Jurnalisme Makna, Warisan Penting Pak Jakob Oetama 

Makin relevan di era digital

Jakarta, IDN Times - Pertengahan 2001 sampai Februari 2006, saya bekerja di
TV7, yang dimiliki Kelompok Kompas Gramedia. Selain menjadi wakil
pemimpin redaksi, saya ditugasi menjadi pembawa acara talkshow yang diberi
nama “Duduk Perkara”. Acara bincang-bincang ini jadwalnya mingguan dan
mengundang narasumber kompeten untuk membahas tema yang sedang aktual.

“Duduk Perkara” adalah istilah yang sering diucapkan Pak Jakob Oetama.
Wartawan, dan tentu saja media, harus menyampaikan duduk perkara sebuah
peristiwa, tidak berhenti sekedar menyodorkan fakta-fakta saja. Ini diucapkan
Pak Jakob dalam berbagai kesempatan termasuk rapat-rapat redaksi yang
digelar di ruangan gede dan nyaman di lantai 21 Gedung Dharmala, di Jalan
Jenderal Sudirman, Jakarta.

Hari ini, Pak Jakob Oetama tutup usia, meninggalkan kita semua, tidak hanya
masyarakat pers, melainkan juga bangsa Indonesia. Pak Jakob meninggal dunia
di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading Jakarta, Pukul 13.05 WIB
dalam usia 88 tahun. Pak JO, demikian kami menyebut beliau, pergi di bulan
yang sama dengan bulan kelahirannya, 27 September 1931.

Saya tertegun. Sedih. Kehilangan. Sudah lama saya tidak bertemu beliau, dan
mendapatkan informasi bahwa beliau sakit lumayan serius. Saya hanya bisa
mendoakan dari jauh, seraya mengenang semua kebaikan dan perhatian beliau
saat saya bekerja di TV7, maupun jauh sebelum itu, ketika saya menjadi
pemimpin redaksi Majalah Panji Masyarakat. Perhatian beliau tidak hanya ke
soal-soal pekerjaan, melainkan juga ke kondisi pribadi, kepada keluarga, bahkan
saat kelahiran anak saya, Darrel.

Pelajaran soal “duduk perkara” itu tak pernah hilang dari ingatan, sekalipun
saya “berpisah” dari KKG sejak Februari 2006. Buat saya, itu menjadi
semacam “mantra”, pengingat diri bahwa itulah tugas penting jurnalistik. Di
era digital ketika siapa pun bisa memproduksi konten informasi layaknya media,
peran media menyampaikan duduk perkara peristiwa itu jadi makin penting.
Duduk perkara, yang bisa diartikan juga sebagai penjelasan, explainer, adalah
konten yang relevan dan dibutuhkan khalayak di era media sosial. Jurnalistik
mengenal prinsip kelengkapan berita lewat rumus 5 W+1 H (what, who, when,
where, why and how).

Duduk perkara adalah implementasi dari how (bagaimana), dan why (mengapa)
?. Memberikan informasi duduk perkara, merangkai fakta-fakta dan memberikan konteks, itu membedakan konten jurnalistik dengan celotehan di media sosial.

Dalam buku kumpulan tulisan Pak JO, “Pers Indonesia, Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus”, yang diterbitkan dalam rangka Hari Ulang Tahun beliau yang ke-70 tahun, Pak JO membahas soal ini di tulisan berjudul, “Sampaikan Informasi secara Menarik dan Bermakna”.

Konteksnya memang surat kabar. Tapi, saya menganggap apa yang disampaikan adalah prinsip yang awet sampai kini dan ke masa depan, apapun mediumnya.

Saya kutipkan di sini:

“Orang membaca surat kabar untuk mencari informasi, yakni informasi yang
cukup lengkap, sehingga jelas duduknya perkara dan karena itu memberikan
bahan informasi yang berarti.

Ribuan informasi, bahkan jutaan informasi itu, mana mungkin termuat seluruhnya dan tersiarkan pula seluruhnya? Mau tidak mau ada proses seleksi, memilih. Inilah jasa media, semua media, terutama media cetak. Mengapa media cetak? Karena di tengah persaingan dengan media lain yang lama, terutama yang baru, The New Media, surat kabar harus cerdas dan kreatif memberikan kelebihannya. Kelebihan itu seleksi sedemikian rupa, sehingga informasi yang berarti bagi khalayak pembacanya disajikan.

Bukan sekadar disajikan, tetapi disajikan sedemikian rupa sehingga jelas arti dan maknanya. Disajikan sedemikian rupa, sehingga lewat informasi itu, pembaca bisa menangkap kecenderungan-kecenderungan. Pembaca memperoleh informasi yang bukan saja bermanfaat karena memberikan pengetahuan aktual, tetapi sekaligus memperoleh informasi yang membantu pembaca untuk menempatkan dirinya. Yakni, menempatkan dirinya dalam lingkungan hidupnya. Konteks menjadi kata kunci untuk bisa menyajikan
informasi semacam itu.

Tidak ada peristiwa atau persoalan yang begitu saja jatuh dari langit. Senantiasa ada latar belakangnya, ada prosesnya, ada kaitan-kaitannya, ada konteksnya. Informasi dalam konteks itulah, barangkali, diperlukan pembaca. Kelebihan itu, surat kabar atau media cetak lebih sanggup memberikannya.

Konteks itu bermuka ganda. Pertama, konteks berhubungan langsung dengan kejadian serta persoalan yang menjadi bahan berita serta informasi. Konteks juga bertali-temali dengan kerangka referensi, dengan frame of reference.

Jika berhasil dikombinasikan secara cerdas, proaktif dan disertai refleksi kritis, konteks dalam makna itu akan membantu surat kabar dapat membaca da menyajikan trends, kecenderungan-kecenderungan. Ini diperlukan khalayak pembaca. Apalagi di masa peralihan, perubahan dan pancaroba – dan ini kedengarannya paradoksal- masyarakat semakin memerlukan pengetahuan dan antisipasi perihal kecenderungan. Akan ke mana dan karena itu masyarakat harus bagaimana?”.

Pak Jakob beranggapan, pers yang mampu menyajikan duduk perkara, memberikan konteks dan makna, dapat lebih efektif dalam menjalankan fungsinya menyampaikan informasi kepada publik.

Ada syaratnya.

Pers hanya bisa melakukan fungsi informasi dengan baik, jika pers memiliki kebebasan dan dengan kebebasan itu pers dapat memenuhi apa yang dikenal sebagai hak untuk mengetahui, the right to know.

“Inilah pilar lain untuk komunikasi, control, koreksi, partisipasi dan demokrasi, bahwa masyarakat diantaranya lewat media massa bisa mengetahui seluas dan seterbuka mungkin persoalan-persoalan yang menyangkut kebersamaan hidupnya sebagai bangsa dan negara,” tulis Pak JO.

Syarat lainnya? Kebebasan pers harus disertai kompetensi profesional. “Untuk menjadi wartawan yang baik tidaklah cukup kalau hanya cerdas dan berbakat menulis. Wartawan sekarang dituntut untuk memiliki pengetahuan spesialisasi,” demikian Pak JO. Menjalankan etika profesi, kode etik memberikan kredibilitas, otoritas, wibawa kepada pers. Bisa dijadikan acuan.

Bahkan di buku itu, yang diterbitkan tahun 2001, Pak JO menyinggung soal kehidupan pers yang kian sulit. Kebanyakan surat kabar dan majalah dihadapkan pada tantangan survival, bertahan hidup. Tidakan efisiensi harus dilakukan termasuk restrukturisasi. “Ada godaan besar untuk masuk ke dalam jalur sensasionalisme agar bertahan hidup,” ujar Pak JO.

Menurutnya, sensasionalisme memang memberikan hiburan, membantu proses pelegaan atau katarsis dalam situasi serba sulit dan sesak ini. Tetapi sensasionalisme juga bisa menambah kebingungan. Karena itu sensasi sebagai warna boleh, bahkan diperlukan, tapi dijaga untuk tidak menjadi sensasionalisme.

Sebab, kata Pak JO, “justru karena kondisi kita serba sulit, desak-mendesak, kurang menentu, begitu kompleks, pers harus bisa menjelaskan duduk perkaranya, membantu membuat prioritas dan agenda serta melalui proses itu ikut membangun platform bersama.”

Membaca kembali kalimat-kalimat Pak JO, kian menyadarkan betapa beliau adalah sosok visioner yang berpandangan jauh ke depan. Kini, saat negeri dan dunia dilanda pandemik COVID-19, dan jutaan informasi mengepung kita, konsep jurnalisme makna kian penting. Kita semua sama-sama belajar tentang pandemik. Sama-sama mencari dan harus menyajikan duduk perkara. Menjelaskan.

Jurnalisme makna adalah warisan penting dari Pak Jakob Oetama untuk dunia jurnalistik. Untuk saya juga.

Maturnuwun, sugeng tindak, Pak.

Topik:

  • Dwi Agustiar
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya