Pandemik COVID-19, New Normal Bukan Sekadar Buka Mal

Bukan juga soal protokol kesehatan

Jakarta, IDN Times – Tagar #NewNormalPulihkanEkonomi menarik perhatian saya. Tagar ini menggema dan sempat menjadi trending topic di Twitter pada tanggal 27 Mei 2020. Jika diklik di tagar itu, maka deretan kicauan yang muncul adalah dari akun-akun yang selama ini dikenal aktif mempromosikan program pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Analisis yang dilakukan Drone Emprit Academy, sebuah layanan media sosial secara gratis menunjukkan bahwa tagar ini menjadi satu dari 10 tagar paling banyak selama periode 16-27 Mei 2020.

Tagar #NewNormalPulihkanEkonomi misalnya melibatkan 3.945 kicauan. Ismail Fahmi, pendiri Drone Emprit Academy lewat akun Twitter @ismailfahmi menjelaskan, tagar lainnya yang pro pemerintah dan terkait dengan kampanye Normal Baru atau New Normal adalah #BersiapMenujuNewNormal, #NewNormalCegahPHK, dan #DisiplinKunciNewNormal.

Bersamaan dengan itu, di Twitter, Facebook maupun lewat aplikasi Whatsapp bertebaran 10 poin soal Apa Itu New Normal?

Selama pandemik COVID-19 berlangsung, sudah banyak diskusi virtual, lewat Zoom maupun YouTube yang saya ikuti, termasuk dengan sejumlah pejabat pemerintahan di pusat maupun daerah. Begitu juga dengan pengusaha besar maupun usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Sebagian di antaranya saya mewawancarai langsung atau menjadi moderator acara.

Saya menyimpulkan dari percakapan tersebut bahwa memulihkan ekonomi pasca COVID-19 tidak sesederhana membuat tagar. Sementara konten yang menjadi bahan promosi sebenarnya adalah melaksanakan kegiatan dengan menambahkan protokol kesehatan pandemik virus corona. Itu yang digembar-gemborkan sebagai New Normal.

Sebuah artikel di laman forbes.com yang ditulis Josie Cox pada tanggal 22 April 2020 mengingatkan mengapa kita perlu merenungkan kembali jargon New Normal, atau sebagaimana edaran Kemendikbud, Kenormalan Baru. New Normal sudah diprediksi sejak lama, meskipun belum jelas bagaimana implementasinya.

Bisakah, misalnya, kita menganggap bahwa bekerja dari rumah (work from home), sebagai Normal Baru, padahal sebelum pandemik COVID-19 sudah banyak yang melakukan hal itu? Jangan-jangan pandemik ini hanya pembuktian kepada sebagian orang yang sebelumnya tidak percaya, kini bisa menerima bahwa bekerja dari rumah bisa dilakukan dan tidak mengurangi produktivitas? Bahwa internet cepat itu esensial dan bukan hanya bermanfaat untuk menonton siaran film atau mengunduh konten porno?
Menggunakan hand sanitizer sebelumnya sudah banyak yang melakukan, begitu juga menggunakan masker medis saat sakit flu. Membiasakan cuci tangan dan cuci kaki setelah melakukan pekerjaan atau kembali dari luar rumah, bukankah sudah diajarkan orang tua sejak kecil? Mandi dan berganti baju sebelum tidur, dan mencuci tangan dengan sabun sebelum cebok atau pipis? Mencuci sendiri peralatan makan dan minum? Membawa perangkat salat sendiri, termasuk sajadah?

Pandemik COVID-19 membuat kebiasaan hidup bersih dan sehat itu menjadi relevan. Penting. Kekinian. Menggunakan masker saat berkegiatan di luar rumah, tidak bersalaman tangan, menjaga jarak fisik menjadi protokol kesehatan selama pandemik ini. Jika ada yang melanjutkan kebiasaan itu, bukankah artinya itu kondisi normal?

Istilah New Normal menjadi perbincangan luas setelah krisis keuangan tahuan 2008. Kepala PIMCO, lembaga manajemen asset terkemuka, Mohamed El-Erian menyampaikan paparan di forum bergengsi Per Jacobsson Foundation yang diadakan Dana Moneter Internasional (IMF), pada 10 Oktober tahun 2010.

Paparan El-Erian berjudul “Navigating the New Normal in Industrial Countries”. El-Erian mengatakan, PIMCO menggunakan istilah itu sejak awal 2009 untuk mengembangkan diskusi bahwa krisis keuangan yang terjadi bukan semacam luka yang bisa sembuh dengan berjalannya waktu. “Krisis ini memotong sampai ke tulang, hasilnya tak terhindarkan selama periode bertahun-tahun, yang tidak akan normal,” kata El-Erian.

Selain memaparkan tantangan Normal Baru pasca krisis, El-Erian menyebutkan dampaknya, antara lain pertumbuhan ekonomi yang kian rendah dibandingkan dengan sebelum krisis, angka pengangguran yang cenderung tinggi, defisit dan utang publik yang lebih besar, ketidakpastian regulasi dan pengaruh politik yang makin besar dalam keputusan ekonomi.

Singkatnya, sebuah peristiwa mengubah fundamental kebijakan untuk waktu yang sangat lama. Besar kemungkinan tidak pernah kembali ke posisi sebelum krisis. Jadi, menurut saya, membuka kembali mal, restoran, salon, spa, tempat wisata dan hiburan, tempat ibadah setelah pandemik mereda, bukanlah Normal Baru melainkan membuka kembali (re-opening) dengan protokol kesehatan.  Begitu pula dengan protokol kesehatan di bandara, pelabuhan, terminal bus dan angkutan kota, taksi sampai ojek daring.

Pandemik COVID-19, New Normal Bukan Sekadar Buka MalPeninjauan Kesiapan Penerapan Prosedur Standar New Normal di Sarana Perniagaan, Jakarta, 26 Mei 2020 (Youtube/Sekretariat Presiden)

Normal Baru adalah situasi yang lebih mendasar, mengubah secara struktural sebuah sistem, menjalankan paradigma baru, yang tidak kembali lagi seperti semula. Misalnya, dalam sistem penganggaran keuangan negara. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam diskusi virtual dengan pemimpin redaksi, pada 23 April 2020 mengatakan, pandemik ini membuat penghematan di banyak pos, dan itu harus dilakukan karena pemerintah melakukan realokasi APBN. “Dengan WFH, rapat virtual, tidak perlu ada konsumsi. Perjalanan dinas juga dipangkas,” kata Sri Mulyani.

Saya membayangkan bahwa APBN 2021, bahkan selanjutnya, tidak perlu ada anggaran konsumsi dalam rapat-rapat di lingkungan pemerintahan, termasuk di BUMN, lembaga legislatif dan eksekutif. Bukankah setiap hari saat berkantor mereka sudah sarapan di rumah? Bisa membawa bekal dari rumah? Berapa banyak anggaran yang bisa dihemat dari sini kalau ini dilakukan selamanya?

Perjalanan dinas dilakukan selektif dan jumlah orang lebih sedikit. Seringkali saya heran melihat pejabat, bahkan baru level eselon 2, saat ke daerah harus didampingi beberapa staf. Ada yang khusus mengurusi koper dan tasnya. Membantu check-in di bandara. Padahal di lokasi tujuan sudah ada panitia atau staf dinas lokal yang mengurusi juga.
Kalau politik anggaran efektif dan efisien ini dilakukan seterusnya, ini Normal Baru.

Pemborosan juga terjadi dalam hal lembaga yang menurut saya tidak esensial.
Pada saat kita memperingati Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2020, saya justru terpikir betapa tidak efektifnya membentuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), misalnya. Dalam rapat kerja antara Komisi II DPR RI dengan Menteri Sekretaris Negara dan Sekretaris Kabinet pada 6 Juni 2018, terungkap bahwa anggaran BPIP adalah Rp914 miliar.
Buat apa? Pancasila sudah diajarkan sejak usia dini di sekolah. Membentuk karakter bangsa kuncinya pada keteladanan dan konsistensi pemimpin di semua level.

Menghamburkan dana untuk sosialisasi menjadi sia-sia manakala ada contoh perilaku buruk dari sosok-sosok yang harusnya jadi panutan. Seperti panas setahun dihapuskan hujan sehari.

Ketika pejabat masih melakukan praktik Kolusi, Korupsi, Nepotisme (KKN), abai terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia, khianat terhadap semangat dan Undang-Undang Dasar 1945, sejuta kampanye Pancasila tidak ada artinya.

Padahal dalam pandemik ini, misalnya, kita dapat informasi dari ilmuwan seperti Kepala Lembaga Biologi Molekular Eijkman Prof Amin Soebandrio bahwa untuk melakukan deteksi COVID-19 secara luas, uji swab PCR secara massal, Indonesia butuh Rp500 miliar. Dana alokasi untuk BPIP lebih dari cukup untuk itu. Bisa untuk membuat vaksin pula.
Ini contoh. Masih banyak lembaga lain yang menurut saya tidak esensial. Kementerian dan Lembaga perlu dirampingkan.

Sejak dulu saya menganggap lembaga menteri koordinator, misalnya, tidak perlu ada. Kalau rentang kontrol presiden terlalu luas, maka yang harus dilakukan adalah merampingkan jumlah pos menteri. Bukannya tetap gemuk, dan bahkan masih ditambah dengan sederet stafsus.

Di legislatif anggaran yang perlu dipangkas selamanya misalnya, dana pensiun bagi para wakil rakyat. Keputusan memberikan dana pensiun seumur hidup bagi anggota DPR RI meskipun hanya menjabat satu periode adalah pemborosan. Apalagi saat ini gaji dan fasilitas yang mereka terima sudah besar. Mereka bisa membeli produk dana pensiun dari berbagai lembaga keuangan yang ada.

Pesan yang ingin saya sampaikan adalah, kalau mau berpikir dengan tatanan baru, Normal Baru, maka politik anggaran bisa menjadi alat yang efektif. Sudah lama kita tahu bahwa infrastruktur kesehatan kita lemah, sistem pendataan kita amburadul, dana riset dan pengembangan minim, infrastruktur internet kita jauh dari memadai, sektor pangan dan pertanian kita kurang digarap serius. Belum lagi bicara isu perubahan iklim. Kualitas udara yang baik, penting bagi kesehatan. 

Pandemik COVID-19 membuka mata kita bahwa ini adalah hal-hal esensial dan mendesak, yang tidak kalah penting dari membangun jalan tol dan bandara. Lihat saja, bandara yang kosong melompong saat terjadi pandemik.

Begitu pula dengan megaproyek ibukota negara (IKN). Jika protokol kesehatan COVID-19 diberlakukan efektif selamanya, termasuk fleksibilitas kerja jarak jauh, pengurangan jumlah karyawan yang masuk dalam satu periode, maka kemacetan di jalan raya pasti akan berkurang. Transportasi publik yang nyaman, aman dan bersih terasa makin penting.
Pengusaha Chairul Tanjung mengatakan, jika saat pandemik ini banyak perusahaan harus mengurangi karyawan, maka setelah pandemik reda, belum tentu karyawan yang dipangkas bakal diterima lagi.

"Soal SDM misalnya, sesudah pandemik, kalau sekarang jumlahnya X, lalu ada efisiensi, pengurangan. Sesudah pandemik, gak bakal kembali ke X lagi. Ini yang harus ditangani. Bagaimana penyerapan tenaga kerja yang di PHK itu,” ujar CT.

Baca Juga: Chairul Tanjung dan Erick Thohir Bicara Soal New Normal

Pandemik COVID-19, New Normal Bukan Sekadar Buka MalPeninjauan Kesiapan Penerapan Prosedur Standar New Normal di Sarana Perniagaan, Jakarta, 26 Mei 2020 (Youtube/Sekretariat Presiden)

Data Kemenaker menunjukkan sekitar 7 juta orang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Bagaimana membuka lapangan pekerjaan dengan kebutuhan baru selama dan pasca pandemik? Kartu Prakerja pun menemui masalah.

Apakah membuka kembali mal dan tempat wisata bakal menggerakkan ekonomi? Saya berharap iya. Tapi, tidak semudah itu, manakala isu kesehatan masih jadi ancaman.
Uji swab PCR yang ditargetkan 10 ribu per hari belum tercapai. Ketersediaan kapasitas rumah sakit dan tenaga kesehatan yang memadai belum terwujud, karena infrastruktur yang baik baru ada di Jakarta dan kota besar. Bahkan Surabaya pun kewalahan saat ini, sampai ada drama Wali Kota Tri Rismaharini marah-marah soal mobil lab tes PCR.

Belum solidnya pelacakan data pasien. Buktinya, banyak terjadi klaster gara-gara pasien tidak jujur dan rumah sakit memiliki keterbatasan dalam melacak data. Pengumpulan data yang akurat dan real-time masih jadi kendala. Aturan Badan Organisasi Dunia (WHO) adalah, hasil tes diketahui setelah dua hari. Di Indonesia masih banyak yang harus menunggu sampai tujuh hari. Sehingga, data penularan atau reproduksi virus belum menggambarkan yang sebenarnya. Padahal ini salah satu kriteria relaksasi dari pembatasan selama pandemik, apapun bentuknya.

Disiplin kolektif dalam melakukan protokol kesehatan masih rendah, ini menunjukkan persepsi terhadap risiko COVID-19 belum memadai. Masih banyak masyarakat menganggap enteng. Pernyataan pejabat yang mengatakan bahwa jumlah kematian akibat kecelakaan lalu lintas sembilan kali lebih banyak dari virus corona, jelas tidak membantu membangkitkan kesadaran akan risiko COVID-19.

Kurva Epidemik menunjukkan Indonesia belum mencapai puncak. Menurut catatan Gugus Tugas COVID-19, Jakarta dianggap sudah mencapai puncak, pada 6 April ditambah 7 hari ada penambahan kasus 894 orang. Tetapi masih harus waspada dengan arus balik dari mudik Lebaran.

Baca Juga: Ini Aturan Lengkap New Normal di Tempat Kerja dari Kemenkes

Ini yang membuat saya merasa terganggu dengan kebiasaan mobilisasi tagar. Apalagi kalau narasi New Normal yang disodorkan ke publik adalah, mal kembali dibuka, restoran boleh dibuka, tempat wisata boleh dibuka, dan sebagainya. Kita ingin ekonomi kembali bergerak, iya. Caranya? Segera penuhi kriteria WHO untuk membuka kembali kegiatan ekonomi.

Pulih, itu butuh waktu lama, bahkan menurut para pakar yang hebat-hebat, kondisi ini bakal terjadi lebih dari satu tahun. Jadi, jangan mimpi, apalagi mengambil jalan pintas. Risikonya justru besar.  Persoalan fundamentalnya ditangani, yaitu krisis kesehatan dan jaminan sosial bagi warga terdampak. Bukan sibuk bikin tagar.

Menuju Normal Baru tidak cukup dengan membuat dan menerapkan protokol kesehatan di semua bidang. Paradigma harus berubah, di semua level, pemerintahan, swasta maupun masyarakat sipil. Model bisnis harus berubah, belajar dari saat pandemik dan antisipasi disrupsi dalam bentuk apa saja.

Dalam bukunya, “The Great Reset: How the Post Crash Economy Will Change the Way We Live and Work” yang terbit pada 2011, Richard Florida menggambarkan bagaimana krisis, juga selalu menciptakan peluang. “Sejarah mengajarkan kepada kita bahwa periode ‘destruksi kreatif’ seperti Depresi Besar tahun 1930an, juga menyajikan peluang untuk menata kembali ekonomi dan masyarakat kita, menghasilkan era baru sepenuhnya dari pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran,” tulis Florida.

Mengacu kepada krisis 2008, Florida menggambarkan lansekap ekonomi dan sosial yang berubah pasca krisis. Termasuk bagaimana kita bekerja, kita hidup, investasi untuk individu dan infrastruktur. Bagaimana peran teknologi baru dan geografi. Kasusnya memang mengambil situasi di AS.

Meskipun demikian, situasinya relevan di mana saja. Termasuk krisis ekonomi karena pandemik ini. Reset, artinya mengatur ulang. Semuanya. Struktural. El-Erian mengutip Lawrence Peter Berra saat menutup paparannya di acara IMF itu. “Mr Berra, legenda pemain dan manajer bisbol yang dikenal dengan nama sebutan “Yogi Berra”, pernah mengatakan, “Masa depan tidak lagi seperti dulu.”

Baca Juga: Jelang New Normal, Jokowi Akan Cek Mal Summarecon Bekasi Siang Ini

Topik:

  • Umi Kalsum
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya