Disorot Piala Dunia 2022, Ini Budaya Bersih Penonton Jepang

Bahkan, tidak disorot kamera pun!

Pada Piala Dunia 2014 di Brasil, penonton Jepang memukau dunia dengan menjaga stadion tetap bersih. Tren ini berlanjut di Piala Dunia Qatar 2022. Bukan soal kamera, beberapa penonton Jepang mengatakan bahwa mereka "tidak meninggalkan sampah" meski itu bukan stadion milik mereka atau pertandingan negara mereka.

Sejatinya, kebudayaan Jepang memang erat dengan konsep kebersihan dan kerapian. Jadi, meski tak disorot kamera pun, mereka menjamin akan tetap melakukannya. Selain mengundang decak kagum, apa yang membuat budaya kebersihan amat mendarah daging di Negeri Sakura?

Diketahui dunia pada abad ke-19

Budaya kebersihan Jepang pertama kali diketahui dunia saat mereka mengakhiri sakoku (isolasi Jepang dari dunia) dan terbitnya Kekaisaran Meiji. Saat mengunjungi Jepang untuk kedua kalinya pada 1854, Komodor Angkatan Laut AS, Matthew C. Perry, melihat sendiri betapa bersih dan rapinya Jepang.

Selain Perry, diplomat Britania Raya pertama di Jepang, Sir Rutherford Alcock, meriwayatkan bagaimana orang Jepang cinta keteraturan dan kebersihan. Hal ini tercatat dari bukunya pada 1863 bertajuk "The Capital of the Tycoon: a Narrative of a Three Years' Residence in Japan".

Lalu, pada 1870, seorang guru AS, William E. Griffis, diundang ke Jepang untuk mengajar di Jepang. Selama hidup di Jepang, William memuji kebiasaan bersih Jepang yang terbukti dari kebiasaan mandi tiap hari dan metode lainnya, kemungkinan besar termasuk membersihkan sampah.

Sudah ada sejak dahulu

Disorot Piala Dunia 2022, Ini Budaya Bersih Penonton Jepangilustrasi orang Jepang menyapu rumahnya (fodors.com)

Perilaku bersih Jepang sebenarnya sudah ada sejak turun-temurun. Hal ini tercatat dalam buku pemerintahan Engishiki (延喜式) yang dicatat pada pemerintahan Kaisar Jepang ke-60, Daigo (醍醐天皇). Selain hukum dan politik, ada pula tata cara membersihkan Istana Kekaisaran Kyoto.

Apakah ini berarti hanya menyapu atau mengepel? Membersihkan Istana Kekaisaran Kyoto berarti membersihkan tempat dari segala kesialan dan roh jahat sebagai "permulaan yang baru". Awalnya di kuil Buddhis dan Shinto sejak awal ke-13, praktik bersih-bersih ini mulai merambat dan menjamur di masyarakat Jepang.

Mengenal Oosouji, pembersihan besar-besaran sebelum tahun baru

Sebelum Tahun Baru (umumnya 25–28 Desember), masyarakat Jepang umumnya melakukan Oosouji (大掃除) yang secara harafiah berarti "pembersihan besar". Praktik ini konon bermula sejak abad ke-17 sebagai persembahan untak sang Dewa Tahun Baru, Toshigami (年神)

Sebelum dikenal sebagai Oosoji, praktik ini dikenal dalam riwayat Azuma Kagami (吾妻鏡) sebagai susu-harai (煤払い) yang berarti membersihkan jelaga. Saat masyarakat Jepang masih memakai lentera dan kayu bakar sebagai penerang, debu dan jelaga mengotori dinding dan langit-langit rumah dalam setahun.

Menariknya, debu dan jelaga yang hidup dapat dilihat dalam film My Neighbor Totoro (となりのトトロ/1988) dan Spirited Away (千と千尋の神隠し/2001) karya Hayao Miyazaki. Bernama Susu Watari (すすワタリ), makhluk berupa bola hitam ini adalah perwujudan debu dan jelaga yang ada di sudut-sudut rumah terbengkalai.

Disorot Piala Dunia 2022, Ini Budaya Bersih Penonton Jepangilustrasi Tenjoname oleh Toriyama Sekien (wikimedia.org)

Pada 1784, seorang seniman ukiyo-e legendaris, Toriyama Sekien (鳥山 石燕) merilis komplikasi lukisan hantu Jepang yang adalah tsukumogami (付喪神) atau benda sehari-hari yang dirasuki roh hingga bisa hidup. Salah satunya adalah Tenjoname (天井嘗) yang secara harafiah berarti "Penjilat Langit-langit".

Tidak seimut Susu Watari, Tenjoname muncul di Hyakki Tsurezure Bukuro (百器徒然袋) dengan penampilan seperti kemoceng, muka mengerikan, dan berlidah panjang untuk menjilati debu dan jelaga di langit-langit rumah. Sekien juga menyarankan agar saat membangun rumah, langit-langit jangan terlalu tinggi sehingga sulit dibersihkan.

Oleh karena itu, rakyat Jepang membersihkan rumah agar tidak didatangi Tenjoname. Jilatan Tenjoname juga meninggalkan bekas yang menyerupai wajah manusia yang mengerikan. Konon, jika menatap bekas jilatan Tenjoname terlalu lama, seseorang bisa menjadi gila hingga mati!

Baca Juga: Jepang Selalu Ajarkan Soal Kebersihan di Piala Dunia

Semua benda memiliki roh

Disorot Piala Dunia 2022, Ini Budaya Bersih Penonton Jepangilustrasi tsukumogami dalam Hyakki Yagyō (wikimedia.org)

Rakyat Jepang juga percaya bahwa objek, dari tanaman, fenomena alam, hingga lingkungan, ditinggali oleh dewa atau kami (神) sehingga tak boleh diperlakukan semena-mena. Ajaran inilah yang bertahan dalam kepercayaan Shinto (神道) yang berarti "Jalan Dewa".

Sudah disebut tadi, salah satunya adalah tsukumogami. Konon, objek buatan manusia bisa memiliki roh sendiri jika disimpan terlalu lama. Jika tak disingkirkan, tsukumogami bisa konon bisa mengganggu manusia. Dalam media Jepang modern, tsukumogami sering digambarkan sebagai benda-benda yang merasa "sedih" karena dilupakan.

Kebersihan sempat menurun di Jepang

Sementara praktik Oosouji sudah turun-temurun, praktik ini konon mengalami penurunan selama abad ke-21. Dalam sebuah survei pada 2020 oleh penyedia layanan pembersihan rumah Jepang, Duskin, hanya 52 persen partisipan yang melakukan Oosouji pada 2019. Apa yang menyebabkan hal ini? Perubahan gaya hidup rakyat Jepang ke arah modern.

Rakyat Jepang sering dikenal karena etika kerjanya yang ketat. Namun, pada 1970 dan 1980-an, para pekerja Jepang masih libur saat Tahun Baru. Berbagai usaha libur dan para pekerja kembali ke kampung halaman untuk merayakan Tahun Baru bersama keluarga dan orang-orang tercinta.

Pada saat ini, Oosouji masih memiliki peran besar untuk mempersiapkan rumah agar nyaman di Tahun Baru. Setelah Oosouji, anggota keluarga hanya tinggal santai, makan, nonton TV, atau bersenang-senang menikmati Tahun Baru sebelum kembali ke rutinitas kerja di kota.

Disorot Piala Dunia 2022, Ini Budaya Bersih Penonton Jepangilustrasi membersihkan lantai rumah (pexels.com/cottonbro studio)

Seiring berbagai usaha lokal mulai tersingkirkan oleh perusahaan ritel besar, maka makin banyak pekerja Jepang yang diminta bekerja meski sedang libur. Bahkan, tidak jarang toserba atau konbini (コンビニ) tetap buka meski Jepang sedang merayakan hari besar.

Lalu, rakyat Jepang mulai mengenal teknologi, dan ditambah lebih dari sepertiga rumah Jepang hanya terdiri dari satu orang saja. Saat golongam muda Jepang menganggap liburan sebagai waktu untuk bersantai, sementara golongan tua Jepang tidak menunggu kunjungan dari siapa pun, maka Oosouji pun tidak dilakukan.

Untungnya, tren negatif ini berbalik saat COVID-19 melanda Jepang. Seiring protokol kesehatan dan new normal jadi fokus, rakyat Jepang tidaklah asing dengan praktik menjaga kebersihan, terutama memakai masker dan mencuci tangan.

Selama harus berdiam di rumah, pemerintah Jepang mencoba meningkatkan semangat bersih-bersih rakyat Jepang dengan mengunggah video instruksi bersih-bersih dari konsultan kebersihan Marie Kondo. Hasilnya, Duskin mencatat bahwa lebih dari 70 persen rakyat Jepang berencana untuk melakukan Oosouji!

Baca Juga: Beri Hormat, 9 Hewan Ini Dianggap Sakral di Jepang

Topik:

  • Fatkhur Rozi

Berita Terkini Lainnya