Tumbuh 7,07 Persen Disyukuri, tapi Gak Perlu Glorifikasi

Varian Delta menghantui

Jakarta, IDN Times -  Negeri ini sedang rindu berat dengan kabar baik. Penyair Joko Pinurbo, menuliskan, “Juli, Hari-hariku terbuat dari  Innalillahi”. Kalimat itu viral, karena menggambarkan suasana kebatinan warga bangsa yang tengah dikoyak pandemi COVID-19. 

Indonesia menjadi pusat pandemi corona gara-gara sengatan varian Delta, menyumbang angka kematian harian tertinggi sedunia. Jadi, ketika pasangan ganda campuran Greysiana Polii dan Apriyani Rahayu memenangi medali emas di Olimpiade Tokyo 2020, teriakan gembira sampai tangis haru campur jadi satu merayakan kabar baik itu.  Merinding. Begitu pula saat atlet-atlet kita meraih medali di Tokyo.

Jadi, ketika Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan angka pertumbuhan ekonomi kuartal II tahun 2021, bagi sebagian orang, kalangan pemerintah terutama, ini juga disikapi sebagai kabar baik. Staf khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo, misalnya menyampaikan kegembiraan itu, lewat kicauan di akun Twitter @prastow, Kamis, 5 Agustus 2021. 

“Alhamdulillah Puji Tuhan! BPS baru saja mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia Q2 tumbuh 7,07%! Pencapaian yang baik, berkat kerja keras dan kerja sama semua pihak,  Mari terus bersatu, hadapi pandemi dan rawat optimisme.”

Saya menerima tabel versi BPS dari beberapa pihak. Pertama dari mantan menteri riset dan teknologi, Bambang Brodjonegoro, tak lama setelah keterangan pers yang disampaikan Kepala BPS Margo Yuwono, Kamis itu.

Hari itu, tabel BPS viral dari grup percakapan satu ke yang lain. Selain menyampaikan capaian pertumbuhan 7,07 persen di triwulan II- 2021 itu, Yuwono juga menyampaikan penyebab tumbuh “pesat” itu. Antara lain adalah membaiknya kinerja ekspor dan impor serta perbaikan pada konsumsi rumah tangga dan investasi. 

“Kinerja ekspor meningkat sebesar 55,89 persen jika dibandingkan Q2 2020, dan kalau dibandingkan dengan Q1 2021 tumbuh 10,36 persen, “ kata Yuwono.

Sebagaimana dikutip IDN Times, membaiknya kinerja ekspor sejalan dengan mulai membaiknya perekonomian di beberapa negara yang menjadi mitra dagang Indonesia seperti Tiongkok, Amerika Serikat (AS), Singapura, Hongkong, Korea Selatan, Vietnam dan  Uni Eropa.

Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II 7 Persen Dinilai hanya Pemulihan Semu

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, saat saya kontak Sabtu malam (7/8/2021), mengatakan peningkatan ekspor terutama disumbang oleh minyak nabati (crude palm oil),  batu bara, besi baja, elektronik, mobil dan spare parts. “Untuk besi, stainless steel, ekspor dari Morowali luar biasa. 

Tahun lalu, mereka mencatatkan angka sekitar 10,6 miliar dolar AS.  Di semester satu 2021, sudah sekitar 8 miliar dolar AS. Mobil juga demikian.  Jadi, bisa dilihat, selain ekspor komoditas, kita sudah meningkatkan ekspor produk jadi.  Hilirisasi tambang menjadi sangat penting,” kata Lutfi, yang sebelumnya menjabat Duta Besar RI untuk AS itu.

Begini kesimpulan dari keterangan BPS.

Perekonomian Indonesia berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku triwulan II-2021 mencapai Rp4.175,8 triliun dan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp2.772,8 triliun.

Ekonomi Indonesia triwulan II-2021 terhadap triwulan sebelumnya mengalami pertumbuhan sebesar 3,31 persen (q-to-q). Dari sisi produksi, Lapangan Usaha Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 12,93 persen. Sementara dari sisi pengeluaran, Komponen Pengeluaran Konsumsi Pemerintah (PK-P) mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 29,07 persen.

Ekonomi Indonesia triwulan II-2021 terhadap triwulan II-2020 mengalami pertumbuhan sebesar 7,07 persen (y-on-y). Dari sisi produksi, Lapangan Usaha Transportasi dan Pergudangan mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 25,10 persen. Dari sisi pengeluaran, Komponen Ekspor Barang dan Jasa mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 31,78 persen.

Ekonomi Indonesia semester I-2021 terhadap semester I-2020 mengalami pertumbuhan sebesar 3,10 persen (c-to-c). Dari sisi produksi, pertumbuhan terbesar terjadi pada Lapangan Usaha Informasi dan Komunikasi sebesar 7,78 persen. Sementara dari sisi pengeluaran semua komponen tumbuh, pertumbuhan tertinggi terjadi pada Komponen Ekspor Barang dan Jasa sebesar 18,51 persen.

Pertumbuhan (y-on-y) triwulan II-2021 terjadi di semua kelompok pulau. Hal ini terutama terlihat pada kelompok provinsi di Pulau Jawa, dengan kontribusi sebesar 57,92 persen, dan pertumbuhan (y-on-y) sebesar 7,88 persen.

Kabar baik ini muncul hampir bersamaan dengan data yang bikin miris, korban meninggal akibat COVID-19 di Indonesia menembus 100 ribu.  Hari ini, Sabtu, jumlah yang meninggal dunia sudah 104 ribu. Kematian di Jawa dan Bali ada tren menurun, tetapi di luar Jawa naik drastis, sekitar 283 persen.

Tumbuh 7,07 Persen Disyukuri, tapi Gak Perlu GlorifikasiIlustrasi aktivitas bongkar muat peti kemas di Terminal Peti Kemas (TPK). (ANTARA FOTO/Aji Styawan)

Baca Juga: Kasus COVID-19 Menggila di Luar Jawa-Bali, Kematian Pasien 283 Persen

Ketika orang-orang di pemerintah dan sekitarnya sibuk menonjolkan “pertumbuhan ekonomi melesat, pesat, 7,07 persen,” dan senadanya, maka komentar publik beragam.  Ada yang larut dalam euforia, glorifikasi. Ada yang menganggap angka itu sifatnya semu, ada yang mempertanyakan, apa dampaknya terhadap keadaan ekonomi mereka yang masih terpuruk?

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menyatakan, meski Indonesia keluar dari resesi, hal itu tidak memberi dampak khusus bagi masyarakat secara luas. “Pertumbuhan ekonomi 7,07 persen hanya catatan perekonomian kita pada bulan April, Mei dan Juni.  Realitas yang kita hadapi sekarang, di bulan Agustus ini adalah gelombang kedua pandemik dan PPKM Level 4,” kata Piter, kepada IDN Times.

Ekonom Faisal Basri menilai pemulihan ekonomi Indonesia tergolong lambat jika dibandingkan dengan negara lain. “Misal, jika dibandingkan dengan Singapura, itu kecepatan pemulihan sekitar 27 persen. Sementara Indonesia kecepatannya hanya sekitar 14 persen, “ kata dia dalam sebuah diskusi daring membahas Pertumbuhan Ekonomi Triwulan II, Jumat (6/8/2021).

Dia membandingkan pertumbuhan ekonomi triwulan II-2021 dengan triwulan II-2020, ketika hampir semua negara alami merosotnya ekonomi, alias kontraksi yang dalam.

“Kalau saya kurangi pertumbuhan ekonomi triwulan II-2021 dengan triwulan II-2020, Indonesia itu paling lambat.  Nomor satu Singapura, kedua Uni Eropa, ketiga Filipina, keempat AS, kelima China dan lainnya belum keluar datanya,” kata Faisal, sebagaimana dikutip Antara.

Indonesia hanya lebih tinggi dari Vietnam, yang mengumumkan angka 6,6 persen.  Namun, tidak bisa membandingkan Indonesia dengan Vietnam, karena negara itu tidak pernah alami resesi alias pertumbuhan minus selama pandemik ini.

Faisal memaparkan juga bahwa Juli-Agustus menunjukkan pemulihan ekonomi Indonesia masih lambat.  Berdasarkan data Nikkei, Indonesia ada di urutan ke-110 dari 120 peringkat negara. Data Bloomberg menunjukkan Indonesia ada di peringkat 53 dari 53 negara.  Majalah Economist menempatkan Indonesia di urutan ketiga terbawah. “Semua menunjukkan Indonesia tergolong terburuk,” ujar Faisal.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berharap ekonomi Indonesia tumbuh mencapai 4-5,7 persen di triwulan III 2021. “Momentum pemulihan masih harus diwaspadai dengan adanya varian Delta yang masih tereskalasi hingga menjadi tantangan tersendiri bagi perekonomian  triwulan III,” kata mantan direktur pengelola Bank Dunia itu, Kamis (5/8/2021).

Mendag Lutfi mengatakan ancaman kinerja ekspor bisa datang dari India dan Filipina, berkaitan dengan situasi varian Delta dan belum baiknya vaksinasi di kedua negara itu.

Dari kabar baik yang diembuskan BPS dan pemerintah ini, masyarakat belajar soal istilah low base effect, kecenderungan perubahan absolut kecil dalam jumlah awal yang rendah untuk diterjemahkan ke dalam persentase perubahan besar. Triwulan II 2020, ekonomi kita minus 5,32 persen. 

Di kolom komentar di cuitan Prastowo kita bisa melihat respons warganet. Pula di berbagai diskusi di grup percakapan WhatsApp. Seorang guru besar yang rajin menulis kolom di berbagai media mengeluhkan bisnis kos-kosan di Yogyakarta yang mati suri selama pandemik, juga bisnis kebutuhan anak-anak yang dijalankan istrinya. Pemilik restoran dan kafe yang masih punya tabungan bertahan sekedar membayar gaji pokok karyawan.

Saya menelepon bos sebuah grup konglomerat papan atas yang mestinya, mendapatkan angin segar dari naiknya harga komoditas perkebunan dan batubara di pasar internasional. “Ya, tapi bisnis lain seperti properti kan susah betul. Jadi ini seperti dapat di sini, buat menambal di sana, masih susah,” kata dia.  Soal UMKM yang diklaim sudah pulih 85 persen, dia menjawab, “lha itu kafe, restoran, kos-kosan kan UMKM juga.”

Obrolan di grup pemimpin media massa pun sama. Dari yang papan atas sampai papan tengah, TV, media digital, apalagi media cetak semua terdampak, dan mereka dikelola dengan baik. Maka pemasangan iklan satu halaman menampilkan wajah Ketua DPR RI Puan Maharani, pastilah berkah bagi media cetak.

 Bagi media digital, bahkan sebelum pandemik, angka-angka prediksi iklan digital sebetulnya dikuasai platform seperti Google dan Facebook. Itu sebabnya, Dewan Pers dan asosiasi media bekerjasama dengan Telkomsel dan Metranet meluncurkan Tadex, Tanah Air Digital Exchange, sebuah platform programmatic periklanan buatan lokal.  Platform ini diluncurkan 29 Juni 2021, oleh Presiden Jokowi. Dampaknya? Belum nampak.

Singkatnya, pertumbuhan ekonomi melesat pesat ini, belum dirasakan dampaknya secara langsung. Indonesia memang keluar dari resesi, itu harus disyukuri. Tapi kesulitan yang dialami masyarakat banyak adalah fakta yang tidak bisa ditutupi.

Kegembiraan yang berlebihan, seolah menutup mata dari ribuan angka kematian yang terus bertambah setiap hari.

Baca Juga: Indonesia Keluar dari Resesi, Apa Dampaknya ke Kamu?

Topik:

  • Anata Siregar
  • Wendy Novianto
  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya