10 Fakta Gelap di Balik Kemegahan Era Renaisans 

Banyak peperangan hingga masalah agama

Renaisans dikenal sebagai periode ketika Eropa berada dari zaman kegelapan yang berlangsung selama ribuan tahun, beralih kepembaharuan sains, seni, dan sastra dunia Yunani-Romawi. Bahasa Latin para penulis Romawi kuno kembali sebagai bahasa sastra pada masa itu. Secara artistik, Renaisans menghadirkan pelukis seperti Michelangelo, teolog seperti Erasmus dan Martin Luther, dan ilmuwan seperti Galileo.

Namun, bagi kebanyakan orang, hidup di masa ini masih penuh ancaman dan juga tidak dapat diprediksi. Seperti adanya ancaman invasi, perang agama, dan penyakit, semuanya berperan dalam menciptakan sisi buruk periode Renaisans

1. Bajak laut Muslim memberikan rasa takut kepada masyarakat di pesisir

10 Fakta Gelap di Balik Kemegahan Era Renaisans Hayreddin Barbarossa (commons.wikimedia.org/Fine Art Museum - Algiers)

Komunitas pesisir Mediterania dan Atlantik menghadapi ancaman bajak laut dari Afrika Utara yang sudah merajalela. Perompak Afrika Utara sering menargetkan Katolik Italia, Spanyol, dan Malta untuk mencari tawanan yang akan dijual di pasar budak Ottoman, salah satunya ketika perompak Maroko berhasil mencapai Islandia pada tahun 1627.

Perompak Hayreddin Barbarossa dan saudaranya, Uruç Ali, sangat terkenal di Mediterania karena menjarah Kepulauan Balearic, merampok kapal harta karun Spanyol, dan berhasil menyerang Italia Selatan. Ironisnya, Barbarossa menemukan sekutu terbesarnya di Prancis Katolik, yang memberi perompak Ottoman tempat berlindung yang aman untuk melancarkan serangan terhadap musuh Hapsburg Prancis.

Dalam buku The Forgotten Slave Trade: The White European Slaves of Islam, Simon Webb mencatat bahwa meskipun tawanan kaya dapat menebus diri mereka sendiri, kebanyakan laki-laki menjadi budak galai di angkatan laut Ottoman atau Eropa.

Sementara perempuan mengalami nasib yang jauh lebih buruk. Perempuan yang ditangkap biasanya dijual sebagai budak seksual, menjadi harem orang-orang kaya.

2. Kristen Balkan dalam cengkraman Ottoman

10 Fakta Gelap di Balik Kemegahan Era Renaisans lukisan Murad I (commons.wikimedia.org/Paolo Veronese)

Kekuasaan Bizantium di Balkan runtuh pada akhir Abad Pertengahan, meninggalkan Ottoman untuk mengisi kekosongan. Meskipun tentara Utsmaniyah tidak tertandingi, kesetiaan pasukannya masih diragukan. Para sultan merancang cara yang kejam namun cerdik untuk membentuk unit militer pribadi mereka sendiri.

Dilansir Boston College, peristiwa ini dimulai oleh Murad I, sultan Ottoman merekrut tentara budak ke dalam unit pribadi elit yang disebut janisari. Setiap empat sampai lima tahun, para sultan memungut "pajak darah" atas rakyat Kristen mereka di Balkan, Anatolia, dan Kaukasus.

Keluarga Kristen di pedesaan harus menyerahkan satu anak laki-laki mereka yang berusia di bawah 2 tahun. Anak-anak tersebut masuk Islam dan dididik untuk bertugas di unit janisari dan di birokrasi Ottoman. Meskipun mereka adalah budak, mereka dibayar dan diberi perlakuan istimewa untuk pengangkatan dalam birokrasi Ottoman karena kesetiaan utama mereka adalah kepada sultan. Janissari tidak memiliki ikatan keluarga lain selain dengan sultan dan sesama prajurit lain, sehingga mereka menjadi kekuatan yang sempurna untuk menopang posisi sultan.

Pajak darah adalah pajak paling kejam dari Kekaisaran Ottoman terhadap warga Kristennya. Pada dasarnya, janissari akan berperang melawan sesama etnis mereka, yang menanggung beban agresi Ottoman. Praktik tersebut memuncak selama era Renaisans dan mati secara bertahap pada abad ke-18, ketika umat Islam berusaha masuk ke janisari sebagai sarana kemajuan dalam birokrasi kekaisaran.

3. Ottoman terkenal karena kekejaman mereka di Eropa

10 Fakta Gelap di Balik Kemegahan Era Renaisans ilustrasi pulau-pulau terkenal, pelabuhan, benteng, dan tanah maritim yang tunduk pada Kekaisaran Ottoman di Venetia (commons.wikimedia.org/Giovanni Francesco Camocio)

Sejarawan Edward Freeman, menulis dalam bukunya, The Ottoman Power in Europe: Its Nature, Its Growth, and Its Decline pada tahun 1877, mencatat bahwa reputasi kebrutalan Utsmaniyah bertahan hingga zamannya. Faktanya, Ottoman terkenal karena melakukan pembantaian untuk mencapai tujuan mereka, terutama di Eropa Tengah dan Mediterania.

Pada 1480, tentara Ottoman membantai penduduk kota Otranto di Italia selatan karena menolak masuk Islam. Setelah jatuhnya Famagusta pada tahun 1571, di ibu kota Siprus Venesia, Ottoman membantai penduduk Kristen di kota itu setelah menyerah, lalu menahan komandan Venesia, Marco Antonio Bragadin.

Menurut sejarawan John Julius Norwich dalam buku yang ditulisnya, The Middle Sea: A History of the Mediterranean, komandan Ottoman memotong hidung dan telinga Bragadin, dan dia diseret hidup-hidup di sekitar kota. Bragadin kemudian diikat ke tiang kapal Ottoman, dikuliti hidup-hidup, dan dikirim ke sultan sebagai piala perang.

4. Tentara bayaran Kristen yang sangat brutal

10 Fakta Gelap di Balik Kemegahan Era Renaisans ilustrasi dua tentara bayaran Kristen (commons.wikimedia.org/Hans Holbein the Younger)

Meskipun Ottoman sering digambarkan sebagai Muslim yang kejam, penguasa Kristen Eropa Renaisans juga sama brutalnya. Privatisasi perang dengan tentara bayaran memungkinkan para penguasa melakukan kekejaman yang jauh lebih parah. Orang-orang seperti condottieri Italia dan Landsknechte Jerman dipekerjakan untuk berperang dan melakukan pembantaian atas nama majikan mereka.

Menurut sejarawan Alexander Lee dalam bukunya yang berjudul The Ugly Renaissance: Sex, Greed, Violence and Depravity in an Age of Beauty, di Italia, taktik yang disukai condottieri adalah menghindari kota berbenteng dan membakar serta menjarah pedesaan yang rentan.

Komandan tentara bayaran cenderung memakai kekerasan dan pembantaian untuk mencapai tujuan mereka, menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan di Italia utara dan tengah selama abad ke-15.

Tentara bayaran juga bisa sangat berbahaya jika mereka tidak dibayar, hal ini terjadi ketika 14.000 Landsknechte Protestan menjarah Roma pada tahun 1527. Penjarahan Roma tahun 1527 melambangkan sikap tentara bayaran Renaisans yang cukup brutal.

5. Reformasi membawa perang agama ke Eropa

10 Fakta Gelap di Balik Kemegahan Era Renaisans ilustrasi Martin Luther dalam sebuah perdebatan (commons.wikimedia.org/Anton von Werner)

Eropa ditimpa banyak masalah, seperti perang yang terus-menerus terjadi dan invasi Ottoman. Dalam 95 Tesisnya pada tahun 1521, Biarawan Augustinian Martin Luther, menuduh Gereja Katolik melakukan korupsi yang parah. History mencatat bahwa Luther tidak mau menarik kembali tuduhannya di hadapan Imperial Diet di kota Worms.

Calon kepausan untuk takhta Kekaisaran Romawi Suci, Frederick III dari Saxony, menculik Luther dan menyembunyikannya di dalam Sachsen dari upaya kekaisaran yang mencoba untuk menangkap dan membunuhnya. Frederick akhirnya bergabung dengan Lutheranisme.

Saat Reformasi menyebar, negara bagian Jerman Utara lainnya dan seluruh Skandinavia bergabung dengan kelompok Protestan. The American Interest mencatat bahwa Lutheranisme dibentuk sebagai alasan untuk menyita kepemilikan tanah Gereja Katolik di Eropa Tengah dan Skandinavia, memperkaya penguasa mereka untuk menentang dominasi Habsburg. Ketika masalah Reformasi ini menjadi lebih politis daripada agama, serangkaian perang meletus.

Baca Juga: 7 Pelukis Terkenal Era Renaisans, Karyanya Terus Dikagumi!

6. Tidak ada toleransi beragama dan banyaknya supresi dari kedua sisi

10 Fakta Gelap di Balik Kemegahan Era Renaisans ilustrasi menegosiasikan kedamaian religius Imsn Augsburg (commons.wikimedia.org/Unknown author)

Pada tahun 1530, Gereja Lutheran secara resmi didirikan di bawah Pengakuan Iman Augsburg. Tahun berikutnya, negara bagian Sachsen dan Hesse menyatukan beberapa negara bagian setelah Pengakuan Iman Augsburg ke dalam Liga Schmalkalden untuk mencegah kaisar Katolik Charles V memberantas Protestantisme dengan paksa. Terlepas dari kekuatan Hapsburg, Liga Schmalkalden tumbuh cukup kuat untuk menantang otoritas kekaisaran di medan perang pada tahun 1546.

Meskipun Charles mengalahkan Liga Schmalkalden pada tahun 1547, pemberontakan kedua yang didukung oleh Prancis Katolik pada tahun 1552 berhasil mengalahkan pasukan kekaisaran. Hasil Perdamaian Augsburg tahun 1555 mengadopsi prinsip cuius regio, eius religio untuk mengatasi konflik agama.

Melansir laporan Davenant Institute, frasa Latin ini berarti agama penguasa (Katolik atau Lutheranisme) akan menjadi agama rakyatnya. Rakyatnya dipilih untuk menyesuaikan diri terlepas dari keyakinan pribadinya. Para pembangkang diberi masa tenggang untuk menjual properti mereka dan pergi ke negara bagian yang memiliki keyakinan yang sama.

Meskipun Perdamaian Augsburg bukanlah lambang toleransi beragama, pada masanya, hal itu adalah gagasan yang sangat maju. Namun, secara problematis, penyelesaian itu tidak mempertimbangkan status gereja-gereja yang direformasi, seperti Calvinisme, Zwinglisme, atau Huguenot Prancis.

Akan tetapi, Calvinisme menyebabkan ketidakstabilan di dalam Kekaisaran Romawi Suci, Inggris dan Prancis. Akhirnya, ketegangan tersebut menyebabkan konflik paling berdarah di Eropa sejauh ini, yaitu Perang Tiga Puluh Tahun.

7. Penyiksaan dan hukuman karena masalah penyihir

10 Fakta Gelap di Balik Kemegahan Era Renaisans ilustrasi eksekusi terduga penyihir dengan membakar di tiang pancang (commons.wikimedia.org/mullica)

Reformasi membawa perburuan penyihir ke Eropa Utara, di mana hal itu terjadi selama dua abad lamanya. Gereja Katolik abad pertengahan tidak memiliki aturan yang seragam tentang ilmu sihir. Beberapa menganggap bahwa hal ini takhayul dan kafir, serta di lain waktu, dianggap sebagai iblis yang menyerang umat manusia.

Pada tahun 1486, ketika pendeta Katolik Heinrich Kramer menulis Malleus Maleficarum (Hammer of Witches), Kramer berargumen bahwa masalah ilmu sihir sudah merajalela di seluruh Eropa dan hal ini harus ditindak secara hukum, terutama bagi perempuan.

Iklim yang tidak stabil di Eropa tengah dan utara selama Reformasi memicu perburuan penyihir berskala besar, khususnya di Jerman selatan dan Kepulauan Inggris. Dilansir laman Deutsche Welle, ribuan laki-laki, perempuan, dan bahkan anak-anak disiksa dan dieksekusi atas tuduhan ini. Meskipun para sejarawan menyepakati bahwa banyak dari mereka tidak bersalah. Namun, siksaan yang dialami membuat banyak orang mengaku karena kelelahan mental atau karena harapan untuk lolos dari eksekusi.

Penyiksaan yang digunakan bervariasi dari satu daerah ke daerah lain, tetapi sama brutalnya.  Di Kepulauan Inggris, para terdakwa dilarang tidur sampai mereka pingsan dan mengaku kelelahan. Tersangka juga dipermalukan, seperti didudukkan di bangku panas membara atau di atas kuda logam tajam yang disebut chevalet.

Seperti yang dikutip Medieval Science and Philosophy, munculnya Rasionalisme Pencerahan mengakhiri kegilaan tentang penyihir. Setelah kepercayaan pada sihir hilang di kalangan elit terpelajar, sihir tidak lagi dianggap sebagai kejahatan. Meskipun beberapa pembunuhan penyihir masih terjadi hingga abad ke-19, tapi praktik tersebut menghilang secara total pada tahun 1750 dan dihapus dari hukum pidana Eropa.

8. Diskriminasi orang Yahudi

10 Fakta Gelap di Balik Kemegahan Era Renaisans ilustrasi orang Yahudi yang terlunta-lunta (commons.wikimedia.org/Jacopo Tintoretto)

Orang Yahudi juga terjebak dalam pertempuran agama di era Renaisans. Setelah selesainya Reconquista Spanyol pada tahun 1492, orang Yahudi diusir dari Spanyol. Banyak yang melarikan diri ke Italia, sayangnya, mereka harus menghadapi berbagai tanggapan di Italia.

Sementara itu, Paus Alexander VI, Rodrigo de Borja, menyambut orang Yahudi Spanyol ke Roma dan bahkan mendenda orang Yahudi lokal jika mereka merasa keberatan. Namun, di Venesia, orang Yahudi dipindahkan ke ghetto.

Meskipun orang Yahudi dikenal sebagai rentenir di Eropa, semua bank terbesar Italia, seperti Monte Paschi di Siena, dimiliki oleh orang Kristen. Orang Yahudi bekerja sebagai pemberi pinjaman kecil kepada rakyat jelata, di mana banyak mata pencaharian bergantung pada mereka. Jadi, mengusir orang Yahudi Spanyol akan berdampak negatif pada perekonomian, itu sebabnya, republik hanya membatasi orang Yahudi.

University of Washington menggambarkan kondisi di ghetto Romawi, yang didirikan pada tahun 1555, penduduknya dilarang memiliki pekerjaan bergaji tinggi, harus mengenakan pakaian khusus yang mengidentifikasi status mereka sebagai orang Yahudi, dan terkadang diminta untuk berpartisipasi dalam ritual Kristen.

Menghadapi pembatasan ini, banyak orang Yahudi yang pergi ke timur menuju Kekaisaran Ottoman dengan harapan bisa menemukan kehidupan yang lebih baik. Namun, beberapa tetap tinggal di Roma, di mana keturunan mereka masih hidup sampai sekarang.

9. Lembaga kepausan ternodai dengan politik dan korupsi

10 Fakta Gelap di Balik Kemegahan Era Renaisans ilustrasi kepausan (commons.wikimedia.org/Titian)

Meskipun perang masih berkecamuk di Eropa Utara, korupsi telah mengakar di dalam lembaga kepausan. Negara-negara Italia yang sangat kaya bersaing untuk menguasai kepausan, yang merupakan kunci untuk mendominasi Eropa Katolik secara politik.

Seperti yang ditunjukkan Metropolitan Museum of Art, meskipun kepausan bersifat politis (paus adalah penguasa temporal Negara Kepausan), pada zaman Renaisans, kepausan menjadi politis dan sekuler.

Dua keluarga Renaisans paling terkenal yang memegang kepausan adalah Florentine Medici dan Aragon Borgia. Korupsi kepausan di era Renaisans sering disebut sebagai penyebab utama terjadinya Reformasi Protestan.

Paus Alexander VI Rodrigo de Borja, misalnya, ia memiliki empat anak dari seorang gundik selama masa kepausannya. Salah satu putranya, Cesare, menjadi uskup agung Valencia pada usia 17 tahun, jabatan yang saat ini diperuntukkan bagi para pendeta yang berprestasi dan dihormati. Sementara itu, Paus Leo X dituduh ikut serta dalam kegiatan berdosa seperti pesta topeng, menjual keselamatan, nepotisme, dan pengeluaran yang berlebihan.

Korupsi seperti itu di dalam gereja menarik perhatian para reformator seperti Martin Luther dan Erasmus dari Rotterdam. Mereka secara terbuka menentang dosa-dosa kepausan, Erasmus bahkan menulis dialog berjudul Julius Excluded. Risalah ini menggambarkan Paus Julius II dilarang memasuki surga. Akhirnya, Gereja Katolik benar-benar membersihkan diri, tetapi disinilah terjadinya Reformasi Protestan yang berdarah.

10. Kerusakan gigi adalah tanda kebangsawanan 

10 Fakta Gelap di Balik Kemegahan Era Renaisans ilustrasi gigi (unsplash.com/Rudi Fargo)

Kehidupan Renaisans bisa dibilang penuh kemewahan, tapi hal ini juga masih sulit dirasakan bagi kebanyakan orang. Pertukaran Kolombia dan Pelayaran Penemuan Portugis, memperkenalkan kemewahan baru dari Asia dan Amerika ke Eropa, khususnya untuk kaum bangsawan.

Produk prestise terpenting dalam sejarah Barat adalah gula. Orang Eropa memanfaatkan gula sebagai pemanis dan untuk memproduksi makanan yang dipanggang, yang secara bertahap menjadi makanan pokok sehari-hari di kalangan kelas atas. Namun, ini membawa banyak masalah kesehatan.

Menurut kutipan buku The Story of Food, konsumsi gula di kalangan kelas atas menyebabkan kerusakan gigi yang parah. Salah satu tokoh Renaisans yang mengalami kerusakan gigi adalah Ratu Elizabeth I dari Inggris.

Di zaman Renaisans, kerusakan gigi dianggap sebagai tanda kebangsawanan dan kemakmuran. Dikutip laman Marge de Mello, perempuan Renaisans kelas bawah, terutama di Inggris, akan mewarnai gigi mereka menjadi hitam agar tampak busuk. Meskipun tidak sedap dipandang, hal ini justru dianggap menarik.

Renaisans, seperti kebanyakan periode lainnya, memiliki sisi buruk di balik kemegahannya, seperti tercetusnya Perang Tiga Puluh Tahun. Menanggapi pertumpahan darah perang agama dan tirani monarki, Renaisans menciptakan konsep-konsep seperti konstitusionalisme, hak milik, dan hak alam.

Oleh karena itu, terlepas dari penderitaan luar biasa yang diderita masyarakat selama era Renaisans, sebuah gagasan yang ditanam ini berkembang menjadi sistem yang akhirnya membentuk dunia modern.

Baca Juga: 5 Fakta Sejarah tentang Renaisans yang Jadi Simbol Kemajuan Eropa

Amelia Solekha Photo Verified Writer Amelia Solekha

Write to communicate. https://linktr.ee/ameliasolekha

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Agustin Fatimah

Berita Terkini Lainnya