Mengapa Generasi Z Memilih untuk FIGHT, Berjuang

Buku John Della Volpe bahas aspirasi Gen Z

Jakarta, IDN Times - Mereka sering disebut malas dan merasa berhak, generasi baru yang terlihat terikat erat dengan ponsel dan TikTok mereka. Dan ketika mereka berbicara tentang isu terkini yang hangat, mereka disambut mata memicing dan helaan nafas. Tanggapan yang seolah menyampaikan sikap tersirat dari generasi lebih tua, "Mungkin mereka akan mengerti bagaimana dunia bekerja ketika mereka lebih tua."

Tetapi veteran jajak pendapat di AS, John Della Volpe, mengatakan bahwa semua yang diberitahukan kepadanya—dan yang kebanyakan orang pikirkan—tentang Generasi Z adalah salah. Della Volpe adalah direktur jajak pendapat di Institut Politik Harvard Kennedy School dan mantan penasihat kampanye Joe Biden dalam Pemilihan Presiden 2020.

Dia menjadi sosok yang selalu dicari dan diwawancarai media berkaitan dengan aspirasi milenial, apalagi soal politik. Saya kenal Della Volpe dalam berbagai kegiatan tahunan Eisenhower Fellowships, sebuah beasiswa kepemimpinan yang berpusat di AS. Kami sama-sama alumninya dan duduk sebagai wakil negara di jejaring majelis global EF.

Baca Juga: Ini Perbedaan Generasi Baby Boomer, Gen Z hingga Generasi Alpha

Della Volpe mengeksplorasi evolusi Gen Z dalam buku barunya: Fight: How Gen Z Is Channelling Their Fear and Passion to Save America. Buku yang terbit 18 Januari 2022 dan langsung masuk jajaran buku laris itu, menceritakan kisah 70 juta anak muda di Amerika yang lahir dalam periode 20 tahun yang dimulai pada pertengahan 1990-an. Gen Z. Della Volpe meneliti kebangkitan politik generasi ini yang sebagian besar terjadi selama era Presiden Trump, serta apa yang dia gambarkan sebagai "krisis kesehatan mental yang signifikan", yang diperparah oleh keadaan politik negara itu.

“Selalu terkoneksi dengan layar (telepon) dan terhubung dengan dunia, Gen Z tak pernah merasakan negara mereka dalam situasi damai. Gen Z yang paling tua, termasuk anak-anak saya, baru masuk sekolah saat 19 teroris membajak empat pesawat terbang dalam Tragedi 11 September 2001, yang menewaskan hampir 3000 orang,” kata Della Volpe di bukunya. Dia memberikan kesempatan kepada saya untuk membaca naskah bukunya sebelum dicetak.

Gen Z termuda dipaksa untuk sekolah dari rumah saja gara-gara penguncian (lockdown) pandemik COVID-19, harus mengerjakan soal matematika lewat Zoom, bahkan bermain dengan teman secara daring.

Buku setebal 272 halaman itu diberi kata pengantar oleh David Hogg, yang dianggap sosok paling populer sebagai aktivis Gen Z di Amerika Serikat. Hogg adalah siswa yang selamat dari tragedi penembakan di sekolah menengah Marjory Stoneman Douglas di Parkland, Florida, tahun 2018.

Koran terkemuka The Washington Post menyebut Della Volpe salah satu dari tokoh yang memiliki otoritas soal sentimen, pendapat dan pengaruh isu-isu gobal terutama berkaitan dengan milenial.

Sesudah dua dekade meneliti aspirasi kaum muda, tidak terbatas di AS, apa yang membuat Della Volpe menulis buku tentang Gen Z ini?

“Terus terang, saya pikir semua yang diberitahukan kepada saya dan semua yang dipikirkan banyak orang tentang Gen Z sejujurnya, salah. Dan saya ingin menulis buku ini untuk mengoreksi mitos-mitos tersebut. Saya pikir setiap generasi memiliki bagian dari kecemasan dan kekacauan. Saya Gen X, tapi saya tidak berpikir ada generasi dalam 75 tahun yang telah dihadapkan dengan lebih banyak kekacauan, lebih cepat dalam kehidupan muda mereka daripada Gen Z atau Zoomer. Ketika kita memikirkan hal ini, banyak dari mereka lahir tepat sekitar Tragedi 9/11, dan itu membayangi hidup mereka. Jutaan orang tua mereka kehilangan rumah karena Resesi Hebat. Memasuki sekolah, mereka menghadapi latihan penguncian, hal-hal yang belum pernah dilihat generasi saya. Dan gagasan untuk pergi ke suatu tempat dan merasa aman tidak pernah benar-benar ada bagi kaum muda. Begitu banyak kekacauan, bahkan sebelum COVID-19 dan isolasi sosial dalam bentuk penguncian (lockdown), semua ini dipercepat oleh media sosial. Semua ini terjadi sebelum mereka berusia 25 tahun. Jadi di situlah mereka tumbuh dewasa. Namun alih-alih mencair, itu membuat mereka lebih keras dan membuat mereka lebih tangguh dan membuat mereka lebih fokus untuk melakukan hal-hal besar untuk diri mereka sendiri dan untuk negara,” jawab Della Volpe, kepada NPR.

David Hogg yang diwawancarai dalam kesempatan yang sama mengatakan, “Walaupun pemungutan suara itu penting dan jelas merupakan hal yang sangat penting untuk kita lakukan, itu tidak bisa menjadi satu-satunya hal yang kita lakukan karena generasi kita tidak akan menunggu kemajuan. Seperti yang telah kita lihat dari semua gerakan ini, terutama selama empat tahun terakhir, bahwa kaum muda telah memainkan gerakan kritis dan dari March for Our Lives, menyerukan keadilan rasial, hingga yang lainnya. Kita harus memilih, tetapi kita juga harus ingat bahwa perubahan harus dibuat di dalam dan di luar politik, karena kekuatan nyata dalam politik tidak hanya dihasilkan dengan suara. Ini menghasilkan masalah dan perubahan budaya di sekitar kaum muda dan bagaimana kita memandang dunia tempat kita hidup dan dunia yang ingin kita tinggalkan."

Della Volpe menulis buku ini berdasarkan hasil riset yang lama, termasuk diskusi terpimpin dan berinteraksi dengan orang muda di sejumlah tempat di AS, pula di beberapa negara.

Mengutip Grace, peserta dalam sebuah FGD yang dia adakan, dia mengatakan, “Generasi yang lebih tua tidak akan mengerti bangun di ruang kelas dan berpikir tentang betapa mudahnya bagi seseorang untuk menembaknya. Beban harian yang sama di pundak orang dewasa atas tagihan atau pajak adalah apa yang dirasakan anak-anak tentang hidup atau mati."

Dia telah menanyakan pertanyaan itu selama 20 tahun. “Dan apa yang biasa saya dengar ketika saya mengajukan pertanyaan itu adalah optimisme, dan peluang, bahkan di beberapa komunitas termiskin di seluruh negeri, beberapa situasi yang paling menantang. Saya sering mendengar orang-orang muda berbicara tentang jenis koneksi dan peluang yang ada di Amerika, jika Anda bekerja untuk itu. Dan sekarang apa yang saya dengar adalah bahwa [mereka] tidak memiliki kemewahan bahkan untuk memikirkan hal itu. Orang-orang muda ditantang hanya dengan beban hidup dan mati setiap hari. Grace bukan satu-satunya—setiap tangan dalam kelompok itu terangkat dan menganggukkan kepala. Kami membicarakan ini di awal. Tidak ada tempat yang aman.”

David Hogg menilai buku itu menyajikan poin yang bagus seputar aspek ketakutan dan kecemasan yang dihadapi Gen Z.

“Dan saya pikir kecemasan yang berasal dari kekerasan senjata, dari perubahan iklim hingga semua hal lain ini adalah sesuatu yang banyak generasi saat ini tidak dapat mengerti, skala ancaman eksistensial yang dirasakan anak muda saat ini. Apa yang akan saya katakan, bagaimanapun, adalah bahwa seperti yang telah kita lihat di masa lalu, ketika generasi menghadapi tantangan, mereka datang untuk menghadapinya. Seringkali, Anda tahu, gerakan menemukan pemimpinnya. Saya pikir kita melihatnya pada tahun 2020,” ujar Hogg, merujuk kepada hasil Pilpres yang membuat Trump gagal terpilih lagi.

Menurut Della Volpe, setiap generasi menentukan nilai-nilai politik mereka di masa remaja, di awal usia 20-an, dan banyak dari itu dibentuk oleh presiden yang menjabat selama periode kehidupan mereka. Sementara Gen Z mencari kesempatan untuk menyatukan kita, mereka melihat seorang presiden dan pemerintahan lebih cenderung memecah belah kaum muda.

“Dari hari-hari awal penelitian di Harvard, kami menemukan bahwa prediksi terbesar apakah seorang anak muda berpartisipasi dalam politik atau memilih adalah apakah mereka dapat melihat perbedaan nyata dalam suara mereka. Dan seratus hari pertama itu, enam bulan pertama itu, delapan atau sembilan bulan pertama menjelang Charlottesville adalah segalanya yang perlu dilihat kaum muda tentang perbedaan nyata yang dibuat Donald Trump. Dan jelas dengan cara yang sama sekali tidak sesuai dengan nilai-nilai mereka. Dan itu adalah sesuatu yang menurut saya benar-benar memicu apa yang kita lihat sebagai tingkat partisipasi politik yang luar biasa pada 2017, 2018, 2019, dan tentu saja 2020,” kata Hogg. Dia merujuk ke peristiwa tahun 2017 di Charlottesville, di mana korban jatuh diantara demonstran akibat seseeorang menabrakkan truknya ke arah mereka yag menentang supremasi kulit putih.

Hogg menambahkan hal lain yang menurutnya penting. “Yang saya takutkan saat ini adalah krisis kesehatan mental yang dihadapi Gen Z saat ini dan kelelahan yang saya tahu banyak dirasakan oleh kita, termasuk saya sendiri. Bahwa meskipun kami mencapai rekor angka pada (pemilu) 2018 dan 2020, suara kami tampaknya tidak membuat perbedaan yang nyata. Jika kita tidak dapat melihat bahwa suara kita membuat perbedaan... apa yang saya khawatirkan adalah bahwa beberapa orang muda akan melihat peristiwa 6 Januari (2021, kerusuhan di Gedung Parlemen Capitol Hill yang dipicau pendukung Trump, red) dan melihatnya sebagai alternatif, bahwa tidak apa-apa jika Anda tidak mengerti apa Anda ingin dalam politik untuk keluar dan mencoba untuk menggulingkan pemerintah.

Menanggapi Hogg, Della Volpe mengatakan, “Salah satu bahaya, seperti yang dikatakan David, terkait dengan ini, adalah rasa keterasingan yang dihadapi begitu banyak anak muda. Dalam polling (Harvard Institute of Politics) baru-baru ini yang dirilis pada akhir tahun lalu, kami memiliki mayoritas anak muda, yaitu puluhan juta orang, mengatakan bahwa selama beberapa minggu terakhir mereka lebih dari beberapa kali merasa cemas, putus asa , tertekan, terisolasi, dan lain-lain. Dan ada 25 persen yang berpikir ingin menyakiti diri sendiri,” ujarnya.

Dia melanjutkan, “Ini hanya krisis yang signifikan dan signifikan. Ketika orang-orang begitu tertekan dan terisolasi dan mereka menarik diri, salah satu kekhawatiran saya terhadap mereka adalah menarik diri, menghabiskan lebih banyak waktu online di mana mereka berpotensi lebih mudah direkrut ke tempat-tempat di mana mereka bahkan tidak selalu setuju dengan ideologinya, tetapi mencari semacam komunitas dan kemudian mungkin menemukan diri mereka dalam situasi yang sulit untuk keluar. Apakah itu kelompok alt kanan atau beberapa orang seperti David berbicara tentang siapa yang berpartisipasi dalam kerusuhan dan pemberontakan 6 Januari, Anda tahu, kelompok pembenci, dan lain-lainnya. Itu urusan saya. Kami memiliki begitu banyak anak muda, terutama pria muda, yang rentan saat ini.”

Dalam buku itu, John mengutip ahli demografi yang memperkirakan bahwa pada tahun 2028 Generasi Z dan para tetua langsung mereka—milenium—akan mencapai setengah dari pemilih. Apa dampaknya bagi masa depan?

“Kami sangat memikirkan tentang perpecahan negara ini, dan jelas memang demikian. Tapi itu benar-benar dibagi berdasarkan usia. Kami melihat Gen Z dan milenium — dua pertiga dari mereka mendukung kandidat Demokrat, bukan Republik. Dan begitu Anda sampai ke Baby Boomers dan Generasi Diam, itu adalah skenario yang berbeda. Seiring bertambahnya usia orang yang lebih muda, ketika orang yang lebih muda mulai menjadikan pemungutan suara sebagai kebiasaan yang lebih teratur, tidak diragukan lagi bahwa mereka akan memilih nilai-nilai yang telah mereka kembangkan selama beberapa tahun terakhir: kekhawatiran tentang cara kapitalisme dipraktikkan, kepedulian tentang iklim kita, keprihatinan tentang keadilan rasial. Ini adalah isu-isu yang akan mendorong kaum muda ke tempat pemungutan suara. Mereka telah membuat dampak yang lebih besar pada masalah-masalah ini daripada yang mungkin sudah dihargai banyak orang, dan bahwa Demokrat itu, serta Partai Republik yang tidak menganggapnya serius hari ini, akan meremehkan mereka dengan risikonya sendiri."

Sementara Hogg mengatakan soal bagaimana Gen Z memandang masa depan.

“Saya sering mendengar orang yang lebih tua mendatangi saya dan berkata, 'Saya sangat bersyukur bahwa generasi Anda telah berdiri, dan kami akhirnya dapat memberikan tongkat estafet kepada Anda.' Tidak bisa seperti itu. Tidak bisa. Dibutuhkan setiap generasi untuk bekerja sama untuk memperbaiki hal-hal ini. Jika generasi tua kita atau negara kita hanya menempatkan pada orang yang lebih muda untuk memperbaiki hal-hal ini, mereka tidak akan pernah bisa diperbaiki. Karena sekuat apapun kita, harus ada koalisi antar generasi dari orang-orang yang bekerja bahu membahu, dan tidak menggurui atau merendahkan anak muda, tetapi memimpin dengan orang muda dan visi dan ide kita untuk masa depan.”

Mengapa Generasi Z Memilih untuk FIGHT, BerjuangData tentang millennial dan gen z (IDN Research Institute)

Bagaimana dengan Gen Z di Indonesia?

Lembaga survei Indikator Politik Indonesia pernah meluncurkan survei nasional berjudul, “Persepsi Pemilih Pemula dan Muda (Gen Z dan Milenial) atas Permasalahan Iklim di Indonesia." Salah satu temuannya, sebagian besar anak muda Indonesia sangat peduli isu korupsi dan kerusakan lingkungan. Berikutnya adalah isu kesehatan, isu polusi, lunturnya nilai sosial dan budaya tradisional dan pekerjaan. Soal perpecahan dan polarisasi politik serta hubungan antar ras dan etnis juga menjadi kepedulian mereka.

“Ini isu yang harus ditangkap oleh pembuat kebijakan kita karena ada perubahan demografi yang luar biasa dan itu punya efek terhadap sikap dan attitude (para pembuat kebijakan) terhadap isu-isu penting di mana anak muda,” kata Burhanuddin Muhtadi, direktur eksekutif lembaga ini (27/10/2021).

Dikutip dari laman ANTARA, analis politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center reserach and Consulting Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, “saya melihat sudah relatif lebih baik geliat Gen Z terhadap politik. Yang sebelumnya sangat anti politik, alegi dengan diksi dan frasa politik.”

Data yang dilansir IDN Research Institute, bagian dari IDN Media, juga menampilkan kepedulian tinggi baik Gen Z dan Milenial terhadap isu penting seperti perubahan iklim, kesenjangan sosial dan ekonomi, diskriminasi dan pembangunan berkelanjutan.
Di luar soal kekerasan dengan senjata dan penembakan di sekolah, sebenarnya apa yang ditangkap dari keresahan anak muda di Indonesia, mirip dengan di AS.

Della Volpe menceritakan, setiap kali menggelar FGD dia menanyakan,” apakah tantangan terbesar yang dihadapi Amerika?”

Jawaban paling banyak adalah: kekerasan senjata, penembakan di sekolah, pembiaran terhadap ujaran kebencian dan kelompok rasis, lunturnya rasa hormat dan sikap beradab, kesenjangan, serangan kekerasan seksual, narkoba, timbunan utang yang dikaitkan dengan keinginan menapak jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal-hal yang membuat Gen Z memutuskan untuk FIGHT. Berjuang.

Baca Juga: 5 Fakta Kesehatan Mental Gen Z, Generasi Paling Tertekan

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya