Bagaimana Media Sosial Melenyapkan Kita

Perlahan, kita menjadi produk dari media sosial

Teman saya baru-baru ini terjangkit virus merah muda. Setelah sekian lama tanpa ada perhatian yang tercuarahkan pada hidupnya, akhirnya ia menemukan sentuhan itu pada diri seorang wanita. Kebahagiaan itu sungguh terpancarkan ke seluruh alam dan oleh sebab itu maka tak lengkap rasanya jika ia hanya berhahagia sendirian. Unggahan foto dan quote ala pujangga Timur Tengah tiba-tiba hadir dalam linimasa media sosialnya. Sebelumnya tak ada yang seperti itu, jikapun ada paling unggahannya berupa meme untuk menghibur dirinya. Tapi karena sudah ada yang menghibur, unggahan meme pun perlahan sirna. Menyiarkan kabar bahwa dirinya adalah makhluk terbahagia di bumi dengan suatu unggahan adalah adiktif, bagi kita juga.

Serupa hampir sama dengan teman saya yang satunya lagi, sebutlah ia Baya. Kehadiran Instagram dalam dunia ini memudahkan ia untuk mencari hiburan tersendiri. Belum lagi kehadiran-kehadiran sosok penyantun batin sejenis yang terdapat pada media sosial lainnya seperti Whatsapp maupun LINE. Intinya, demi menggapai kebahagiaan maka perlu adanya kehadiran dalam dunia media sosial. Apalagi jika ia sedang dalam kegiatan atau aktivitas yang mengharuskan atau setidaknya warga dunia mesti mengetahui apa yang ia sedang lakukan. Maka serbuan status foto meluncur deras bagai rintik hujan. Sebuah cara yang teramat instan untuk menambah dan mendapatkan kebahagiaan. Setidaknya kesenangan sementara.

Teman saya atau mungkin kita seringkali terbantu oleh media sosial. Khususnya dalam beberapa bidang tertentu misalnya promosi jualan. Juga yang tak kalah penting adalah berbagi informasi kepada sanak famili yang tak kuasa untuk dijangkau kaki. Media sosial menghubungkan kita yang terkendala ruang. Sebuah resep ampuh untuk setiap orang melepas rindu. Kita turut serta dalam menghidupkan ranah media sosial dengan segala kegiatan yang berbasis di sana. Kita berinteraksi, berkomunikasi, berkreasi dan yang terpenting adalah menjaga eksistensi pada media sosial. Rasanya tak cukup jika hanya sebatas diri pribadi menikmati keceriaan, kita perlu untuk mengunggahnya ke media sosial. Rasanya tak cukup jalinan komunikasi terjadi di ruang kelas atau kafe, kita perlu lebih dalam sebuah media sosial pada HP. Kita membutuhkan media sosial dengan segala bentuknya bahkan pada masalah yang teramat sepele sekali seperti mengusir kebosanan dalam perbincangan atau pengantar tidur setiap malam. Media sosial menghidupkan kita pada satu momen dan membuat kita mati pada satu momen lainnya.

Mungkin benar dalam kalimat ‘media sosial’ ada kata sosial tersemat di dalamnya. Namun tak berarti itu menambal kebutuhan sosial diri kita. Berapa banyak dari kita yang terbuang waktunya untuk sekadar melihat feed Instagram yang isinya itu-itu saja, berapa banyak dari kita yang teralihkan dari hal pekerjaan produktif dan menundanya hanya karena tak kuasa melihat linimasa dan berapa kali diri kita merasa gusar atau gelisah ketika menemui unggahan foto yang nampak bahagia tetapi tanpa ada kita di dalamnya. Paling parah, betapa merasa tak bergunanya kita ketika suatu status unggahan yang menyatakan kondisi diri kita justru tak ada respon di media sosial. Kita seolah merasa dinilai dari seberapa menarik kita dalam bentuk data. Lalu jika tak sesuai harapan, kita akan merasa dikecewakan.

Founder professional training Bailey Parnell menuturkan bagaimana sosial media mencederai kita, mencederai kesehatan mental kita. Rasa ingin diperhatikan adalah satu penyebabnya. Tak ada yang salah memang, namun ketika kita berada dalam media sosial ada satu faktor yang membuat hal tesebut jauh lebih dinikmati. Faktor itu adalah “share”, “like” atau “comment” atau hal lain yang sejenisnya. Kita menjadi produk dalam media sosial. Ketika “kita” diberi banyak like atau view, rasanya pasti bahagia. Sebaliknya, jika tidak atau beberapa dari kita niatnya adalah untuk mencari perhatian seseorang tertentu dan tidak tercapai maka hal itu akan berdampak pada mental kita. Kita akan merasa kita tak dihargai lagi atau sudah tak ada lagi hubungan yang terjalin. Pastinya sangat mengganggu dengan segala prasangka tersebut. FOMO atau Fear of Missing Out adalah perasaan yang menganggap betapa harusnya kita ada dalam suatu momen tersebut tetapi nyatanya tidak, sehingga menimbukan berbagai spekulasi dan yang terparah menganggap diri sendiri sudah tak penting. Kesimpulan yang diambil cepat ketika melihat satu unggahan pada media sosial.

Kita digerakkan dan dihidupkan oleh media sosial. Menjadi apa yang diinginkan oleh masyarakat media sosial. Jika tidak melakukannya, kita terasingkan. Menurut penelitian Universitas York menemukan bahwa seorang wanita muda yang merasa hidupnya tidak lebih baik bahkan mengecewakan dikarenakan melihat unggahan di media sosial. Membandingkan kehidupan kita dengan orang lain, apa yang diperoleh dan apa yang tidak diperoleh, menyebabkan rasa mengecilkan diri pada diri sendiri. Universitas Pennsylvania pada kajian yang sama pada media sosial menyimpulkan justru penggunaan media sosial berlebih justru membuat kita mengalami depresi dan rasa kesepian yang lebih. Sebuah ironi mengingat media sosial ditujukan untuk mengatasi rasa kesepian, namun itulah yang terjadi pada diri kita. Setidaknya yang terjadi ketika kita merespon media sosial. Karyawan yang bekerja di Silicon Valley, rumah bagi perusahaan start-up teknologi terkini bahkan mengatur dengan ketat penggunaan ponsel untuk anaknya sendiri. Mengapa? karena mereka tahu ponsel di desain agar para pengguna bisa betah berlama-lama memegangnya. Entah dengan fitur atau aplikasi di dalamnya.

Sebenarnya tak ada yang salah dengan media sosial. Di satu sisi kita memang membutuhkannya. Untuk berjualan misalnya dan tentu saja berkomunikasi dengan semestinya. Mungkin ini terkesan terlalu “baper” dalam melihat masalah media sosial ini. Toh jika kita dapat mengatur emosi tentunya tak akan terjadi bukan?. Tetapi bukan itu intinya. Selain itu, masalahnya tidak hanya terletak pada bagaimana kita mengatur emosi, yang perlu diakui adalah manusia memang hakikatnya butuh rasa untuk diperhatikan. Sayangnya, itu disediakan oleh media sosial dengan cara yang luar biasa, bahkan melebihi cara manusia itu sendiri. Tak perlu untuk menghapus akun media sosial yang bejibun itu atau beralih hidup menjadi manusia primitif. Mau tak mau kita harus beradaptasi dengan zaman serba teknologi ini. Cukup kurangi ketergantungan itu. Kurangi sedikit demi sedikit mengecek views status WA setiap kali buka WA dan cobalah hanya mengunggah yang menurutmu penting saja. Mungkin saja diluar sana ada yang tak seberuntung kamu dan tak sengaja melihat unggahanmu, lalu merasa lebih buruk lagi. Jangan sampai. Kita menggunakan media sosial untuk bersosial tapi tidak untuk mengurangi jiwa sosial.

Beberapa cara lainnya sebernarnya sudah ada dihadapan kita. Teman saya yang terjangkit virus merah muda itu ternyata mempraktikannya dengan bagus. Ketika bertemu dalam satu kesempatan di sebuah warung pinggiran jalan, ia sudah tak terlalu sering menggunakan HP-nya lagi. Padahal ia termasuk penghobi mobile gaming dan derma like Instagram. Kala itu kebahagiaannya teralihkan dari sebuah benda mati menuju seorang wanita tambatan hati. Komunikasi berjalan mengalir dan santai, interaksi yang mendalam. Kemudian dengan semena-mena saya datang untuk sekadar menyapa dan memberitahukan sedikit kabar kepadanya. Kehadiran saya yang singkat itu pastinya tak mengurangi suasana nyaman yang ia rasakan. Kembali pada sosial yang sebenarnya adalah jalan yang sederhana untuk mencegah media sosial memakan kita. Sekali lagi, itu dilakukan dengan baik oleh teman saya sembari saya berpulang meninggalkan mereka berdua dan sibuk kembali dengan kesendirian. Suatu saat saya ingin seperti itu, pasti.

 

WahyuAjiSaputra Photo Writer WahyuAjiSaputra

tak usah banyak tahu

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Merry Wulan

Berita Terkini Lainnya