Akhir Perjalanan Soekarno, dari Supersemar Hingga Tahanan Politik

Bung Karno dan ceritanya yang tak berakhir bahagia

Tanggal 21 Juni 1970, pukul 07.07 WIB, Soekarno wafat setelah melalui hari-hari terakhirnya sebagai tahanan politik. Ia bagai orang buangan yang diasingkan di rumah tahanan oleh Soeharto yang dengan jeli memanfaatkan Supersemar untuk mengambil alih kekuasaan. Rapi, pelan, namun pasti. Step by step.

Mulai dari Supersemar hingga status sebagai tahanan politik adalah penggalan hari-hari terakhir sang Proklamator yang sangat berat dan tak berakhir bahagia. Penggalan kisah ini mungkin bisa jadi gambaran bagaimana kejamnya Orde Baru membunuh Soekarno secara perlahan.

1. Awal mula: Supersemar, surat penuh kontroversi yang proses dan keberadaannya hingga kini masih jadi misteri

Akhir Perjalanan Soekarno, dari Supersemar Hingga Tahanan Politikcdn.idntimes.com

Supersemar atau Surat Perintah 11 Maret adalah salah satu cara Soeharto untuk mendapatkan kekuasaanya. Banyak versi cerita mengenai bagaimana cara mendapatkan surat yang sangat 'berjasa' bagi Soeharto untuk naik ke kursi kekuasaan ini. Sama halnya seperti versi ceritanya. Supersemar saat ini memiliki tiga versi berbeda dan sulit untuk dipastikan mana Supersemar yang asli.

Lahirnya surat ini bermula ketika Brigjen M. Jusuf, Brigjen Amirmachmud, dan Mayjen Basuki Rachmat mendatangi Presiden Soekarno di Istana Bogor. Ketiga jenderal tersebut diutus Soeharto untuk membujuk Soekarno agar mau memberikan surat kewenangan bagi dirinya agar dapat mengamankan keadaan.

Dialog ketiga jenderal dan Soekarno tersebut berakhir dengan persetujuan sang Presiden tentang konsep pemberian kewenangan kepada Soeharto. Orang yang mengetik naskah Supersemar adalah Brigjen Moh. Sabur, dan Soekarno sebagai orang yang mendikte surat tersebut sembari diketik. Setelah selesai diketik, surat tersebut diserahkan kepada Soekarno untuk ditanda tangani.

Surat perintah itu sebenarnya berisi wewenang kepada Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkopkamtib (Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) untuk mengambil tindakan, jika diperlukan. Namun, Soeharto melihat Supersemar dengan sudut pandang yang berbeda. Baginya, surat tersebut adalah surat sakti yang bisa ia manfaatkan untuk menggerus pengaruh dan kekuasaan Soekarno. Supersemar yang awalnya hanya sebuah surat perintah telah berubah menjadi Tap MPRS tak lama setelah dipegang Soeharto.

Surat itu tentu menjadi bumerang bagi Soekarno. Soeharto mengambil alih kekuasaan yang diperkuat dengan keputusan MPRS, dan menyebabkan Soekarno kalah lebih awal.

2. Dia yang naik di kursi kekuasaan dan dia yang jatuh dari singgasananya.

Akhir Perjalanan Soekarno, dari Supersemar Hingga Tahanan Politikhistori.id

Partai Komunis Indonesia atau PKI berhasil dibubarkan oleh Soeharto berdasarkan Supersemar. Bahkan saat demonstrasi kemenangan (ketika PKI dibubarkan) salinan Supersemar dan surat pembubaran PKI disebarluaskan.

Jelas, Soekarno terkejut bukan main. Ia kemudian menyampaikan surat perintah susulan kepada Soeharto melalui Waperdam II, Dr. J. Leimena pada tanggal 13 Maret 1966 dan ia juga memanggil semua panglima angkatan bersenjata ke Istana, lalu menegaskan semuanya yang dimaksudkan dalam Supersemar. Soeharto tidak memberikan reaksi apa-apa. Ia justru menetralisasi satu per satu panglima-panglima tadi agar berdiri di belakangnya.

Soeharto kemudian mengeluarkan Surat Keputusan Presiden yang isinya tentang penahanan 15 menteri loyalis Soekarno yang dianggap terlibat dengan PKI dan Gerakan 30 September 1965.

Langkah ketiga, yang juga berhasil memangkas habis kekuasaan Soekarno adalah ketika Soeharto mengadakan Sidang MPRS untuk mengeluarkan ketetapan yang mengukuhkan Supersemar. MPRS akhirnya mengadakan sidang umum tanggal 20 Juni-16 Juli 1966, dan menolak pidato pertanggung jawaban Soekarno yang berjudul "Nawaksara". Pada saat yang sama juga, MPRS menetapkan TAP MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Supersemar.

TAP MPRS itu tidak menyebut kewajiban untuk melindungi Soekarno, keluarga, ideologi, dan ajarannya. Padahal dalam Supersemar yang asli disebutkan pengemban amanah (Soeharto) wajib melakukan itu. Ini adalah bukti kelicikan Soeharto agar tidak 'berhadapan langsung' dengan Soekarno. Step by step menjadi kunci kemenangan politik Soeharto terhadap Soekarno.

Setelah berhasil menggiring Soekarno untuk turun dari singgasananya, Soeharto kemudian dilantik menjadi Presiden kedua RI pada tanggal 12 Maret 1967.

Baca Juga: 10 Fakta Mencengangkan tentang Supersemar, Kenapa Masih Diperdebatkan?

3. Dari Presiden jadi tahanan politik di Wisma Yaso

Akhir Perjalanan Soekarno, dari Supersemar Hingga Tahanan Politikwww.hetanews.com

Setelah berhasil naik ke kursi kekuasaan, Soeharto menghimbau Seokarno untuk angkat kaki dari Istana Negara sebelum tanggal 17 Agustus 1967. Maulwi Saelan dalam Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66 (hlm. 267) menuliskan kesaksian ajudan Soekarno yang mengatakan, "Bung Karno meninggalkan Istana Negara sebelum tanggal 16 Agustus 1967, keluar hanya memakai celana puaman warna krem dan kaos oblong cap Cabe. Baju piyamanya disampirkan di pundak, memakai sandal cap Bata yang sudah usang. Tangan kanannya memegang kertas koran yang digulung agak besar, isinya Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih”.

Setelah angkat kaki, untuk sementara waktu Soekarno ditempatkan di salah satu paviliun yang berada di Istana Bogor. Namun, ia merasa tidak nyaman karena masih berada di wilayah Istana Negara. Permintaan pindahnya itu dikabulkan oleh Soeharto. Ia ditempatkan di rumah peristirahatan yang berada di Batutulis, Bogor.

Rupanya, disana pun Soekarno tidak betah karena hampir setiap harinya diinterograsi. Keinginan kedua untuk pindah dari sana pun kembali di penuhi oleh Soeharto yang saat itu juga dianjurkan oleh Mohammad Hatta agar Soekarno dipindahkan lagi ke Jakarta, tepatnya di Wisma Yaso.

Wisma tersebut adalah rumah yang dibangun Soekarno untuk salah satu istrinya, Ratna Sari Dewi. Namun, saat menjadi tahanan rumah itu, Soekarno dilarang keras untuk berhubungan dengan dunia luar dan dijaga ketat. Bahkan, keluarga dan kerabatnya sangat sulit untuk bertemu dengan sang penyambung lidah rakyat.

4. Babak penutup Sang Proklamator: Akhir perjalanan yang menyedihkan. Sendiri, diasingkan, dan mati perlahan.

Akhir Perjalanan Soekarno, dari Supersemar Hingga Tahanan Politikboombastis.com

Selama menjadi tahanan politik, Soekarno menegaskan bahwa dirinya bisa dikucilkan, dijauhkan dari keluarga, ditahan, dan lama-lama akan mati sendiri. Namun, dirinya percaya jika jiwa, ide, ideologi, dan semangat dalam dirinya tidak akan pernah dapat dibunuh.

Soekarno dilarang untuk membaca koran, mendengarkan radio, dan menonton televisi. Akibat dari pengasingan itu, Soekarno merasa sangat depresi hingga mulai pikun. Ia juga kerap bicara sendiri dan meracau tak jelas. Itulah yang akhirnya membuat ketegaran dan semangat Sang Proklamator makin hari kian meluruh.

Diasingkan dari dunia luar, keluarga, dan kerabat pun tak membuat hukuman itu terasa cukup bagi si penyambung lidah rakyat ini. Seminggu sekali datang seorang perwira yang ditugaskan untuk menginterograsi Soekarno sepanjang hari. Tak hanya itu, penjagaan pun semakin diperketat, yang membuat ruang gerak Soekarno semakin terbatas. Situasi seperti ini juga membuat kesehatannya pun kian menurun.

Pada malam hari tanggal 16 Juni 1970, Soekarno sempat tak sadarkan diri dan nyaris sekarat. Ia lalu segera dilarikan ke RSPAD Gatot Soebroto. Di rumah sakit itulah, lagi-lagi Soekarno ditempatkan di sebuah kamar dengan penjagaan berlapis. Hanya beberapa hari Soekarno sanggup bertahan. Tepat pada pagi hari tanggal 21 Juni 1970, si penyambung lidah rakyat itu menghembuskan napas terakhirnya dengan status sebagai tahanan politik Orde Baru.

Orde Baru berhasil membunuh sang Bapak Bangsa secara perlahan. Hari-hari perjalanannya makin hari terasa berat dan menyedihkan. Cerita hidupnya tidak berakhir bahagia. Ia bahkan tidak sempat memberi nama dan meresmikan Patung Dirgantara atau yang lebih dikenal sebagai Patung Pancoran hasil ide rancangannya yang diserahkan kepada pematung Edhie Sunarso. Pukul 10.00 pagi tepat pada tanggal 21 Juni 1970, iring-iringan mobil jenazah Soekarno dari Wisma Yaso menuju Halim Perdanakusuma melintas di bawah monumen tersebut.

Sejarah memang kejam. Rasa kejam itu bahkan masih tetap terasa sama ketika hanya mendengarkan ceritanya saja. Asvi dalam Supersemar – Cara Soeharto Mendapatkan Kekuasaan (hlm. 34-35) menduga kuat, Supersemar yang asli masih ada dan kemungkinan besar di tangan Soeharto. Alasannya secara logika sesuatu yang dianggap penting pasti akan disimpan dan Soeharto adalah orang yang sangat menghargai sesuatu yang penting. Salah satu contoh yang tidak diketahui banyak orang bahwa Soehato pernah menyimpan bendera pusaka merah putih di rumahnya.

"Mungkin juga Supersemar sama dengan bendera pusaka itu," pungkas Asvi seperti dituliskan Tim Historia dalam Supersemar – Cara Soeharto Mendapatkan Kekuasaan (2019: 35).

Baca Juga: 6 Peristiwa Mencekam yang Ancam Nyawa Soekarno Selama Jadi Presiden RI

Ines Melia Photo Verified Writer Ines Melia

Dengan menulis saya 'bersuara'. Dengan menulis saya merasa bebas.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya