif gender. Literasi gender perlu bagi jurnalis mulai dari pemimpin redaksi sampai reporter.

Jika masalah yang dialami oleh jurnalis perempuan bisa diatasi, maka peran untuk mendorong kesetaraan gender kian terbuka. Termasuk mendukung agenda editorial untuk memastikan bahwa kepentingan pemberdayaan perempuan wajib ada dalam setiap pengambilan keputusan publik, dan penganggaran publik. Hanya dengan situasi demikian, maka separuh dari populasi masyarakat ini dapat berkontribusi makin signifikan dalam membangun sebuah bangsa.

Baca Juga: Normalisasi Kesetaraan Gender lewat Media

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya