Survei IMF dan Google, Disiplin Physical Distancing Menurun

Dipicu turunnya kepercayaan terhadap pemerintah

Jakarta, IDN Times - Per April 2020, sekitar 3,9 miliar orang, atau separuh dari populasi dunia, harus berdiam di rumah saja. Sebanyak 40 persen dari jumlah negara di dunia, melakukan kebijakan lockdown atau karantina wilayah. Pandemik COVID-19 menciptakan krisis kesehatan yang terburuk dalam sejarah modern, diikuti krisis ekonomi yang lebih berat dari Depresi Besar.

Pandemik mengirimkan sinyal ketidakpastian, sejak awal ketika virus corona merebak di Wuhan, Hubei, Tiongkok, Desember 2019. Virus yang baru, dan ternyata ganas dan menyebar secara cepat, memaksa orang melindungi dirinya dengan menggunakan masker, menjaga jarak (physical distancing) dan rajin mencuci tangan dengan sabun di air mengalir. Kita menyebutnya dengan disiplin 3 M.

Pertengahan tahun, banyak negara yang melonggarkan pembatasan wilayah, sebagian karena merasa sudah melewati gelombang pertama pandemik. Kegiatan ekonomi mulai dibuka, begitu juga kunjungan antar negara, termasuk untuk tujuan wisata.  Di banyak negara, ini memicu datangnya gelombang kedua. 

“Di Swiss itu terjadi, pelonggaran kunjungan, pembukaan restoran dan kafe, ternyata memicu kembali penambahan kasus positif,” tutur Muliaman D. Hadad, Dutabesar Indonesia untuk Swiss ketika saya wawancarai untuk program #AmbassadorTalk by IDN Times, (17/10/2020).

Kecenderungan relaksasi di berbagai wilayah saat musim panas dimonitor oleh Google Mobility Reports yang bekerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF). Lewat laporan yang diterbitkan cuplikannya di laman IMF pada 18 November 2020, nampak bahwa meningkatnya pergerakan orang bersamaan dengan penurunan yang signifikan atas inisiatif pelaporan, dan kepatuhan menjaga jarak di negara ekonomi maju.

Baca Juga: Gak Kapok, FPI Pastikan Semua Acara Rizieq Shihab Terbuka untuk Umum

Survei IMF dan Google, Disiplin Physical Distancing MenurunInfografik Mengenai Disiplin Physical Distancing Mengalami Penurunan (IDN Times/AriefRahmat)

Pelacakan ini masih berlangsung. Laporan ini juga menggarisbawahi bahwa menurunnya kepatuhan jaga jarak juga disebabkan oleh kelelahan (fatique) yang dialami mereka yang berbulan-bulan harus di rumah saja, baik untuk bekerja, belajar maupun beribadah. Ini bisa dilihat dari proporsi usia muda dan kelompok berisiko rendah yang berkontribusi kepada  menurunnya kepatuhan jaga jarak.

Padahal, studi menunjukkan bahwa kebijakan jaga jarak fisik yang diterapkan pemerintah secara nasional menyumbang signifikan terhadap berkurangnya penyebaran virus corona. Studi yang dipublikasikan di jurnal PLOS ONE, menemukan bahwa jaga jarak fisik yang diterapkan secara nasional di 46 negara, berhasil mencegah sekitar 1,57 juta kasus COVID-19 dalam periode dua pekan, menunjukkan 65 persen penurunan kasus baru.

“Dari analisis berdasarkan data, makin jelas bahwa jaga jarak memberikan dampak besar kepada tingkat penularan,” kata Raghu Kalluri, guru besar di Pusat Kanker MD Anderson, Universitas Texas di AS, sebagaimana dikutip thehindu.com.

Selain meneliti di 46 negara yang terapkan kebijakan jaga jarak fisik secara nasional, dilakukan pula penelitian di 74 negara yang tidak menerapkan hal itu, serta 14 negara yang tidak memiliki kebijakan di pemerintahan lokal.

Baca Juga: [LINIMASA-4] Perkembangan Terkini Pandemik COVID-19 di Indonesia

Survei IMF dan Google, Disiplin Physical Distancing MenurunAntrean warga di Stasiun KRL (Dok. Humas PT KCI)

Bagaimana dengan di Indonesia?

Sebuah survei yang dilakukan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk anak, UNICEF dan lembaga riset Nielsen, menemukan bahwa hanya 31 persen dari warga di enam kota besar di Indonesia disiplin menjalankan 3 M.

“Hanya sekitar sepertiga dari 2.000 responden secara rutin mencuci tangan, menggunakan masker dan menjaga jarak,“ kata konsultan UNICEF, Risang Rimbatmaja, saat meluncurkan survei itu, Rabu (4/11/2020).

Survei UNICEF diadakan pada bulan Agustus, di Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, Makassar dan Bandung. Hasilnya, hanya 36 persen dari responden di enam kota menjalankan dua dari 3 M protokol kesehatan. Sebanyak 23,2 persen responden hanya menjalankan satu dari 3 M.  Ada 9,3 persen responden tidak melakukan protkes 3 M sama sekali.

Semarang menjadi kota yang ada di peringkat pertama dalam menjalankan protkes 3 M secara penuh, berdasarkan pengakuan responden di sana, dengan 39,1 persen. Penduduk Jakarta, yang menjadi kota yang paling banyak kasus COVID-19, ada di peringkat kedua, dengan 37 persen.

Sebanyak 70 persen responden mengaku mencuci tangan secara rutin, 70 persen pakai masker dan 48 persen menjaga jarak fisik, menjauhi kerumunan.

Bandingkan dengan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS). Survei lewat daring yang dilakukan pada 7-14 September 2020 dengan 90.967 responden di seluruh Indonesia menunjukkan persentase kepatuhan 3 M paling tinggi ada di pakai masker. Sebanyak 92 responden mengaku selalu gunakan masker saat di tempat publik, 75,38 persen rutin cuci tangan, dan 73,54 persen jaga jarak fisik.

Kepatuhan publik gunakan masker meningkat 8 persen dibandingkan posisi April 2020.  Begitu pun, menurut Kepala BPS Suhariyanto, terjadi penurunan dalam kepatuhan cuci tangan dan jaga jarak. “Harusnya protokol kesehatan dijalankan secara bersamaan untuk 3 M,” kata Suhariyanto dalam jumpa pers daring (28/9/2020).

Studi Google dan IMF juga menemukan bahwa orang mencari keseimbangan antara perilaku 3 M yang disarankan untuk hambat penyebaran virus dengan keinginan kembali bekerja di kantor, kepedulian kesehatan keluarga dan menjaga kontak sosial. Misalnya, laporan mengungkapkan kian banyak orang menghadiri pertemuan kecil di bulan September dan kembali bekerja di kantor, ketimbang posisi Maret dan April.  Penggunaan masker di ruang publik meningkat.

Kelompok perempuan lebih patuh menjaga jarak fisik ketimbang laki-laki. Secara umum, perempuan lebih sadar risiko virus corona, begitu juga kelompok lanjut usia dan berisiko tinggi, yang memiliki komorbid atau penyakit bawaan.

Yang menarik juga, mereka yang percayai pemerintahnya dalam penanganan pandemik, lebih patuh jalankan protkes 3 M.

“Rasa percaya kepada pemerintah terlihat menurun di sejumlah negara, terutama di tempat yang alami wabah lebih parah. Kombinasi antara rasa percaya yang menurun dan kepatuhan yang rendah melahirkan tantangan untuk bulan-bulan ke depan, sementara banyak negara menghadapi kemungkinan, dan di beberapa kasus sudah menjadi realitas, datangnya gelombang baru wabah COVID-19,” demikian laporan itu.

Melihat bagaimana lambatnya pemerintah mencegah kerumunan yang terjadi sejak kepulangan Rizieq Shihab, pemimpin Front Pembela Islam (FPI), bisa dipastikan rasa tidak percaya itu makin tergerus.  Apalagi kerumunan mulai dari kampanye Pilkada 2020 sampai acara keagamaan yang melibatkan pejabat negara, selama ini ternyata dibiarkan.

Gembar-gembor meminta warga patuhi protokol kesehatan, dihadapkan kepada fakta-fakta brutal pelanggaran yang dibiarkan, dan penanganan yang tebang-pilih.  Kendatipun setelah itu ada tindakan, termasuk pencopotan dua kepala kepolisian daerah, kerumunan sudah terjadi.  Dari foto dan video yang beredar, banyak yang tidak menggunakan masker.  Kita tinggal menunggu hasilnya, meledaknya jumlah kasus. Sampai kapan?

Baca Juga: Melihat Jokowi Tangani COVID-19 dari Konsep Paradoks Stockdale

Topik:

  • Rochmanudin
  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya