Paus Fransiskus: Kekerasan Terhadap Perempuan Penghinaan Kepada Tuhan

Kekerasan terhadap perempuan harus dihentikan

Jakarta, IDN Times - "Berapa banyak kekerasan dialami oleh perempuan! Cukup! Kekerasan terhadap perempuan adalah penghinaan kepada Tuhan, yang melalui sosok perempuan mendapatkan kemanusiaannya, bukan lewat malaikat, bukan secara langsung, melainkan lewat perempuan," kata Paus Fransiskus merujuk kepada Maria, Ibunda Yesus.

Paus menyampaikan pesan yang menunjukkan situasi "darurat kekerasan terhadap perempuan" itu dalam Pidato Tahun Baru 2022, Sabtu (1/1/2022). Paus yang kini berusia 85 tahun itu menghadiri misa Tahun Baru di Basilika Santo Petrus, Vatikan, pada hari di mana Gereja Katolik Roma memperingati sekaligus kekhidmatan Bunda Maria dan Peringatan Hari Perdamaian Dunia.

Kantor berita Reuters melaporkan, saat menyampaikan pidato itu, Pemimpin Gereja Katolik Paus Fransiskus tampak dalam keadaan sehat, setelah sebelumnya dikabarkan kurang sehat, dan membuatnya sulit berdiri dalam waktu lama.

Paus Fransiskus menjadikan keibuan dan perempuan sebagai tema penting dalam pidato awal tahun ini, dan mengatakan, karena sosok ibu dan perempuanlah yang membuat kehidupan kita terus berjalan. Lewat pidatonya ini, Paus berseru paling kencang untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan.

"Karena ibu melahirkan kehidupan, dan perempuan menjaga dunia (bersama-sama), mari kita semua berusaha lebih besar untuk mempromosikan para ibu dan melindungi perempuan," kata Paus.

Dalam sebuah acara yang disiarkan secara langsung oleh televisi di Italia bulan lalu, Paus menyampaikan kepada perempuan yang dipukul oleh mantan suaminya bahwa, "laki-laki yang melakukan kekerasan terhadap perempuan, terlibat dengan sesuatu hal yang "hampir seperti setan"".

Baca Juga: LBH Makassar: Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak Sangat Tinggi di 2021

Paus Fransiskus: Kekerasan Terhadap Perempuan Penghinaan Kepada Tuhan(Paus Fransiskus ketika memberikan pesan Natal 2019 di Lapangan Santo Petrus) vaticannews.va

Sejak pandemik COVID-19 mengepung bumi dalam dua tahun ini, Paus Fransiskus beberapa kali bicara soal kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang meningkat di banyak negara, seiring diberlakukannya penutupan wilayah (lockdown), di mana penduduk dipaksa untuk di rumah saja, mobilitas dibatasi.

Dalam situasi tersebut, rumah bagaikan "perangkap" bagi perempuan yang memiliki pasangan maupun orang tua yang cenderung melakukan kekerasan, termasuk kekerasan seksual.

Dalam Laporan UN Women yang diterbitkan 25 November 2021, survei di 13 negara menunjukkan, 1 dari 2 perempuan melaporkan atau mengenal perempuan yang alami kekerasan selama pandemik COVID-19. Laporan berjudul, "Mengukur Di Balik Pandemik, Kekerasan Terhadap Perempuan Selama COVID-19" itu diluncurkan berbarengan engan dimulainya kampanye tahunan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.

Para responden perempuan yang mengalami kekerasan juga melaporkan mengalami tekanan kejiwaan dan emosional 1,3 kali lebih tinggi ketimbang yang tidak.

"Kekerasan terhadap perempuan adalah krisis global yang ada dan tumbuh subur di atas krisis yang lain. Konflik, bencana alam terkait iklim, kerawanan pangan dan pelanggaran hak asasi manusia, semuanya berkontribusi pada perempuan dan anak perempuan yang hidup dengan perasaan dalam bahaya, bahkan di rumah, lingkungan, atau komunitas mereka sendiri. Pandemik COVID-19," kata Direktur Eksekutif UN Women, Sima Bahous.

Laporan itu juga membeberkan bahwa 1 dari 4 perempuan merasa kurang aman di rumah, sementara konflik rumah tangga meningkat sejak pandemik mulai. Ketika perempuan ditanyai mengapa mereka merasa tidak aman di rumah, mereka menyebutkan alasan alami kekerasan fisik (21 persen). Beberapa mengakui disakiti oleh anggota keluarga lain (21 persen), dan perempuan yang melaporkan ada perempuan lain di rumah yang alami kekerasan atau disakiti (19 persen).

Baca Juga: Jurnalis Perempuan Cerita Meliput Kekerasan Seksual

Paus Fransiskus: Kekerasan Terhadap Perempuan Penghinaan Kepada TuhanIlustrasi Kekerasan pada Perempuan. (IDN Times/Aditya Pratama)

Celakanya juga, di luar rumah pun perempuan rentan terhadap kekerasan. Sebanyak 40 persen responden mengatakan mereka merasa kurang aman berjalan-jalan sendirian di malam hari sejak awal COVID-19. Sekitar tiga dari lima perempuan juga berpikir, pelecehan seksual di ruang publik menjadi lebih buruk selama COVID-19.

Tekanan sosial ekonomi, seperti tekanan masalah keuangan, pekerjaan, kerawanan pangan dan hubungan keluarga menjadi penyebab yang menonjol dalam laporan survei UN Women, lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi perempuan.

"Kekerasan terhadap perempuan tidak bisa dihindari. Kebijakan dan program yang tepat membawa hasil. Itu berarti strategi jangka panjang yang komperehensif untuk mengatasi akar penyebab kekerasan, melindungi hak-hak perempuan dan anak perempuan, dan mempromosikan gerakan hak-hak perempuan yang kuat dan otonom. Perubahan mungkin terjadi, dan sekarang adalah waktu untuk melipatgandakan upaya kita, sehingga bersama-sama kita dapat menghapus kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan di tahun 2030," kata Sekretaris Jenderal PBB António Guterres, bersamaan dengan peluncuran laporan UN Women pada 25 November 2021 lalu.

Sementara itu, Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengungkapkan banyak kasus kekerasan pada perempuan yang luput dari pandangan mata berbagai pihak, baik itu masyarakat hingga pemerintah. Hal ini, kata dia, terjadi karena pandemik COVID-19.

"Karena perhatian kita atau pun perhatian dari penyelenggara negara ini banyak sekali terkait dengan penyelenggaraan pandemik," kata dia dalam konferensi pers daring Amnesty International Indonesia, Senin (13/12/2021).

Sepanjang 2021, kata Andy, laporan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan sangat tinggi. Sejak Januari hingga Oktober sudah ada 4.500 kasus yang diadukan.

"Artinya, sudah dua kali lipat dari yang kami terima pada 2020, sekalipun proses verifikasinya masih berjalan," ujar dia.

Dalam Catatan Tahunan Komisi Nasional Perempuan 2021 yang disampaikan Maret tahun lalu, angka KDRT selama 2020 meningkat.

Komnas Perempuan melaporkan jenis kekerasan dari 8.234 kasus yang ditangani lembaga layanan mitranya. Kasus yang paling menonjol adalah di ranah personal (RP) atau disebut KDRT/RP (Kasus Dalam Rumah Tangga/ Ranah Personal) sebanyak 79 persen atau 6.480 kasus.

Rinciannya adalah sebagai berikut:
• Kekerasan terhadap istri (KTI): 3.221 kasus (50 persen).
• Kekerasan dalam pacaran: 1.309 kasus (20 persen).
• Kekerasan terhadap anak perempuan: 954 kasus (15 persen).
• Kekerasan mantan pacar: 401 kasus (6 persen).
• Kekerasan mantan suami: 127 kasus (2 persen).
• Kekerasan pembantu rumah tangga (PRT): 11 kasus.
• Kasus lainnya di ranah personal: 457 kasus (7 persen).

Melihat data global dan nasional, yang pastinya hanya secuil puncak gunung es, kita semua harus berjuang dan menyerukan agar Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual segera disahkan sebagai RUU inisiatif DPR di masa persidangan awal tahun 2022 ini.

Jangan sampai kejadian "terhambat soal administratif" yang menggagalkan RUU ini disahkan di Rapat Paripurna DPR RI 15 Desember 2021, terulang.

Jangan menunggu diri sendiri atau orang-orang yang kita pedulikan, kita sayangi, menjadi korban kekerasan. Lagipula, seperti dikatakan Paus, kekerasan terhadap perempuan, terhadap ibu, itu menghina Tuhan. Laki-laki yang lakukan kekerasan terhadap perempuan mirip setan.

Baca Juga: Komnas Perempuan: Ribuan Kasus Kekerasan Dilaporkan selama 2021

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya