Bride Kidnapping, Praktik Pernikahan Tanpa Konsensus

Laki-laki juga bisa jadi korban

Bride kidnapping (penculikan mempelai) adalah budaya kaum nomaden yang sering ditemukan di kawasan Asia Tengah, Kaukasus, dan Afrika Subsahara. Dalam bahasa lokal, ia dikenal dengan istilah ala kachuu (di Kirgiztan) atau ukuthwala (di Ethiopia dan Afrika Selatan). 

Fenomena ini menjadi kontroversial karena tak jarang mengabaikan persetujuan perempuan. Bahkan, tak sedikit yang bermuara pada tindak pelecehan seksual.

Inilah yang membuat banyak pihak menentang keras, termasuk PBB yang memasukkannya dalam salah satu isu HAM yang punya urgensi untuk diselesaikan. Mirisnya, meski beberapa negara sudah melarang dan pelakunya bisa dijerat hukum, praktiknya masih marak dilakukan.

1. Dilakukan laki-laki bersama teman laki-lakinya, kebanyakan tanpa persetujuan pihak perempuan

Bride Kidnapping, Praktik Pernikahan Tanpa Konsensuslukisan aktivis Tatyana Zelenskaya asal Kirgiztan terkait isu bride kidnapping (twitter.com/UnderSecStateJ)

Merujuk penelitian Amsler dan Kleinbach dalam Journal of Central Asian Studies yang berjudul "Bride Kidnapping in the Kyrgyz Republic", praktik ini dilakukan seorang laki-laki. Biasanya ditemani beberapa teman atau kerabat laki-laki terhadap perempuan yang ia hendak nikahi.

Diturunkan dari budaya kaum nomaden, dahulu prosesnya dilakukan dengan memboyong perempuan menggunakan kuda. "Sang penculik" pun akan membawa senjata lengkap. Pada era modern, kuda digantikan dengan mobil. 

Kebanyakan dilakukan tanpa persetujuan pihak perempuan. Tak sedikit perempuan yang sama sekali tak mengenal "si penculik". Ketika sudah begitu, aktivitas ini tepat disebut dengan istilah penculikan.

Tak menutup kemungkinan pasangan laki-laki dan perempuan merencanakan "penculikan" secara bersama. Artinya, pihak perempuan terlibat dalam proses dan perencanaannya. Dalam kasus ini, "penculikan" dilakukan sebagai simbol atau formalitas untuk membuka pintu komunikasi dan negosiasi antardua keluarga.

Kasus seperti ini cukup minoritas alias amat jarang terjadi. Survei yang dilakukan Kleinbach, Ablezova, dan Aitieva pada 2004 lewat jurnal yang berjudul "Kidnapping for marriage (ala kachuu) in a Kyrgyz village" terhadap 543 orang menunjukkan bahwa hanya 34 persen responden perempuan yang mengaku memberikan persetujuannya. Bahkan, penelitian mereka menunjukkan bahwa 80 persen pernikahan yang terjadi di desa tersebut dilakukan lewat praktik bride kidnapping dan 57 persen di antaranya nonkonsensual.

2. Bermuara pada negosiasi pernikahan antarkeluarga laki-laki dan perempuan

Bride Kidnapping, Praktik Pernikahan Tanpa Konsensusadegan film Ala Kachuu karya sutradara Maria Brendle (Filmgerberei/Ala Kachuu)

Usai diculik, calon pengantin atau korban akan dibawa ke tempat persembunyian. Tujuannya agar pihak keluarga perempuan datang kepada pihak keluarga laki-laki untuk melakukan negosiasi. Negosiasi ini biasanya membicarakan mahar yang harus dibayarkan pihak pengantin perempuan dan proses resepsi pernikahan. 

Menurut tulisan Nkosi dan Buthelezi yang berjudul "The Nature and Causes of Bride Abduction Cases in KwaZulu-Natal, South Africa", suku Zulu di Afrika membedakan antara tradisi penculikan calon pengantin mereka (ukuthwala) dengan fenomena bride kidnapping yang selama ini dipotret media. Menurutnya, ukuthwala dilakukan murni untuk membuka negosiasi antardua keluarga dan persetujuan perempuan harus didapatkan terlebih dahulu sebelum praktik dilakukan. 

Ukuthwala juga melarang keras adanya tindak kekerasan, pelecehan, dan segala tindakan yang mendegradasi status perempuan sebagai manusia. Dalam tradisi tersebut pula, mahar dibayarkan oleh pihak laki-laki, bukan sebaliknya.

Ukuthwala seyogyanya dilakukan untuk melancarkan proses pernikahan konsensual yang terhambat beberapa hal, misalnya restu orangtua dan kondisi finansial. Bride kidnapping juga bisa dilakukan ketika pasangan muda-mudi menolak perjodohan paksa dan akhirnya mengambil jalan tersebut untuk menunjukkan pasangan yang mereka kehendaki. 

Alih-alih bicara persetujuan, tidak ada yang bisa menjamin keselamatan sang "korban" selama ia diculik dan keluarganya melakukan negosiasi. Nkosi dan Buthelezi pun menemukan banyak kasus di mana pihak "penculik" bisa melakukan kekerasan bila "korban" melawan. Penyimpangan ini yang kemudian membuat tradisi bride kidnapping jadi masalah serius, terutama untuk perempuan.

3. Anak-anak dan remaja di bawah umur rentan jadi korban

Bride Kidnapping, Praktik Pernikahan Tanpa KonsensusAnak-anak di Kirgiztan mendapat edukasi tentang isu perempuan dari UN Trust Fund. (unwomen.org)

Selain masalah persetujuan, penyimpangan lain yang ditemukan dalam praktik bride kidnapping adalah usia pengantin perempuan. Menurut survei yang dilakukan Amsler dan Kleinbach pada 1999, usia rata-rata penculik umumnya lebih tua dibanding perempuan. Rentang usia pelaku bride kidnapping adalah 17—45 tahun, sementara korban berusia antara 16—28 tahun. 

Kleinbach, Ablezova, dan Aitieva menemukan bahwa makin muda usia responden, makin tinggi pula persentase yang tidak memberikan persetujuan. Tercatat 75 persen responden berusia 16—25 tahun tidak memberikan persetujuan mereka. 

Penelitian mereka di Kirgiztan juga menyebut bahwa setelah menikah, banyak dari perempuan yang kehilangan kesempatannya melanjutkan pendidikan. PBB dalam liputannya di Kirgiztan juga menyebut bahwa tidak sedikit pengantin perempuan hasil dari bride kidnapping mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan akhirnya melarikan diri dari rumah suami mereka.

Baca Juga: 5 Wisata Alam Paling Favorit di Kirgiztan, Penuh Pesona Memukau 

4. Salah satu cara menghindar adalah meninggalkan negara mereka 

Bride Kidnapping, Praktik Pernikahan Tanpa Konsensus(Penyintas bride kidnapping melakukan protes dengan menggelar fashion show) (twitter.com/UNDPEurasia)

Meski sudah berkurang, praktik bride kidnapping tetap ada, terutama lestari di kawasan pedesaan. BBC dalam liputannya pada 2020 menemukan praktik serupa di Bali, Indonesia. PBB menyebut salah satu penyebabnya adalah kondisi finansial keluarga pihak perempuan yang tidak menguntungkan.

Ini mendorong orangtua menikahkan anak perempuan mereka dengan keluarga yang dianggap lebih makmur. Sebenarnya kasusnya tidak jauh berbeda dengan di Indonesia, di mana pernikahan anak marak dilakukan oleh orangtua yang hidup di bawah garis kemiskinan dan punya tanggungan berlebih.

Penelitian Hofmann dan Chi yang berjudul "Bride Kidnapping and Gendered Labor Migration: Evidence from Kyrgyzstan" berhasil menemukan kaitan antara bride kidnapping dengan tren migrasi yang dilakukan perempuan lajang.

Kirgiztan adalah salah satu negara yang ekonominya bertumpu pada remitansi dari pekerja migran mereka di luar negeri. Penelitian tersebut membuktikan bahwa salah satu alasan banyaknya perempuan yang memilih menjadi pekerja migran adalah untuk menghindari pernikahan paksa tersebut.

5. Muncul pula groom kidnapping, marak di India 

Bride Kidnapping, Praktik Pernikahan Tanpa Konsensusadegan film Antardwand bahas isu groom kidnapping di India (Nawabs Cottage Productions/Antardwand))

Mirisnya, praktik ini bisa ditemukan pula di India dengan menukar peran gendernya. Melansir liputan Sanjay Pandey dari Al Jazeera, praktik ini dilakukan oleh sekelompok laki-laki yang hendak mencari calon suami untuk salah satu kerabat perempuan mereka. Sasarannya adalah laki-laki kelas menengah atau yang dianggap memiliki pekerjaan menjanjikan.

Fenomena ini bisa menyasar siapa saja dan di mana saja. Setelah diculik, laki-laki akan langsung dipaksa melakoni upacara pernikahan dengan seorang perempuan yang sudah menanti di sebuah rumah. Setelah menikah, keluarga perempuan memastikan bahwa sang pengantin laki-laki yang mereka culik tidak bisa kabur.

Pakadwa shaadi atau pernikahan paksa macam ini banyak ditemukan di region Bihar. Tak hanya miskin, rasio antara laki-laki dan perempuannya timpang. Praktik ini mulai berkurang seiring dengan penegakan hukum serta makin luasnya akses pekerjaan untuk penduduk asal Bihar.

6. Bride kidnapping adalah salah satu produk budaya patriarki yang merugikan

https://www.youtube.com/embed/8KiDrdWnboQ

Bride kidnapping, terlepas dari tujuan awalnya yang kemudian disalahgunakan, adalah salah satu produk budaya patriarki yang mengonfirmasi peran dominan laki-laki dalam masyarakat dan rumah tangga. Dengan tidak menanyakan persetujuan perempuan dan mencabut hak mereka untuk terlibat dalam proses negosiasi, perempuan pun dianggap tak lebih dari sekadar objek.

Kasus groom kidnapping pun adalah dampak dari sistem patriarki yang mengharuskan laki-laki menjadi pencari nafkah utama dalam keluarga. Alhasil, laki-laki pun bisa jadi korban.

Sudah banyak pihak yang menentang budaya ini. Sayangnya, sering kali pemerintah lokal menutup mata akan masalah tersebut. Beberapa pihak pun akhirnya menyuarakan kritik mereka lewat berbagai media. Sebut saja sutradara Adilkhan Yerzhanov dari Kazakhstan lewat film Ulbolsyn (2020). Ada pula film pendek Ala Kachuu - Take and Run (2020) karya Maria Brendle yang dapat nominasi Academy Awards pada awal 2022 lalu.

Film Difret (2015) juga diangkat dari kisah nyata gadis asal Ethiopia bernama Aberash Bekele yang diadili setelah membunuh laki-laki tak dikenal yang menculiknya sebagai calon pengantin. Tak ketinggalan, Antardwand (2010) yang meneropong praktik penculikan calon pengantin laki-laki di region Bihar, India. 

Praktik perjodohan dan pernikahan nonkonsensual seperti ini tak bisa dianggap sepele. Sudah saatnya menggarisbawahi pentingnya edukasi tentang consent atau persetujuan.

Baca Juga: Unik, Ini 5 Fakta Upacara Adat Siraman Pusaka dan Labuhan

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Gagah N. Putra

Berita Terkini Lainnya