11 Fakta Pengungsi Ilmuwan Perempuan Selama Perang Dunia II

Keahlian mereka dipandang sebelah mata

Ketika pengungsi Yahudi datang ke Amerika Serikat selama Perang Dunia II, sejarah diingatkan kembali dengan nama-nama terkenal seperti Albert Einstein, Enrico Fermi, dan Hannah Arendt. Namun, mereka bukan satu-satunya intelektual yang berusaha melarikan diri dari Eropa yang didominasi Nazi. Ratusan sarjana dan profesor lain juga melakukannya.

Di antara mereka ada beberapa ilmuwan perempuan berkualifikasi tinggi yang mencari universitas-universitas di Amerika untuk menemukan tempat yang aman agar dapat mengejar karier mereka. Terlepas dari prestasi akademis, mereka harus menghadapi banyak rintangan untuk mengungsi ke AS.

Terperangkap di antara undang-undang antisemitisme di negara mereka dan kesulitan mendapatkan visa ke AS, ini bukan hanya tentang mendapatkan pekerjaan, melainkan juga masalah hidup dan mati. Beberapa dari mereka berhasil, yang lain sayangnya tidak. Berikut adalah kisah-kisah memukau dan memilukan dari para pengungsi ilmuwan perempuan selama Perang Dunia II untuk bertahan hidup.

1. Setidaknya ada 80 Ilmuwan perempuan Yahudi yang dipaksa meninggalkan Eropa

11 Fakta Pengungsi Ilmuwan Perempuan Selama Perang Dunia IIPengungsi Yahudi Jerman di MS St. Louis pada 1939. (historycollection.com)

Pada April 1933, pemerintah Jerman mengeluarkan undang-undang baru (UU Pemulihan Layanan Sipil Profesional), yang melarang orang Yahudi dan musuh politik partai Nazi dari semua jabatan pegawai negeri. Melansir German History, semua pegawai sektor publik diminta untuk memberikan sertifikasi keturunan Arya. 

Ini berarti banyak profesor dan cendekiawan universitas tidak diizinkan bekerja di universitas di Jerman dan Eropa Timur. Dalam beberapa disiplin ilmu dan fakultas, sepertiga dari mereka Yahudi atau keturunan Yahudi, mengutip profesor dan jurnalis Laurel Leff di Smithsonian. Menurut angka resmi, sekitar 12.000 akademisi Yahudi dipecat dari universitas di Jerman. Setidaknya ada 80 perempuan yang mengalami nasib serupa.

2. Banyak dari ilmuwan perempuan ini menyandang gelar doktor

11 Fakta Pengungsi Ilmuwan Perempuan Selama Perang Dunia IIilustrasi ilmuwan perempuan (goodnet.org)

Banyak ilmuwan perempuan ini adalah seorang pionir di bidang mereka dan memegang gelar tinggi dalam sains dan matematika, yang tidak umum bagi perempuan pada saat itu. Menurut data yang dikumpulkan oleh Northeastern University, perempuan ini adalah akademisi, profesor, dan ilmuwan yang berpraktik. Hal ini sangat disayangkan, karena menjadi sarjana perempuan di dunia akademis yang didominasi laki-laki tidaklah mudah, bahkan di Eropa pra-Nazi.

Ilmuwan perempuan yang berjumlah 80 ini lahir antara tahun 1890 sampai 1915. Mereka ahli dalam berbagai disiplin ilmu, tetapi mayoritas dari mereka berpraktik sebagai ahli kimia, ahli biologi, dan psikolog. Para ilmuwan perempuan yang mengajukan permohonan bantuan untuk beremigrasi ke AS sangat fasih berbahasa Jerman, Prancis, dan/atau Inggris. Sebagian besar dari mereka dididik di lembaga bergengsi di Berlin dan Wina, yang merupakan pusat budaya Eropa berbahasa Jerman pada saat itu.

3. Undang-Undang Imigrasi 1924 membuat imigran kesulitan untuk memasuki Amerika Serikat

11 Fakta Pengungsi Ilmuwan Perempuan Selama Perang Dunia IIPresiden Calvin Coolidge menandatangani Undang-Undang Imigrasi tahun 1924. (newsela.com)

Pada awal 1920-an, kondisi kehidupan di Eropa memburuk dan semakin banyak orang berusaha bermigrasi ke AS. Pemerintah Amerika ditekan untuk membatasi jumlah orang yang datang ke negara itu. Menurut Office of the Historian, pemerintah AS memberlakukan pembatasan imigrasi pada 1917 dengan memperkenalkan tes melek huruf dan membatasi jumlah imigran dengan batasan 350.000 orang per tahun.

Pada 1924, pemerintah AS mengesahkan undang-undang imigrasi baru, yang juga dikenal sebagai Johnson-Reed Act. Undang-undang baru ini menyatakan bahwa hanya dua persen dari total jumlah orang dari setiap negara yang sudah ada di AS yang bisa masuk. Ini berarti kuota besar diberikan kepada orang-orang Inggris, sementara jumlah imigran dari Eropa selatan dan timur sangat terbatas.

Tidak hanya itu, orang Jepang dan Asia benar-benar dikecualikan untuk memasuki AS. Setiap tahunnya, imigran yang diizinkan memasuki AS diturunkan menjadi 150.000 orang. Undang-undang imigrasi yang baru ini mempersulit para pengungsi Yahudi di seluruh Eropa untuk mencari suaka di AS.

4. Hanya empat perempuan yang menerima bantuan resmi

11 Fakta Pengungsi Ilmuwan Perempuan Selama Perang Dunia IIHedwig Kohn (googlewatchblog.de)

Karena imigrasi sangat dibatasi oleh undang-undang baru, sebuah komite dibentuk di New York untuk membantu para profesor yang dipindahkan. Emergency Committee in Aid of Displaced Foreign Scholars didirikan pada 1933 oleh Stephen Duggan, dengan dukungan dari Yayasan Rockefeller, bertujuan membantu para sarjana menemukan perlindungan di universitas-universitas Amerika.

Namun, lebih dari 5.000 cendekiawan, termasuk 80 ilmuwan dan matematikawan perempuan, yang mencari bantuan kepada Emergency Committee in Aid of Displaced Foreign Scholars, hanya empat orang yang menerima hibah. 

Keempat perempuan tersebut adalah Hilda Geiringer, pelopor dalam bidang matematika terapan yang setelah melarikan diri dari Jerman, mengajar di Brussel dan Istanbul sebelum mendapatkan posisi di Bryn Mawr College. Emmy Noether, yang dianggap sebagai ahli matematika perempuan paling berprestasi pada masanya, juga mendapatkan pekerjaan di Bryn Mawr, yang direkomendasikan oleh Albert Einstein.

Hedwig Kohn, dokter fisika, yang dikenal dengan penelitiannya di bidang radiologi, ditawari kontrak di Women's College of the University of North Carolina dan kemudian di Wellesley. Lalu, Tilly Edinger, yang penelitian pentingnya di bidang paleoneurologi membuatnya mendapatkan posisi di Harvard, tulis laman Lady Science.

5. Ada kesempatan lain bagi ilmuwan perempuan untuk berimigrasi ke AS

11 Fakta Pengungsi Ilmuwan Perempuan Selama Perang Dunia IIFoto tahun 1939 tentang pengungsi Yahudi Jerman di atas kapal Jerman Saint Louis. (smithsonianmag.com)

Hanya sebagian kecil cendekiawan menerima bantuan resmi. Namun, jika seorang profesor menerima tawaran untuk bekerja di universitas, dia diizinkan berimigrasi dengan visa nonkuota. Dengan bantuan Yayasan Rockefeller, Komite Darurat mulai mengumpulkan resume dan CV dari para sarjana Eropa yang mencari pekerjaan di AS dan mencoba menempatkannya di universitas-universitas Amerika. 

Ketika mereka membutuhkan ilmuwan untuk mengisi suatu posisi, universitas meminta kepada panitia nama-nama sarjana asing yang telah melamar pekerjaan. Namun, bagi banyak perempuan, hal ini bisa menjadi penantian yang panjang dan menyiksa, seperti yang ditulis profesor dan jurnalis Laurel Leff dalam bukunya pada 2019, Well Worth Saving: American Universities' Life-and-Death Decisions on Refugees from Nazi Europe.

Baca Juga: 12 Sejarah Pembicara Kode Selama Perang Dunia II di Amerika

6. Sangat sulit bagi perempuan untuk mendapatkan pekerjaan di universitas-universitas Amerika

11 Fakta Pengungsi Ilmuwan Perempuan Selama Perang Dunia IIilustrasi sains di universitas (bumc.bu.edu)

Antara 1933 dan 1941, ada 944 profesor di semua disiplin ilmu yang menerima visa nonkuota. Namun, mengapa para sarjana Yahudi begitu sulit untuk mendapatkan pekerjaan di AS? Salah satu alasannya adalah antisemitisme. Sayangnya, banyak universitas enggan mempekerjakan orang Yahudi dan lebih memilih profesor kelahiran Amerika daripada orang asing.

Usia juga menjadi permasalahan. Banyak cendekiawan perempuan yang tiba di AS dianggap terlalu tua untuk dipekerjakan. Di sisi lain, mereka justru dianggap terlalu muda untuk memiliki pengakuan yang cukup di bidang mereka.

Jika mereka memenuhi persyaratan sekalipun, masih saja dinilai tidak cukup. Ilmuwan perempuan yang mencari pekerjaan di institusi Amerika harus membutuhkan koneksi, seseorang yang mapan dan dapat menjamin mereka, atau istilahnya orang dalam.

7. Banyak cendekiawan perempuan yang pekerjaannya tidak ada hubungannya dengan karier mereka

11 Fakta Pengungsi Ilmuwan Perempuan Selama Perang Dunia IIilustrasi pengasuh anak pada Perang Dunia II (theatlantic.com)

Bahkan, jika ilmuwan perempuan diterima di AS, sulit bagi mereka untuk melanjutkan pekerjaan sebagai peneliti. Akibatnya, cendekiawan perempuan yang berkualifikasi tinggi sering kali digaji lebih rendah di universitas yang tidak dilengkapi dengan laboratorium untuk mendukung pekerjaan mereka.

Namun, mereka bisa dianggap lebih beruntung, karena beberapa dari mereka terpaksa menjadi pembantu rumah tangga atau pengasuh, dan harus menunda karier profesional mereka. Jika dihadapkan dengan kenyataan, itu bukan hanya masalah mendapatkan pekerjaan di bidangnya, tetapi taruhannya adalah hidup dan mati. 

8. Perempuan didiskriminasi di universitas karena masalah gender

11 Fakta Pengungsi Ilmuwan Perempuan Selama Perang Dunia IIilustrasi perempuan saat belajar di universitas era PDII (news.psu.edu)

Menjadi seorang pengungsi Yahudi sangatlah sulit, terutama untuk seorang perempuan. Jika mendapatkan pekerjaan sebagai pengajar, cendekiawan perempuan mengalami diskriminasi karena jenis kelamin mereka. Menurut Anna Reser dan Leila McNeill, penulis Forces of Nature: the Women Who Changed Science, sulit bagi pengungsi perempuan untuk mendapatkan posisi di universitas ivy league, terlepas dari prestasi mereka di bidangnya.

Emmy Noether adalah salah satu matematikawan terkemuka pada masanya, yang memperluas Teori Relativitas Einstein dan menemukan Teorema Noether, tetapi dia kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Lamaran Noether ditolak oleh Princeton. Noether akhirnya harus mengambil posisi di Bryn Mawr, sebuah perguruan tinggi perempuan di Pennsylvania.

Selain itu, bagian 4d dari Undang-Undang Imigrasi 1924 secara terbuka mendiskriminasi perempuan, yang menyatakan bahwa visa nonkuota hanya tersedia untuk profesor laki-laki beserta istri dan anak-anaknya yang belum menikah di bawah usia 18 tahun jika menemani atau mengikuti untuk bergabung dengannya.

9. Hilda Geiringer, latar belakangnya yang cemerlang tak banyak membantu kariernya

11 Fakta Pengungsi Ilmuwan Perempuan Selama Perang Dunia IIHilda Geiringer saat di Wheaton College di Massachusetts, dosen perempuan pertama di Jerman dalam matematika terapan. (bbc.com)

Selama Perang Dunia II, hanya universitas bergengsi dan didanai dengan baik seperti Yale atau Harvard, dan mampu membiayai penelitian. Ilmuwan perempuan yang dipekerjakan untuk mengajar di perguruan tinggi yang lebih kecil sering kali harus melepaskan karier ambisius mereka.

Itulah yang terjadi pada ilmuwan Hilda Geiringer. Lahir di Wina pada 1893, Geringer mendapat gelar doktor di bidang matematika. Dia beremigrasi ke Jerman dan menjadi perempuan pertama yang menerima jabatan di fakultas matematika di Universitas Berlin. Pada 1933, ketika Adolf Hitler terpilih sebagai kanselir, Geiringer kehilangan pekerjaannya seperti banyak rekan Yahudinya.

Dia melarikan diri ke Brussel dan kemudian ke Turki, di mana dia bekerja sebagai profesor di Universitas Istanbul. Pada 1938, pemerintahan berubah dan Geiringer kehilangan pekerjaannya lagi. Dia pergi ke London dan tinggal di rumah saudara laki-lakinya, sebelum naik kapal barang ke Lisbon bersama putrinya Magda. Ketika perang pecah, mereka terjebak di Portugal selama lebih dari sebulan, menunggu visa mereka dan hampir berisiko dideportasi ke kamp konsentrasi.

Pada 1939, dengan bantuan rekan cendekiawannya, Richard von Mises, dia akhirnya ditawari posisi di Bryn Mawr dan dapat melakukan perjalanan ke AS. Meskipun latar belakangnya terkenal dalam matematika terapan, Geiringer hanya mengajar kursus dasar dalam matematika.

10. Kisah memilukan Leonore Brecher

11 Fakta Pengungsi Ilmuwan Perempuan Selama Perang Dunia IIUniversitas Cambridge 1940-an (cam.ac.uk)

Sayangnya, tidak semua cendekiawan perempuan dapat menemukan tempat berlindung yang aman. Ilmuwan kelahiran Rumania, Leonore Brecher kehilangan kedua orang tuanya saat dia masih remaja. Dia pindah ke Wina dan mendapatkan gelar doktor di bidang zoologi. Di sana, ia mempelajari kupu-kupu, bekerja untuk Vivarium yang bergengsi di Institut Penelitian Biologi, dan menerima hibah untuk penelitiannya dari Akademi Sains Austria. Pada 1923, Brecher mendapat beasiswa untuk melanjutkan pekerjaannya di Universitas Rostock di Jerman. Dia melamar posisi penelitian di departemen zoologi di Universitas Wina, tetapi ditolak.

Brecher bekerja di Universitas Cambridge dan dianugerahi beasiswa dari Universitas Kiel, sebelum akhirnya kembali ke Wina. Pada 1938, ketika pasukan Nazi menduduki Austria, dia berusaha untuk beremigrasi ke AS. Terlepas dari prestasinya dan permohonan dari banyak akademisi yang menjaminnya, bantuannya ditolak. Pada 1942, dia dideportasi ke kamp konsentrasi di Belarus, di mana dia meninggal pada hari kedatangannya.

11. Ilmuwan perempuan ini tidak dilupakan begitu saja

11 Fakta Pengungsi Ilmuwan Perempuan Selama Perang Dunia IIIlmuwan perempuan memainkan peran sentral dalam penemuan ilmiah Perang Dunia II, termasuk pengujian dan produksi massal karet sintetis. (hubpages.com)

Di bawah bimbingan profesor dan jurnalis Leff, Universitas Northeastern telah meluncurkan proyek Rediscovering the Refugee Scholars of the Nazi Era, sebuah arsip daring di mana tim peneliti, dengan dukungan Perpustakaan Umum New York, telah mengumpulkan dan mendigitalisasi dokumen dan kesaksian seputar kehidupan para cendekiawan Yahudi yang datang ke AS untuk melarikan diri dari penganiayaan Nazi.

Proyek ini bertujuan untuk melestarikan cerita dan merekonstruksi perjalanan sulit para ilmuwan perempuan yang sangat layak diselamatkan, seperti yang dikatakan profesor Leff dalam bukunya tahun 2019, American Universities' Life-and-Death Decisions on Refugees from Nazi Europe.

Masalah pengungsi Yahudi di universitas-universitas Amerika tetap menjadi kontroversi, tetapi jasa mereka tidak boleh dilupakan begitu saja. Itulah 11 fakta tentang pengungsi ilmuwan perempuan selama pecahnya Perang Dunia II.

Baca Juga: 5 Jenderal Terhebat di Perang Dunia ke-2, Strateginya Paling Ditakuti

Amelia Solekha Photo Verified Writer Amelia Solekha

Write to communicate. https://linktr.ee/ameliasolekha

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Gagah N. Putra

Berita Terkini Lainnya