Haruskah Produksi Padi Beradaptasi dengan Perubahan Iklim?

#1000AspirasiIndonesiaMuda perihal perubahan iklim

Isu perubahan iklim begitu nyaring digaungkan beberapa dekade belakangan, bahkan dalam forum internasional G-20 yang tengah dijalankan Indonesia sebagai Presidensi G-20. Mengingat ruang lingkup permasalahan tersebut yang bisa meluas ke mana saja, akhirnya topik itu mau tak mau dikategorikan dalam transisi energi pada KTT G-20 sebagai bentuk adaptasi sekaligus alternatif. Tentunya momen ini memberi ruang bagi generasi milenial untuk berpartisipasi dalam gerakan 1000 Aspirasi Indonesia Muda agar menyatukan suara demi recover together, recover stronger

Dampak perubahan iklim global tanpa kita sadari sudah nyata terjadi. Di antaranya intensitas, durasi, dan frekuensi curah hujan yang bervariasi hingga nyaris tak mampu untuk diprediksi. Belum lagi cuaca ekstrem dan peningkatan suhu yang bisa terjadi di belahan bumi mana pun. Tentunya dikarenakan radiasi matahari yang signifikan beragam hingga berimbas pada peningkatan emisi gas rumah kaca. Semuanya tentu berpengaruh besar terhadap pertanian, hutan, dan sumber daya alam lainnya, termasuk air yang bersumber dari reservoir air yang peka terhadap iklim (Wild, 2012; Cai et al., 2015; Zhai et al., 2018; and Marques et al., 2019).

Jika kita tinjau lebih jauh dalam sektor pertanian, perubahan iklim akan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman serta produksi. Dikarenakan meningkatnya jumlah kejadian kekeringan dan banjir yang secara tidak langsung akan mempengaruhi stabilitas ekonomi, meskipun dampaknya akan bervariasi menurut wilayah dan jenis tanaman (Wassman et al., 2009; Nelson et al., 2014; and Lehtonen et al., 2015). Selain itu, negara berkembang akan lebih menderita daripada negara maju dikarenakan strategi produksi pertanian yang didorong oleh rencana ekonomi di bawah skenario perubahan iklim. Menurut laporan Hatfield dan Prueger (2015), suhu global akan meningkat 2—3°C pada 2030 hingga 2050. Tak hanya itu saja, kenaikan suhu hingga 2°C atau lebih tinggi diperkirakan akan mengurangi hasil panen utama global, seperti beras, jagung, dan gandum (Pachauri et al., 2014). Tentunya, perubahan iklim telah menyebabkan perubahan substansial pada tanggal tanam dan panen, yang menyebabkan perubahan musim tanam dikarenakan variasi dan ketidakpastian curah hujan dan suhu, hingga bermuara pada perubahan siklus logistik pada permintaan pangan (Morgonov et al., 2018 and Gentilucci et al., 2021).

Beras yang merupakan makanan pokok bagi kebanyakan orang di seluruh dunia, diproduksi sekitar 480 MMT per tahun, dan dikonsumsi oleh sekitar 557 juta orang di Asia. Nyatanya memiliki fungsi yang berbeda sebagai landasan pembangunan budaya, sosial, dan ekonomi (Muthayya et al., 2014 and Pachauri et al., 2014). Alih-alih memenuhi permintaan pangan dari populasi manusia yang terus meningkat, kini hal tersebut malah menjadi tantangan sekaligus kesulitan tersendiri (Lal, 2013). Sudah sewajarnya, pengejawantahan dalam meningkatkan produksi tanaman sebesar 10—100% untuk mempertahankan ekosistem global hingga tahun 2050 (Tillman et al., 2011). Selain itu, konversi tahunan 2,7—49 juta hektare lahan menjadi kawasan pertanian diperlukan untuk memenuhi perkiraan produksi pangan di masa depan (Hoang et al., 2016).

Tak bisa ditampik kenyataan yang terjadi di Indonesia bahwa penduduk dan konsumsi beras diproyeksikan meningkat masing-masing sekitar 31% dan 45% (Gunning-Trant et al., 2015). Hal ini tentu akan berimbas pada potensi kekurangan pangan dan menggoyahkan stabilitas ketahanan pangan (Yuliawan et al., 2016). Sayangnya bukan itu saja, beberapa faktor juga turut menggetarkan gunungan produksi beras, yakni operasi pengolahan tanah, jenis kultivar, kerapatan tanam, tanggal transplantasi, kerapatan tanaman, pengelolaan pupuk, aplikasi kimia, sampai pengelolaan air. Lingkungan sebagai medium pertumbuhan juga berperan aktif, seperti temperatur, curah hujan, radiasi matahari, kecepatan angin, dan kelembaban (Halder et al., 2020). Selain momok itu semua, diyakini juga bahwa iklim di Indonesia diprediksi menjadi lebih panas dan lebih musiman, dengan tertundanya awal musim panas dan berkurangnya produksi beras sekitar 14%, secara eksplisit dapat mengganggu ketahanan pangan (https://www.wfp.org, 05 Oktober 2022). Perubahan iklim dapat kita maknai sebagai hilangnya 12.446 hektare lahan pertanian dan 885.430 ton produksi padi (Forster et al., 2011), di mana sawah yang ada mengalami kekeringan mencapai 25.580 hingga 867.930 hektare per tahun dan tercatat rusak 4.614 hingga 192.331 hektare (Kementerian PPN, 2011).

Oleh karena itu, kita pasti akan sepakat dengan paparan diskursus dan analisis sebelumnya yang merujuk pada variabilitas iklim akan memperburuk produksi padi (Barnwal dan Kotani, 2013). Pandangan dan wawasan yang benar-benar harus dipahami, yakni padi amat sensitif terhadap perubahan temperatur. Seharusnya pada siang hari, kehangatan ideal dapat terpancarkan dan diterima untuk perkembangan padi. Namun, suhu panas ekstrem yang nyaris mendekati 40° C selama beberapa jam kerap melanda dunia belakangan ini. Hal ini tentunya dapat merusak fisiologi padi hingga mampu menurunkan kuantitas sekaligus kualitas beras (Hatfield dan Prueger, 2015). Apalagi padi membutuhkan air yang jauh lebih banyak daripada tanaman biji-bijian lainnya, yaitu 450—700 mm selama musim tanamnya atau 1,9—2,25 mm/hari. Padi tumbuh buruk jika mengalami cekaman air, terutama selama masa tanam dan tahap reproduksi (Zaman et al., 2018). Di Indonesia, sebagian besar padi ditanam selama musim hujan di bawah kondisi tadah hujan dengan irigasi minimal—tingkat curah hujan dan waktu sangat penting. Faktor-faktor ini akan lebih rentan terhadap perubahan iklim dikarenakan curah hujan yang bervariasi secara temporal dan spasial, hal tersebut signifikan berpengaruh pada strategi pengelolaan padi.

Mitigasi potensi mengenai ketahanan pangan dengan memproyeksikan produksi beras masa depan di Indonesia melalui model simulasi iklim dan tanaman cukup memantik untuk menguras opsi antisipasi terhadap dampak perubahan iklim pada produksi beras. Baru-baru ini, DSSAT-CERES-Rice dengan model iklim gabungan telah banyak digunakan untuk menilai dampak perubahan iklim di masa depan—produksi beras (Shresta et al., 2017; Boonwichai et al., 2019; dan Alejo, 2021). Dalam penelitian tersebut, kombinasi pendekatan top-down dan bottom-up yang diadopsi dari penelitian sebelumnya diusulkan dengan mengevaluasi dan memprediksi pengaruh perubahan iklim terhadap produksi padi menggunakan model iklim dan tanaman. Model iklim akan memprediksi iklim di masa depan, dan model tanaman akan mensimulasikan pertumbuhan, lalu hasil tanaman berbasis data dapat diprediksi, seperti sifat tanah, praktik pengelolaan, dan karakteristik agronomi.

Namun, yang perlu diawasi dalam pengamatan dan peninjauan terkait variabilitas iklim ini adalah permintaan pangan global yang meningkat seiring dengan populasi global, bahkan diproyeksikan permintaan pangan akan berlipat ganda pada akhir tahun 2050 (Tomlison, 2013). Tentu saja hal ini akan memicu pertanian global dalam menaikkan produksi beras, baik dengan meningkatkan luas lahan pertanian untuk budidaya padi, atau dengan menambah produktivitas pada lahan pertanian yang ada dengan menggunakan praktik pengelolaan yang tepat. Sayangnya, peningkatan produksi pertanian akan menghadapi hambatan perubahan iklim, yang secara langsung mempengaruhi produksi dengan meningkatnya suhu, serta perubahan intensitas dan frekuensi curah hujan. Berbagai fenomena tersebut dapat mengurangi produksi pangan dengan menurunkan produksi lahan, hingga gagal panen akibat kekeringan dan banjir. Jadi, peramalan produksi tanaman di masa depan untuk menghindari gagal panen dengan merancang dan mengimplementasikan strategi adaptasi perubahan iklim sangat penting untuk memastikan ketahanan pangan.

Dalam studi Ansari et al. (2021), ternyata lebih terdepan dan kekinian dalam meneliti dampak perubahan iklim, yaitu dengan menggabungkan generator cuaca harian MarkSim dengan output ensemble dari 17 GCM dan model DSSAT-CERES-Rice untuk memprediksi produksi beras masa depan di bawah “skenario” perubahan iklim yang berbeda, lalu ditentukan kemungkinan strategi adaptif berdasarkan hasil model iklim dan tanaman. Ketidakpastian model iklim untuk menghasilkan hasil yang realistis dapat dikaitkan dengan skenario, model, periode waktu, dan jumlah generasi yang diprediksi (Choudary et al., 2019). Untungnya beberapa penelitian telah dilakukan untuk menganalisis ketidakpastian perubahan iklim terhadap produksi beras. Beberapa studi ini menunjukkan bahwa ketidakpastian tersebut merupakan masalah utama bagi adaptasi kebijakan dan strategi untuk mengurangi dampak perubahan iklim terhadap produksi beras (Shresta et al., 2017; Bregaglio et al., 2017; Prabnakorn et al., 2018; Boonwichai et al., 2018; Van Oort and Zwart, 2018; Boonwichai et al., 2019; Gupta and Misra, 2019; and Sloat et al., 2020).

Ketidakpastian sebenarnya dapat muncul dari berbagai variabel, termasuk parameter dan model penelitian. Bahkan, pertimbangan kesuburan tanah dan serapan hara dalam model tanaman bisa berubah-ubah dengan berbagai skenario SSP-RCP (shared socioeconomic pathways-representative concentration pathways) dalam proyeksi iklim. Dalam studi lain diungkapkan bahwa faktor penyebab kenaikan suhu pada produksi beras ternyata berkorelasi erat dengan ketidakpastian dampak curah hujan (Boonwichai et al., 2019). Sementara itu, model ensemble dengan skenario RCP digunakan untuk menghilangkan ketidakpastian yang terkait dengan proyeksi perubahan iklim (Bregaglio et al., 2017 and Prabnakorn et al., 2018). Digadang-gadang model ensemble turut memberikan dampak keseluruhan dari perubahan iklim dalam hal perubahan hasil panen padi (Gupta and Mishra, 2019).

Selain itu, concern ilmuwan lainnya juga menghasilkan proyeksi besar dengan menggunakan 17 model GCM (global climate models), karena sejumlah besar proyeksi GCM dapat dianggap sebagai cara untuk mengatasi tingkat ketidakpastian variabel tertentu. Berdasarkan laporan penelitian tersebut, hasil pemodelan menunjukkan bahwa suhu akan meningkat sebesar 2° C pada akhir tahun 2050. Peningkatan suhu minimum dan maksimum memiliki beberapa dampak pada hasil padi. Begitu pula lamanya pengairan dapat menyebabkan kerentanan dalam pertumbuhan dan perkembangan padi. Dengan demikian, pengelolaan air diperlukan untuk mencegah gagal panen, misalnya pasokan air untuk irigasi dapat meningkatkan hasil padi tadah hujan selama tahap berbunga (Boonwichai et al., 2021). Tentunya hal ini terkait dengan pola curah hujan. Ketika diproyeksikan hal tersebut menunjukkan variasi temporal dan spasial yang lebih signifikan, yakni akan menurun secara bertahap pada akhir tahun 2050-an.

Menanggapi hal tersebut, nyatanya studi sebelumnya justru telah melaporkan bahwa curah hujan di masa depan mungkin meningkat dan menurun di beberapa wilayah di Indonesia (Boer et al, 2004). Menyiratkan bahwa curah hujan yang berbeda tergantung pada beberapa faktor, termasuk topografi, lokasi, suhu permukaan laut, dan garis lintang. Demikian pula, studi sebelumnya yang mengevaluasi dampak perubahan iklim pada produksi padi tadah hujan di DAS Songkhram, Thailand, menggunakan model DSSAT-CERES-Rice, di mana skenario di bawah RCP 8.5 menunjukkan penurunan terbesar dalam produksi beras.

Peristiwa alam atau sosial banyak tak dilirik, tetapi hal ini ternyata dapat menyebabkan ketidakpastian dalam produksi beras. Dalam sebuah studi terdapat kesenjangan yang signifikan dalam produksi beras selama bertahun-tahun akibat “kontribusi” El Nino dan La Nina yanh menyebabkan kekurangan air dan banjir, dan secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Hal ini sesuai dengan temuan penelitian sebelumnya yang menunjukkan El Nino dan La Nina berdampak negatif terhadap intensitas, frekuensi, dan durasi curah hujan serta produksi padi, khususnya pada ekosistem tadah hujan yang lebih rentan terhadap El Nino (King et al., 2016 and Setiawan et al., 2017). Kedua fenomena tersebut adalah peristiwa alam yang meningkatkan atau menurunkan suhu laut hingga mempengaruhi intensitas curah hujan. Jika dikategorisasi maka El Nino merujuk pada penundaan curah hujan (mengakibatkan curah hujan berkurang), sedangkan La Nina menyebabkan curah hujan lebih tinggi. Peristiwa tersebut mampu berpartisipasi sampai mempengaruhi variasi produksi beras pada periode baseline. Diharapkan pula produksi beras di masa depan dinilai berdasarkan output ensemble dan nilai parameter genetika beras yang dikalibrasi dan divalidasi melalui perangkat lunak (software). 

Baca Juga: Padi Padi Tangerang, Piknik Privat Tepi Sawah Berlanskap Alam Pedesaan

Zaid Malbar Photo Writer Zaid Malbar

Literasi adalah proses belajar sejak dini, hingga kini, dan nanti

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Dimas Bowo

Berita Terkini Lainnya