Saya Dukung Menteri Nadiem Cegah Kekerasan Seksual di Kampus

Permendikbud Ristek 30/2021 melindungi korban

Jakarta, IDN Times – Apakah ada kekerasan seksual di kampus? Di era digital ini mudah mencari jawabannya. Ketika dengan kata kunci “kekerasan seksual di kampus” di mesin pencari di internet, kita langsung diantarkan menelusuri sejumlah kasus. Yang paling hangat adalah kasus dugaan pelecehan seksual yang dialami mahasiswi di Universitas Riau. Pelakunya adalah terduga pengajar di sana, yang juga menjadi pejabat di kampus itu juga.

Tahun lalu, dugaan kekerasan seksual juga terjadi di kampus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Sebanyak 30 perempuan mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta atas kelakuan seorang mahasiswa yang dikenal sebagai sosok yang berprestasi. Peliputan bertajuk “Nama Baik Kampus”, misalnya, dipicu  kekerasan seksual yang dialami “Agni” bukan nama sebenarnya, seorang mahasiswi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kasus ini berakhir “damai”, sesuai pernyataan Rektor UGM, karena pelaku menyatakan menyesal.

Dalam liputan kolaborasi Nama Baik Kampus yang dilakukan The Jakarta Post, VICE Indonesia, dan Tirto juga diperoleh 207 testimoni kekerasan seksual yang terjadi di kampus. Sebanyak 174 kasus di antaranya terkait perguruan tinggi, terjadi di kampus atau melibatkan usur kampus, baik itu di dalam kampus maupun dalam kegiatan terkait akademis di luar kampus, misalnya program Kuliah Kerja Nyata (KKN).

Sebagaimana data kasus kekerasan seksual secara umum, ratusan kasus terungkap di lingkungan kampus di atas, hanyalah setitik puncak gunung es dari sangat banyak kasus yang tersembunyi, tak pernah muncul dengan beragam alasan: kendala budaya yang tidak berpihak kepada korban, trauma, relasi kuasa, perlakuan aparat dan petinggi institusi yang cenderung menghakimi pelapor, sampai tidak ada hukum yang cukup memberikan efek jera bagi pelaku.

Karena itu, ketika pertengahan September 2021, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Makarim membagikan rencana menerbitkan peraturan menteri untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di lingkungan kampus, saya termasuk yang menyambut baik. Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi itu, diteken Menteri Nadiem pada Agustus 2021.

Sama halnya dengan jalan terjal pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) beleid Nadiem menuai pro dan kontra. Pihak yang kontra menganggap ada klausul dalam Permendikbud yang dianggap “memberi lampu hijau” terhadap perbuatan zina di antara sivitas akademika, jika ada persetujuan alias konsen. Tidak hanya kelompok yang selama ini memang bersikap oposan terhadap pemerintah, organisasi massa Islam Muhamadiyah juga menyampaikan keberatannya.

Baca Juga: Muhammadiyah Minta Cabut, Menag Justru Dukung Permen Kekerasan Seksual

Saya Dukung Menteri Nadiem Cegah Kekerasan Seksual di KampusIlustrasi kekerasan seksual terhadap perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Mereka yang memiliki jejak panjang dukungan terhadap pengesahan RUU PKS dan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, mendukung Permendikbud ini.

Komisi Nasional Perempuan mengapresiasi kebijakan ini. Lewat pernyataan tertulis yang disiarkan pada 29 Oktober 2021, Komnas Perempuan menganggap Permendikbud PPKS adalah langkah maju untuk mewujudkan lingkungan Pendidikan yang aman, sehat dan nyaman tanpa kekerasan seksual.

“Komnas Perempuan mengajak seluruh pihak untuk mengawal dan memastikan Permendikbud dilaksanakan dan mencapai tujuannya untuk mencegah, menangani dan memulihkan korban kekerasan seksual,” demikian pernyataan yang diusung lima komisionernya, Alimatul Qibtiyah, Siti Aminah Tardi, Theresia Iswarini, Andy Yentriyani
dan Mariana Amiruddin.

Dalam sebuah diskusi daring, 12 November 20021, Nadiem membeberkan alasan menerbitkan Permendikbud PPKS. Dia mengutip data Komnas Perempuan, yang mencatat sepanjang tahun 2015-2020, ternyata 27 persen aduan kasus kekerasan seksual terjadi di perguruan tinggi dari keseluruhan pengaduan yang terjadi di lembaga pendidikan. Data ini diperkuat dengan temuan survei Mendikbud Ristek (2019) bahwa kampus menempati urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual (15 persen), setelah jalanan (33 persen), dan transportasi umum (19 persen).

Data Komnas Perempuan juga menyebutkan ada penelitian yang mendapati 40 persen dari 304 mahasiswi pernah mengalami kekerasan seksual (Ardi dan Muis, 2014), 92 persen dari 162 responden mengalami kekerasan di dunia siber (BEM FISIP Universitas Mulawarman, 2021), 77 persen dosen menyatakan “kekerasan seksual pernah terjadi di kampus, dan 63 persen tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus (Survei Ditjen Diktiristek, 2020). Kebanyakan korban kekerasan seksual adalah perempuan.

“Lemahnya penanganan kasus di kampus karena pelakunya adalah orang terdekat di lingkungan kampus seperti dosen, mahasiswa ataupun karyawan kampus sehingga turut menyebabkan keengganan korban melapor. Akibat lebih jauh dari situasi ini adalah minimnya akses korban terhadap pemulihan terutama penanganan psikologis korban agar dapat mengikuti kembali proses belajar yang menjadi hak pendidikannya,” demikian Komnas Perempuan.

Lebih lanjut, menurut Komnas, minimnya pengaduan kekerasan seksual di perguruan tinggi, menunjukkan bahwa tidak semua perguruan tinggi mempunyai aturan yang jelas, implementatif dan efektif terkait dengan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) termasuk pemulihan korban. Penanganan kasus kekerasan seksual masih sering disamakan dengan pelanggaran etik lainnya, padahal kekerasan seksual bersifat khas dan mengalami kerentanan berlapis.

“Dalam konteks kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, terjadi karena relasi kuasa yang menimbulkan ketidakberdayaan korban. Umumnya pelaku memanfaatkan kerentanan, ketergantungan dan kepercayaan korban kepadanya. Selain itu belum semua pimpinan punya perspektif korban sehingga terjadi pengabaian dan penyangkalan terjadinya kekerasan seksual dan mengkhawatirkan reputasi nama baik kampus. Budaya misoginis, seksis dan tidak ramah terhadap perempuan juga masih terjadi di lembaga pendidikan yang menyebabkan korban tidak mendapatkan keadilan dan pemulihan yang menyebabkan berkurang atau terlanggarnya hak asasinya sebagai perempuan maupun peserta didik,” jelas Komnas.

Kehadiran aturan ini disambut baik oleh banyak kalangan, namun sayangnya, penolakan juga muncul, didasarkan pada penolakan diakomodirnya aspek persetujuan/konsen sebagai dasar kekerasan seksual.

Padahal, Permendikbudristek PPKS, menurut saya, justru menyoroti pencegahan dan penindakan praktik kekerasan seksual di kampus.

Tengoklah Pasal 1 Permendikbud Ristek Nomor 30 ini yang menjelaskan bahwa: Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.

Kemudian, dalam Pasal 5 dijelaskan bahwa:

(1) Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
(2) Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban;
b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;
c. menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban;
d. menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
e. mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban;
f. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
g. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
h. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
i. mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
j. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
k. memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
m. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;
n. memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;
o. mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual;
p. melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;
q. melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin;
r. memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsi;
s. memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil;
t. membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja; dan/atau
u. melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.


(3) Persetujuan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal Korban:

a. memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;
c. mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
d. mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur;
e. memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;
f. mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau
g. mengalami kondisi terguncang.
Kalimat dalam pasal di persetujuan korban di atas yang menuai penolakan.

Saya Dukung Menteri Nadiem Cegah Kekerasan Seksual di KampusTangkapan layar webinar bertopik "Sexual Harassment During Pandemic: Bentuk Kasus dan Respons Kebijakan Negara" yang diselenggarakan Komite Anti Kekerasan Seksual (KAKS) Universitas Hasanuddin pada Sabtu 28 Agustus 2021. (IDN Times/Achmad Hidayat Alsair)

Saya membaca pasal tersebut justru dalam kerangka perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Jika korban menganggap tidak setuju, maka pelaku bisa diperkarakan, medapatkan sanksi berdasarkan aturan ini.

Dari kacamata perspektif hukum, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) memandang bahwa suatu perbuatan disebut sebagai kekerasan seksual jelas harus didasari pada aspek persetujuan.

“Aspek ini yang menekankan pentingnya intervensi negara. Manusia sebagai makhluk merdeka memiliki akal budi memegang penuh hak menentukan terlibat ataupun tidak terlibat dalam hubungan seksual. Ketika suatu hubungan seksual dilakukan dengan ancaman, kekerasan, ancaman kekerasan ataupun ada penyalahgunaan relasi kuasa maka terjadi penyerangan terhadap akal budi dan hak tersebut. Bahkan, penyerangan integritas tubuh juga dapat terjadi sekalipun dalam lingkup perkawinan/hubungan legal. Hal ini diatur dalam Pasal 46 UU PKDRT, Pasal 288 KUHP. Dengan ketiadaan konsen/persetujuan negara bisa masuk memberikan intervensi. Negara yang mengatur ranah Pendidikan juga bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual dan menyediakan sistem yang efektif untuk menangani laporan kekerasan seksual,” demikian pernyataan ICJR yang disampaikan peneliti ICJR Maidina Rahmawati.

Saya sepakat, bahwa narasi penolakan aturan ini justru berpotensi menyerang korban. Dukungan justru datang dari kalangan kampus, termasuk mahasiswa. Mereka justru para pihak berkaitan dengan kegiatan di kampus, dan mendapati bahwa Permendikbud Ristek ini adalah terobosan.

Saya Dukung Menteri Nadiem Cegah Kekerasan Seksual di KampusIDN Times/Prayugo Utomo

Baca Juga: Daftar Pendukung vs Penolak Permendikbud Kekerasan Seksual

Dalam wawancara dengan IDN Times, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia, Leon Alvinda Putra mengatakan, pihaknya sudah lama mengharapkan aturan senada diberlakukan di kampus UI.

“Kami sudah membuat kajian audiensi, tapi tetap terbentur jalan buntu karena faktor-faktor. Misalnya, tadi karena masalah ingin menjaga nama baik kampus,” kata Leon kepada jurnalis kami. Prosedur pelaporan yang tidak jelas juga menjadi masalah. Permendikbud Ristek 30 ini jelas mengatur pembentukan satuan tugas di kampus, yang sifatnya wajib. Begitu juga metode pelaporan. Cukup detil.

Di level global, kekerasan seksual di kampus juga bikin miris. Di AS, misalnya, sebuah survei di tahun 2019 menunjukkan angka kekerasan seksual tanpa persetujuan di kalangan mahasiswa mencapai 13 persen. Mayoritas korbannya adalah perempuan, tetapi korban laki-laki pun tidak sedikit. Studi dilakukan oleh Asosiasi Universitas di AS dengan responden lebih dari 180 ribu mahasiswa dari 33 perguruan tinggi, sebuah studi yang lumayan komprehensif. Hasilnya? Kalangan kampus melahirkan aturan untuk menangani kasus-kasusnya, terutama memastikan mekanisme pelaporan yang transparan dan berfokus kepada perlindungan korban.

Kita bisa menemukan contoh-contoh serupa dari negara lain lewat data di dunia maya.

Jadi, saran saya kepada Kemendikbud Ristek adalah sosialisasi gencar beleidnya kepada kalangan kampus dan penegak hukum. Sudah terlalu banyak korban kekerasan seksual di negeri ini, situasinya sudah gawat darurat. Itu sebabnya kita mendorong segera disahkankannya RUU PKS atau apapun namanya. Saya mendapat informasi bahwa Desember 2021 para legislator di Senayan berencana mengesahkan RUU ini, apapun namanya. Permendikbud Ristek 30 ini langkah awal, dan langkah penting untuk melindungi korban kekerasan seksual di lingkungan institusi pendidikan tinggi.

Baca Juga: Permendikbud PPKS Nadiem Disorot, Apa Bedanya dengan SE Anies?

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya