Mampukah Luhut dan Doni Turunkan Kasus COVID-19 Dalam 2 Pekan? 

Habis Gugus Tugas, Satgas, lalu?

Jakarta, IDN Times – “You don’t make the timeline, the virus makes the timeline.” Ucapan
Anthony Fauci, ahli penyakit menular di Amerika Serikat itu, viral di penghujung bulan
Maret 2020.

Fauci, direktur Institut Nasional untuk Penyakit Menular dan Alergi di AS itu,
menanggapi Presiden Donald J. Trump yang tergesa-gesa ingin membuka kembali kegiatan ekonomi, dan menetapkan tanggalnya, yaitu 12 April 2020.

Fauci menjawab pertanyaan Chris Cuomo, di program “Prime Time” di televisi CNN. Saat
ini, AS adalah salah satu negara terburuk dalam penanganan COVID-19. Data terkini
worldometers.info menunjukkan ada 6.749.289 kasus terinfeksi, 190 ribu meninggal dunia.

Ekonom Faisal Basri mengingatkan saya atas ucapan Fauci. “Jadi, gak bisa bikin timeline
buat menangani virus, dalam dua minggu. Kita bisa menangani virus kalau berlari lebih
cepat dari virusnya. Bagaimana caranya? Lakukan testing, itu pertama,” kata Faisal, dalam
wawancara khusus dengan IDN Times, Selasa, 15 September 2020.

Singkatnya Faisal mengingatkan pemerintah perlu lakukan 3 T (testing, tracing, treatment) dengan konsisten di seluruh wilayah negeri. Ucapan Fauci menjadi pengingat keras saat saya membaca berita soal Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, yang mengaku mendapat perintah dari Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk mengawal ketat penanganan pandemik di 9 provinsi utama.

Supaya akurat, di bawah ini saya cantumkan kutipan siaran pers yang disampaikan staf
Kemenko Marves di grup WhatsApp dengan jurnalis, Senin (14/9/2020) malam.

Presiden Perintahkan Menko Luhut Kawal Ketat Penanganan Pandemi di 9 Provinsi
Utama

Marves—Jakarta, Presiden Joko Widodo memerintahkan Menko Bidang Kemaritiman dan
Investasi Luhut B. Pandjaitan dan Kepala Badan Nasional Pengendalian Bencana (BNPB)
Doni Monardo bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk fokus
menangani Kasus Covid19 di sembilan Provinsi pada Hari Senin (14-9-2020). Kedelapan
provinsi yang memiliki kontribusi terbesar terhadap total nasional tersebut adalah DKI
Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim, Kalsel, Sulsel, Bali, Sumut dan ditambah Papua. 
Menko Marves yang juga Wakil Ketua Komite Kebijakan Pengendalian Covid-19 dan
Pemulihan Ekonomi Nasional segera mengundang kepala daerah serta pimpinan TNI/Polri
di kesembilan provinsi tersebut untuk melakukan rapat koordinasi secara virtual.

"Presiden perintahkan dalam waktu dua minggu kita harus bisa mencapai tiga sasaran yaitu penurunan penambahan kasus harian, peningkatan recovery rate dan penurunan mortality rate,” tegas Menko Luhut.

Hadir pula dalam rapat koordinasi tersebut antara lain Menteri Kesehatan Terawan Agus

Putranto, Menkopolhukam Mahfud MD., Menko PMK Muhadjir Effendi, Menko
Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Kepala BNPB Doni Monardo. Sementara itu, kepala
daerah yang hadir dalam pertemuan virtual tersebut yakni Gubernur DKI Anies Baswedan, Gubernur Jabar Ridwan Kamil, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo dan Gubernur Jatim
Khofifah Indar Parawansa.

Mengenai perintah presiden untuk berkonsentrasi lebih dahulu kesembilan provinsi tersebut
adalah karena kedelapan provinsi itu berkontribusi terhadap 75% dari total kasus atau 68% dari total kasus yang masih aktif. Diluar 8 provinsi tersebut ditambahkan juga Provinsi Papua. Lebih jauh, Menko Luhut menyebutkan bahwa untuk mencapai tiga sasaran penanganan penularan Covid 19 di kesembilan provinsi utama itu pihaknya telah menyusun tiga strategi.

“Operasi yustisi untuk penegakan disiplin protokol Kesehatan, peningkatan manajemen

perawatan pasien Covid19 untuk menurunkan mortality rate dan meningkatkan recovery rate serta penanganan secara spesifik kluster-kluster Covid19 di setiap provinsi,” jelas dia.

Lengkapnya keterangan pers itu, ada di bawah ini.

Baca Juga: Luhut Ditunjuk Presiden Turunkan Kasus COVID-19 di 9 Provinsi

Mampukah Luhut dan Doni Turunkan Kasus COVID-19 Dalam 2 Pekan? Jokowi memberi arahan dalam rapat terbatas pada Senin (14/9/2020) (Dok. Biro Pers Kepresidenan)

Saya cek, sejak mengaku menerima perintah dari Presiden Jokowi, Luhut sudah menggelar dua kali rapat dengan para pihak terkait termasuk gubernur. Rapat dilakukan Senin sore dan Selasa pagi hari ini.

Bukan pertama kalinya Jokowi memberikan perintah dengan tenggat. Awal bulan Mei tahun ini, Jokowi ingin kurva pandemik corona turun di bulan Mei.

"Target kita di bulan Mei ini harus betul-betul tercapai, sesuai dengan target yang kita
berikan yaitu kurvanya sudah harus turun dan masuk posisi sedang di Juni. Di Juli harus
masuk posisi ringan. Dengan cara apapun," perintah Jokowi yang disiarkan langsung di
channel YouTube Sekretariat Presiden (6/5/2020).

Instruksi Jokowi ditujukan tidak hanya kepada Tim Gugus Tugas penanganan COVID-19
saja, melainkan elemen bangsa lainnya.

"Jajaran pemerintahan, organisasi sosial kemasyarakatan, relawan, parpol, dan swasta. Ini
harus diorkestrasi dengan baik," ujar mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

Target Jokowi meleset. Sejak awal pandemik, Jokowi membentuk sejumlah kepanitiaan. Pada 13 Maret 2020, lewat Keputusan Presiden Nomor 7/2020, Jokowi membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, dengan tim pengarah Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukkam), Menteri Kesehatan dan Menteri Keuangan. Ketua pelaksana adalah Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Selang sepekan, 20 Maret 2020, Jokowi menerbitkan Keppres Nomor 9/2020, tentang
Perubahan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Ketua Pengarah adalah Menko PMK, Wakil Ketua Menkopolhukam dan Menteri Kesehatan, Sekretaris adalah Menteri Keuangan. Anggotanya ada 19 menteri, lima kepala lembaga, dua pimpinan instansi penegak hukum dan semua gubernur.

Mereka adalah Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri
Agama, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
Menteri Sosial, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Perdagangan, Menteri Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Badan Usaha Milik Negara, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Bekraf, Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, Menteri Pemuda dan Olahraga, Kepala Badan Intelijen Negara, Kepala Staf Kepresidenan, Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Kepala Badan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Para Gubernur seluruh Indonesia. Ketua pelaksana masih Kepala BNPB Letnan Jenderal TNI Doni Monardo.

Merasa bahwa pemulihan ekonomi perlu mendapatkan perhatian lebih, pada 20 Juli 2020,
Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 82/2020, tentang Komite Penanganan
COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional.

Perpres memuat lembaga Komite Kebijakan yang diketuai Menteri Koordinator
Perekonomian dengan wakil ketua, yaitu ketiga menteri koordinator, Menteri Keuangan,
Menteri Kesehatan dan Menteri BUMN. Ketua pelaksana Komite COVID-19 adalah Menteri BUMN dengan wakil ketua Kepala Staf Angkatan Darat dan Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia.

Lantas ada posisi Ketua Satuan Tugas Penanganan COVID-19, yaitu Kepala BNPB, serta
Ketua Satgas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Nasional dengan ketua wakil menteri
BUMN, dalam hal ini Budi Gunadi Sadikin.

Seolah tidak cukup, untuk urusan vaksin, pada 3 September 2020, Jokowi
menerbitkan Keppres Nomor 18/2020 tentang Tim Nasional Percepatan Pengembangan
Vaksin COVID-19. Ketua tim pengarah timnas vaksin adalah Menko Perekonomian dengan anggota Menko Polhukam dan Menko PMK. Ketua pelaksana adalah Menristek/Kepala BRIN, dengan wakil ketua menteri kesehatan dan menteri BUMN. Anggotanya adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Mendikbud dan Kepala BPOM.

Kita tidak tahu kepanitiaan apa lagi yang akan dibentuk Jokowi untuk menangani pandemik yang belum nampak ujungnya. Kurva pandemik masih naik, membuat ngeri dan miris.

Warga resah karena korban berjatuhan dan yang terdampak adalah mereka yang dikenal :
figur publik, dokter dan tenaga kesehatan, teman sekantor, teman sekampus, bahkan keluarga dekat. Ruang rawat darurat dan ruang isolasi di rumah sakit rujukan mulai penuh. Situasinya kembali ke 6,5 bulan lalu di awal pandemik dideklarasikan di Indonesia. Pemerintah mengumumkan menyediakan rumah sakit darurat Wisma Atlet sebagai ruang isolasi.

Baca Juga: Rapat dengan Luhut, Ridwan Kamil Usul Manajemen Koordinasi 3 Provinsi

Mampukah Luhut dan Doni Turunkan Kasus COVID-19 Dalam 2 Pekan? Ketua Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo. IDN Times/Debbie Sutrisno

Sejak 14 September 2020, Provinsi DKI Jakarta terpaksa melakukan Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB) seperti di awal pandemik, setelah sebelumnya sempat melakukan
PSBB transisi dengan melonggarkan kegiatan ekonomi. Presiden Jokowi mengingatkan bahaya klaster keluarga, klaster perkantoran dan klaster Pilkada.

Setelah sempat gencar melakukan kampanye “New Normal” dengan relaksasi kegiatan
ekonomi, pada 7 September 2020, Jokowi menyampaikan kicauan di akun Twitternya: Agar ekonomi kita baik, kesehatan harus baik. Ini artinya fokus utama pemerintahan dalam penanganan pandemi ialah kesehatan dan keselamatan masyarakat. Jangan sampai urusan kesehatan ini belum tertangani dengan baik, kita sudah me-restrart ekonomi. Kesehatan tetap nomor satu.

Kembali ke perintah terbaru Jokowi ke Luhut dan Doni Monardo, tiga sasaran yaitu
penurunan penambahan kasus harian, peningkatan tingkat kesembuhan dan penurunan angka kematian. Mengapa perlu menugasi secara khusus ke Menko Marves Luhut?
Mengapa tidak menugasi Menkes Terawan Agus Putranto, yang seharusnya menjadi
komando pelaksana penangangan pandemik ini sejak awal? Bukankah Kemenkes yang
memiliki jejaring birokrasi sampai ke daerah termasuk pusat kesehatan masyarakat?

Jika yang dituju sekaligus adalah operasi yustisi untuk penegakan hukum atas pelanggaran protokol kesehatan COVID-19 di 9 provinsi, bukankah bisa dilakukan lewat Kapolri dan gubernur yang punya satuan polisi pamong praja (Satpol PP)?

Walhasil, di luar sibuk membuat kepanitiaan dan rapat terbatas, Jokowi tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan sejak awal. Minimal sejak Mei 2020, setelah “belajar dan bangkit dari kekagetan datangnya pandemik”.

- Mengevaluasi kinerja menteri kesehatan yang sudah jelas gagal. Buktinya pandemik
kian memburuk
- Memerintahkan Kemenkes memastikan semua dokter, tenaga kesehatan termasuk
penyedia makanan dan petugas kebersihan di fasilitas kesehatan dicukupi alat
pelindung diri (APD).
- Memastikan kecukupan reagen, tes usap PCR di semua puskesmas di zona merah,
sehingga semua dapat melakukan testing sesuai standar Badan Kesehatan Dunia
(WHO). Begitu pula di RSUD. Sejauh ini yang sudah memenuhi adalah Jakarta dan
Sumatera Barat. Hasil tes pun masih lambat, sampai 7-10 hari di sejumlah Puskesmas,
terkecuali mau membayar mahal di RS swasta. Testing, Tracing (pelacakan) dan
Treatment (penanganan di fasilitas kesehatan) harusnya membaik signifikan.
- Memastikan biaya tes usap PCR diturunkan, karena sebenarnya BUMN Biofarma dan
Nussantic sudah bisa memproduksi PCR tes lokal dengan harga lebih murah, dan
masih tersedia banyak di Biofarma.
- Memastikan bahwa 343 laboratorium pemeriksaan spesimen PCR tes yang dikelola
12 kementerian/lembaga memiliki tenaga lab yang cukup dan andal, sehingga
pemeriksaan lebih cepat. Tenggang waktu terlalu lama membuat angka kasus harian
tidak akurat untuk dasar pengambilan keputusan, kecuali menggunakan proyeksi data
dengan permodelan.

Saya membatasi pada aspek penanganan krisis kesehatan saja. Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) bisa naik kembali setelah anjlok gara-gara kaget DKI Jakarta menarik rem darurat. Tapi nyawa yang melayang gara-gara krisis kesehatan tak pernah bisa kembali.

Apakah kali ini tenggat dua pekan yang diperintahkan Jokowi ke Luhut dan Doni untuk
turunkan kasus COVID-19 bisa dipenuhi? Saya berharap iya. Sehingga prediksi Jokowi yang sebelumnya meleset, kali ini bisa terwujud. Semoga bukan dengan menurunkan angka testing di 9 provinsi itu.

Baca Juga: Satgas: Kasus Positif COVID-19 Meningkat 10,4 Persen dalam Sepekan

Topik:

  • Dwifantya Aquina
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya