Inilah 13 Faktor Mengapa Gunung Everest Terus Menelan Banyak Korban

Tapi masih banyak orang yang nekat ke sana

Dahulu hanya sedikit manusia yang berani menaklukkan Gunung Everest. Tapi hari ini, banyak orang yang mengantre untuk menaiki gunung tertinggi di dunia itu, meskipun mereka tahu banyak orang yang tewas di sana.

Mendaki tidak lagi sebuah ajang prestasi bagi seorang pendaki yang sudah mempersiapkan diri dan berlatih selama bertahun-tahun sebelum menghadapi tantangan fisik terbesar dalam hidup  mereka. Sekarang ini kegiatan mendaki sering kali di pandang sebelah mata. Banyak orang yang mendaftar untuk mendaki puncak tertinggi di dunia sering kali tidak memiliki persyaratan kebugaran fisik, mereka hanya punya persyaratan secara finansial. 

Mendaki Gunung Everest bisa dibilang sangat berbahaya sehingga ada satu tempat di sisi utara yang disebut "rainbow ridge," tidak seperti kedengarannya, julukan itu dibuat karena banyak mayat di sana yang mengenakan pakaian pendakian berwarna cerah.

Lalu, mengapa begitu banyak mayat di Gunung Everest? Pendaki Everest memiliki beragam penyebab kematian, tetapi fakta berikut adalah yang paling umum dan mengapa ada lonjakan yang terjadi baru-baru ini.

1. Ini bukan saja karena faktor terjatuh

Inilah 13 Faktor Mengapa Gunung Everest Terus Menelan Banyak Korbanbbc.com

Gunung Everest memiliki tinggi lebih dari 29.000 kaki. Mengetahui hal itu, banyak orang yang mungkin percaya bahwa penyebab utama kematian di gunung itu adalah jatuh, tetapi itu hanya penyebab kematian kedua yang paling umum.

Menurut BBC, kebanyakan orang yang mati di Everest tewas dalam longsoran salju. Penyebab paling umum ketiga adalah paparan atau radang dingin, yang menyumbang sekitar 11 persen dari kematian, diikuti oleh suatu "penyakit gunung akut." Sekitar 27 persen dari kematian Everest terdaftar karena faktor-faktor lain seperti adanya reruntuhan es, kecelakaan tali, pneumonia, atau bahkan tenggelam.

Juga sedikit berlawanan dengan intuisi, pasalnya lebih banyak orang mati ketika dalam perjalanan turun daripada saat perjalanan mendaki. Sebanyak 120 orang tewas saat rute pendakian, dengan segelintir orang yang sekarat di base camp mereka, dalam perjalanan ke base camp, atau selama evakuasi. 

2. Perlintasan yang padat

Inilah 13 Faktor Mengapa Gunung Everest Terus Menelan Banyak Korbanbbc.com

Gunung Everest adalah salah satu tempat paling terpencil di Bumi. Dan ia juga salah satu tantangan fisik terbesar di dunia, dibutuhkan 10 hari hanya untuk sampai di base camp di Nepal, enam minggu untuk menyesuaikan diri, dan sembilan hari lagi untuk naik ke puncak. Pendakian ke sana juga relatif mahal, pengeluaran termurah untuk ekspedisi Gunung Everest sekitar 30.000 US dolar, dengan biaya rata-rata sekitar 65.000 US dolar. 

Menurut NPR, perlintasan pejalan kaki merupakan salah satu pembunuh di sana. Pada hari pendakian, ada ratusan pendaki yang berusaha untuk mencapai tempat yang sama. Jadi terjadilah antrian. 

Ya, kedengarannya sama seperti kita ingin menaiki wahana favorit ditaman hiburan. Perbedannya adalah, jika seseorang menunggu terlalu lama di Gunung Everest, orang itu bisa saja kehabisan oksigen dan akhirnya meninggal.

3. Orang berduit yang tidak berpengalaman

Inilah 13 Faktor Mengapa Gunung Everest Terus Menelan Banyak Korbanbbc.com

Seseorang dapat mendaki Everest dari dua base camp yang berbeda: Satu terletak di Nepal, dan satunya lagi di Tibet yang dioperasikan oleh Cina. Cina dan Nepal dulunya sangat selektif mengizinkan siapa saja yang boleh naik gunung.

Bahkan Telegraph mengatakan bahwa sampai tahun 1985, Nepal hanya mengizinkan satu ekspedisi pada setiap rute di waktu tertentu. Karena Nepal bukanlah negara maju, maka ia mengenakan biaya pendakian seharga 11.000 US dolar. Dan kegiatan itu menjadi sumber pendapatan bagi Nepal.

Secara keseluruhan, industri pendakian tersebut menguntungkan sekitar 300 juta US dolar per tahun. Pemerintah Nepal mengeluarkan 381 izin pada tahun 2019, dan tidak berniat untuk menguranginya meskipun angka kematian tertinggi melonjak sejak tahun 2015. 

Dan masalahnya bukan hanya jumlah izin yang dikeluarkan Nepal, tetapi juga untuk siapa saja mereka mengeluarkan izin itu. Tidak ada persyaratan fisik yang ditunjuk secara resmi dan tidak ada tes yang perlu dilewati untuk memenuhi syarat.

Jadi siapa saja bisa mendaki gunung Everest asalkan mereka memiliki uang. Yang berarti banyak pendaki yang tidak berpengalaman di gunung, dan marabahaya bisa mengincar mereka. Banyak yang mengkritik bahwa Nepal memiliki reputasi yang buruk untuk korupsi dan lemahnya peraturan keselamatan. 

Baca Juga: 6 Fakta Ini Harus Kamu Ketahui Sebelum Mendaki Gunung Everest

4. Peluang yang mematikan

Inilah 13 Faktor Mengapa Gunung Everest Terus Menelan Banyak Korbanfodors.com

Banyak orang yang membayangkan bahwa waktu terbaik untuk mendaki Everest adalah saat musim panas, karena tidak perlu khawatir tentang badai salju dan suhu beku. Di base camp, maksimal suhu di siang hari sekitar 59 derajat Fahrenheit, dan pada malam hari suhu menjadi sangat dingin dan beku.

Temperaturnya turun sekitar 2,7 derajat Fahrenheit untuk setiap ketinggian 490 kaki, dan puncaknya 11.429 kaki di atas base camp. (Di flipside, beberapa bagian Everest bisa menjadi panas di bulan Mei, hingga 90 derajat Fahrenheit, terutama bentangan luas bersalju yang memantulkan matahari.)

Jadi, bahkan dalam kondisi "ideal" sekalipun, cuaca tetap akan buruk. Dalam beberapa tahun terakhir ada fenomena kematian yang disebut "blue sky", seperti yang dilaporkan NPR. Mengapa? Itu karena banyak orang yang ingin mendaki Everest ketika langit berwarna biru, dan namun berakhir dengan kekurangan oksigen.

Pada 22 Mei 2019, ada 200 lebih pendaki dalam sehari yang ingin mencapai puncak gunung Everest, dan ini menjadi rekor terbanyak. 

5. Saat mencapai ketinggian 25.000 kaki, seseorang bisa berpotensi meninggal dunia

Inilah 13 Faktor Mengapa Gunung Everest Terus Menelan Banyak Korbanbusinessinsider.sg

Tak peduli seberapa keras seseorang berlatih atau seberapa cocok secara fisik seseorang untuk mendaki, saat seseorang mencapai ketinggian tertentu, ia bisa saja sekarat, dan butuh perjalanan 4.000 kaki. Pada titik itu, seseorang berpacu melawan kefanaannya sendiri.

"Saat mencapai sekitar 25.000 kaki, tubuh tidak dapat memetabolisme oksigen," kata editor majalah Grayson Schaffer kepada NPR. "Otot mulai rusak. Cairan akan menumpuk di sekitar paru-paru dan otak. Otak bisa membengkak dan bisa kehilangan kesadaran." 

Di ketinggian 4.000 kaki akhir disebut dengan "zona kematian," karena di situlah banyak pendaki kehilangan nyawa mereka. Pendaki dapat menderita serangan jantung, stroke, dan penyakit ketinggian lainnya. Cairan bisa menumpuk di paru-paru, hingga terjadinya edema paru-paru, yang menyebabkan batuk-batuk yang sangat parah hingga bisa meretakkan tulang rusuk.

Oksigen yang tipis juga dapat menyebabkan kebutaan sementara atau pendarahan di pembuluh darah mata. Dan pengalaman itu sungguhlah berat secara fisik sehingga satu studi menemukan bahwa pendaki Everest biasanya kehilangan berat badan antara 10 dan 20 pound.

6. Saat kondisi fisik melemah, mental pun akan mengalami hal yang sama

Inilah 13 Faktor Mengapa Gunung Everest Terus Menelan Banyak Korbanbusinessinsider.com

Ketika seseorang mencapai zona kematian, tubuhnya mulai berantakan. Tetapi jika ia dapat menjaga akal sehat dan bertahan, ia harus merasionalisasi beberapa ribu kaki terakhir dari perjalanan. Karena saat tubuh gagal berfungsi, otak pun akan mengalami hal yang sama.

Pendaki dapat mengalami edema otak di ketinggian, yang dapat menyebabkan muntah dan membuat konsentrasinya terganggu. Menurut Business Insider, pendaki bisa saja lupa bahwa mereka sedang berada di Everest, dan mereka akan berhalusinasi atau melakukan hal-hal aneh dan irasional lainnya.

Beberapa pendaki bahkan mungkin saja mengalami semacam psikosis ketika ia sendirian di sana. Beberapa pendaki menceritakan bahwa ia menghabiskan waktu berjam-jam dengan teman halusinasinya.

7. Tidak adanya upaya untuk membantu menyelamatkan orang lain

Inilah 13 Faktor Mengapa Gunung Everest Terus Menelan Banyak Korbanvox.com

Semua yang mendaki gunung Everest mengalami situasi yang sama sulitnya, dan beberapa orang bahkan benar-benar memburuk. Itu yang membuat semua orang di Everest mengalami dilema yang sulit. Haruskah membantu seseorang yang jelas tidak akan bertahan tanpa bantuan, namun membantu orang lain justru bisa membahayakan diri sendiri. Atau terus berjalan mencapai puncak, dan berharap bisa kembali dengan selamat.

Begitu seseorang berada di zona kematian, hanya sedikit yang dapat dilakukan untuk membantu sesama pendaki dalam kesusahan karena tidak memiliki kapasitas fisik untuk merawat diri sendiri dan orang lain.

Bukan tidak berperasaan yang meninggalkan orang sekarat dan mati di Everest, hanya saja mengabaikan orang yang sedang sekarat sering kali merupakan satu-satunya jalan alternatif.

8. Sindrom summit fever yang bisa mencelakakan diri sendiri

Inilah 13 Faktor Mengapa Gunung Everest Terus Menelan Banyak Korbanbusinessinsider.in

Ada sebuah fenomena yang disebut "summit fever" yang ditakuti banyak pendaki Everest. Sindrom ini disebabkan karena adanya rasa takut akan kegagalan. Mereka biasanya takut jika sudah mengeluarkan banyak uang namun tidak berhasil mencapai puncak.

Pendaki Gunung Everest mengharapkan keberhasilan mencapai puncak di atas segalanya, termasuk kehidupan mereka sendiri dan kehidupan orang lain.

Baca Juga: 5 Fakta Menarik Gunung Everest, Area Pendakian Paling Menantang!

9. Gempa bumi dan longsoran salju menjadi penyebab utamanya

Inilah 13 Faktor Mengapa Gunung Everest Terus Menelan Banyak Korbannewspunch.com

Longsoran salju sangat umum terjadi di Everest, dan itu adalah penyebab utama kematian bagi pendaki, peristiwa tersebut juga dapat dipicu oleh aktivitas manusia atau gempa bumi. Menurut Bloomberg, pada 2015 gempa bumi memicu longsoran salju dan menimpa base camp serta menewaskan 19 orang, melukai 60 lainnya.

Pada tahun 2012, seorang Sherpa meninggal setelah gagal mengikat tali pengamannya yang menjembatani celah besar di dalam es. Pada 2016 Sherpa lain juga tewas saat bekerja di rute 500 kaki di bawah puncak. Pada 2017, pendaki India Ravi Kumar berhasil mencapai puncak namun meninggal dunia setelah jatuh setinggi 650 kaki ke dalam ceruk.

10. "Green Boots" mungkin saja korban dari summit fever

Inilah 13 Faktor Mengapa Gunung Everest Terus Menelan Banyak Korbanmpora.com

Jasad paling terkenal di Gunung Everest adalah Green Boots. Kebanyakan orang percaya Green Boots adalah seorang pendaki bernama Tsewang Paljor, meskipun tidak ada identifikasi yang pernah dilaporkan.

Green Boots mendapat julukannya dari sepasang sepatu hiking berwarna hijau cerah yang dikenakannya, sepatu ini biasanya dikenakan para pendaki dalam perjalanan menuju puncak. Semakin ke sini, jasad Green Boots menjadi penanda ketinggian, membantu pendaki mengetahui seberapa jauh mereka ke zona kematian dan seberapa jauh mereka harus mendaki. 

Pada 2014, seseorang memindahkan Green Boots. Ini masih merupakan misteri tentang siapa dan mengapa ia melakukannya. Jika memang benar Green Boots adalah Tsewang Paljor, ia diyakini meninggal karena summit fever.

Menurut Epoch Times, Paljor bersikeras pergi ke puncak meskipun diperingatkan oleh wakil ketua timnya, karena sudah diprediksikan kalau cuaca buruk. Paljor dan rekannya memang berhasil sampai ke puncak, tetapi badai salju melanda mereka ketika sedang menuruni puncak, dan akhirnya mereka tidak pernah kembali ke perkemahan.

11. David Sharp, pendaki yang meninggal karena membeku, namun 40 pendaki lainnya tidak ada yang membantu

Inilah 13 Faktor Mengapa Gunung Everest Terus Menelan Banyak Korbanwomenridersnow.com

Kematian paling kontroversial di Gunung Everest adalah pendaki gunung asal Inggris David Sharp, mendaki dalam kondisi fisik yang baik namun dikalahkan oleh cuaca dingin. Membeku sampai akhirnya mati di gua yang sama dengan Green Boots, tetapi kematiannya kontroversial karena ada sebanyak 40 pendaki berbeda yang lewat, sama sekali tidak berhenti untuk membantu.

Masyarakat geram atas kematian Sharp yang pilu itu. Menurut Eight Summits, pendaki yang lumpuh di zona kematian memang sudah tidak bisa diselamatkan, dan Sharp sudah hampir mati karena radang dingin yang parah. Sharp mendaki seorang diri ke gunung Everest, dengan oksigen yang tidak mencukupi, tanpa seorang Sherpa, dan tanpa radio.

Salah satu pendaki yang menerima pukulan terberat adalah Mark Inglis yang harus diamputasi karena menderita radang dingin parah dan harus dibawa turun gunung oleh Sherpa-nya.

12. Sergei dan Francys Arsentiev, meninggal dunia setelah berhasil mendaki puncak tertinggi

Inilah 13 Faktor Mengapa Gunung Everest Terus Menelan Banyak Korbandiscoverinformation.com

Francys Arsentiev ingin menjadi wanita pertama yang naik ke puncak tanpa menggunakan oksigen tambahan, dan agaknya terdengar sangat nekat. Dia pun berhasil mencapai puncak, tetapi kondisinya memburuk ketika perjalanan turun.

Pada saat turun ia terpisah dari suaminya, Sergei, yang mengira bahwa istrinya telah mendahuluinya. Namun saat Sergei sampai di kemah, dia menyadari bahwa Francys tidak ada dan segera kembali ke atas gunung dengan membawa obat-obatan dan oksigen.

Dilansir dari Guardian, Francys hanya empat jam lamanya dari puncak ketika dua pendaki menemukannya sekarat dan membantunya. Namun kedua pendaki itu tidak memiliki upaya untuk membantunya dan akhirnya harus meninggalkannya sampai ia tewas. Sergei pun bernasib naas, dia meninggal juga. Tubuhnya ditemukan satu tahun setelah kematian istrinya, sepertinya dia jatuh ketika mencoba untuk membantu istrinya.

Banyak faktor yang mempengaruhi kematian di gunung Everest. Memang tidak bisa di pandang sebelah mata jika ingin mendaki gunung tertinggi di dunia itu. Bahkan yang profesional dan memiliki persiapan yang matang pun harus berakhir di dinginnya gunung dan terjalnya rute.

Baca Juga: 7 Fakta Unik tentang Gunung Everest, Bikin Takjub Sekaligus Merinding

Amelia Solekha Photo Verified Writer Amelia Solekha

Write to communicate. https://linktr.ee/ameliasolekha

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya