Sworn Virgins: Cross-Dressing karena Tuntutan Sosial Ekonomi

Banyak ditemukan di Albania

Fenomena cross dressing bukanlah hal yang baru. Melansir beberapa sumber, fenomena ini sudah bisa ditemukan di abad ke-19. Alasan seseorang melakukannya bisa bermacam-macam. Menurut esai Peter Boag yang berjudul The Trouble with Cross-Dressers: Researching and Writing the History of Sexual and Gender Transgressiveness in the Nineteenth-Century American West, laki-laki mungkin melakukannya untuk kabur dari hukuman atas aksi kriminal yang dilakukannya, perempuan ingin bisa dapat pekerjaan yang lebih baik atau sesederhana agar bisa bepergian dengan lebih aman. Namun, ada pula yang melakukannya karena faktor psikologi yaitu mengidentifikasi diri dengan gender lain. 

Fenomena macam ini ternyata bisa pula ditemukan di kawasan Balkan, tepatnya di sejumlah pedesaan di kaki gunung Alpen Dinari yang berada di teritori Albania, Serbia, dan Montenegro. Ada beberapa istilah lokal untuk menyebut para cross dresser ini seperti tobelija, burrnesha, mashkullore, dan lain sebagainya. Dalam bahasa Inggris mereka disebut sworn virgins. 

1. Fenomena umum di Pegunungan Alpen Dinari yang masuk dalam beberapa teritori negara Balkan

Sworn Virgins: Cross-Dressing karena Tuntutan Sosial Ekonomiseorang sworn virgin yang dipotret fotografer Jill Peters (instagram.com/albanosphere)

Merujuk jurnal berjudul Sworn Virgins of the Balkan Highlands yang ditulis oleh Brujic dan Krstic, sworn virgins adalah para perempuan dari masyarakat patriarkal di pedesaan kaki gunung Alpen Dinari (Serbia bagian Selatan, Montenegro bagian Utara, dan Albania bagian Utara) yang mengubah identitas gendernya menjadi laki-laki dan bersumpah tidak akan menikah atau memiliki hubungan romantis sampai akhir hayatnya. 

Namun, fenomena ini ternyata ditemukan pula di sejumlah negara Balkan lain seperti Bosnia-Herzegovina dan Macedonia. Fenomena ini pun tidak memandang agama, penganutnya berasal dari masyarakat Muslim, Katolik Roma, dan Kristen Ortodoks.

Upacara pengesahan disaksikan oleh penduduk desa diikuti dengan ritual pemotongan rambut. Sejak itu, sang sworn virgin akan mengenakan pakaian laki-laki dan bisa bergabung untuk beraktivitas bersama dan seperti penduduk desa laki-laki. 

2. Alasannya lebih ke faktor sosial dan ekonomi, ketimbang psikologi 

Sworn Virgins: Cross-Dressing karena Tuntutan Sosial Ekonomipotret lawas dua orang sworn virgins di Albania (instagram.com/nostalgicalbania)

Masih mengutip Brujic dan Krstic, ada beberapa motif yang mendasari keputusan seseorang memilih menjadi sworn virgins. Alasan pertama adalah ketiadaan laki-laki penerus di keluarga. Ini adalah alasan terkuat karena di masyarakat patriarkal Balkan, peran mencari nafkah di luar rumah harus dilakukan laki-laki. Sementara, perempuan difokuskan untuk menggarap tugas-tugas domestik. Ketika tak ada penerus laki-laki atau anggota keluarga laki-laki yang cukup umur untuk bekerja, maka salah satu perempuan dewasa di keluarga tersebut biasanya akan menjadi sworn virgins dan menjadi tulang punggung keluarganya.

Alasan kedua adalah sang perempuan menolak untuk dinikahkan lewat metode perjodohan. Dalam budaya patriarkal Balkan, perempuan yang menolak lamaran keluarga pihak laki-laki tidak diizinkan menikah dengan orang lain karena akan dianggap menodai kehormatan keluarga pelamar. Selain menjadikan sang penolak lamaran menjadi sworn virgins, sebenarnya ada cara lainnya. Namun, cara ini lebih brutal karena keluarga pelamar yang ditolak diizinkan membunuh salah satu kerabat laki-laki sang penolak lamaran. 

Alasan ketiga adalah perselisihan antar keluarga atau klan. Jadi, ketika seorang pria terbunuh atau dibunuh, budaya mereka mengizinkan keluarga korban untuk membalas kematian kerabatnya dengan membunuh salah satu anggota keluarga laki-laki pelaku pembunuhan. Untuk menghindari pertumpahan darah tersebut, kerabat laki-laki pelaku pun tidak diizinkan keluar rumah sehingga tugas mencari nafkah akan diserahkan pada kerabat perempuan, tetapi harus melalui proses upacara sworn virgin. 

Alasan terakhir adalah perceraian. Sama seperti alasan kedua, perempuan yang berpisah dari suaminya tidak diizinkan untuk menikah lagi guna menghormati keluarga pihak laki-laki. Untuk itu, sang janda akan menasbihkan diri sebagai sworn virgin. Dari sini bisa dilihat bahwa kebanyakan motifnya adalah tuntutan sosial dan ekonomi, ketimbang psikologis. 

3. Sworn virgins mendapat stereotip negatif dari berbagai pihak 

Sworn Virgins: Cross-Dressing karena Tuntutan Sosial Ekonomipotret seorang sworn virgin di Albania oleh fotografer Jill Peters (instagram.com/albanosphere)

Melansir majalah Krytyka, sworn virgins sering dapat pandangan negatif. Bahkan dari publik Albania sendiri yang sering menyindir mereka lewat sketsa-sketsa komedi. Masyarakat Barat dan kelompok feminis pun menganggap para sworn virgins sebagai pihak yang teropresi karena mereka menilai praktik budaya macam ini justru memperkuat sistem patriarki yang sudah ada. Bahwa untuk mendapat kebebasan dan privilese, seseorang harus melakukan praktik cross-dressing terlebih dulu. 

Nuansa patriarki pun makin kental dengan penggunaan istilah virgin yang seakan memperkuat kepercayaan bahwa keperawanan adalah salah satu hal penting dalam menilai kehormatan seorang perempuan. Meski begitu, Krytyka juga menyoroti bagaimana jurnalis dan peneliti Barat bahkan tidak memberikan ruang bagi para burrnesha yang diliput atau diteliti untuk bersuara.

Mereka sebenarnya cukup nyaman dengan keputusan ini dan merasa puas karena bisa merasakan berbagai privilese yang tidak akan bisa mereka dapat bila tidak memilih jalan hidup tersebut. Mereka juga tidak memiliki kewajiban untuk menjelaskan motif atau alasan atas keputusan yang mereka ambil pada siapapun, apalagi pada orang yang tak mereka kenal. 

Tarifa dalam jurnalnya yang berjudul Balkan Societies of "Social Men": Transcending Gender Boundaries berargumen bahwa fenomena sworn virgins di Albania menjadi bukti bahwa fenomena adalah bukti betapa cairnya konstruksi gender dalam identitas personal seseorang. Ia juga menambahkan bahwa kebebasan untuk memilih gender bukan hanya produk toleransi dan keterbukaan yang dipromosikan masyarakat Barat. Ia bisa datang dari tradisi. 

Baca Juga: Totalitas, 10 Aktris Ini Mengambil Proyek Drama Bertema Cross-Dressing

4. Pernah diangkat dalam sebuah film berjudul Sworn Virgin di tahun 2015 

https://www.youtube.com/embed/G9z08dmiSiA

Kecenderungan orang memiliki stereotip negatif atas sworn virgins  juga dipotret dalam film Italia yang dirilis tahun 2015 lalu. Judul filmnya Vergine Giurata atau dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai Sworn Virgin. Sang lakon, Hana atau Mark adalah seorang cross dresser asal pedesaan Albania yang diperankan aktris Italia, Alba Rohrwacher.

Ia dikisahkan memilih untuk pindah ke Malta guna mencari pekerjaan dan untuk sementara waktu menumpang di rumah salah satu kerabatnya. Barulah di sana perjalanan menemukan jati dirinya yang sebenarnya dimulai. Menariknya selama film berlangsung, penonton akan diajak melihat masa lalu Mark lewat flashback. Di sana tampak jelas bahwa tak hanya kerabatnya di Malta saja yang enggan menerimanya, ia bahkan diperlakukan kurang baik oleh penduduk desa tempatnya berasal. 

5. Jumlahnya berkurang drastis seiring perkembangan zaman

Sworn Virgins: Cross-Dressing karena Tuntutan Sosial Ekonomipotret seorang sworn virgin (nytimes.com)

Andrew Higgins dari New York Times meliput tentang memudarnya fenomena ini seiring perkembangan zaman. Perempuan Albania di era modern memiliki kesempatan yang lebih luas dan opsi yang lebih beragam. Mereka yang tidak setuju dengan budaya yang dipegang teguh di desa tempat mereka berasal bisa pergi ke kota dan melakoni hidup baru. 

Mereka yang menolak menikah muda atau dijodohkan, tak lagi memilih menjadi sworn virgins. Opsi untuk pergi kuliah atau bekerja di kota dan hidup sebagai perempuan biasa terbuka lebar di masa kini. 

Sworn virgins bisa saja memudar, tetapi banyak hal yang bisa kita ambil dan pelajari darinya. Termasuk sudut pandang lain dari cross dressing serta sistem masyarakat patriarkal di Balkan yang selama ini jarang terekspos. 

Baca Juga: Totalitas, 10 Aktris Ini Mengambil Proyek Drama Bertema Cross-Dressing

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya