Sejarah Kerajaan Kanjuruhan, Cikal Bakal Kawasan Malang

Namanya kini digunakan sebagai nama stadion di Malang

Dahulu, di kawasan yang kini dikenal sebagai Malang Raya, terdapat sebuah kerajaan bernama Kanjuruhan. Bercorak Hindu-Siwa, Kerajaan Kanjuruhan diperkirakan sudah berdiri sejak abad ke-6 Masehi. Catatan tahun ini, membuat Kerajaan Kanjuruhan sama tuanya dengan Kerajaan Taruma di Bekasi. 

Menurut catatan sejarah Kerajaan Kanjuruhan, kerajaan ini merupakan salah satu kerajaan tertua di Jawa Timur. Dianggap sebagai ikon Malang, kerajaan ini juga menjadi nama stadion milik Pemerintah Kabupaten Malang, Stadion Kanjuruhan. Bagaimana lengkapnya?

Sejarah Kerajaan Kanjuruhan

Di Jawa Timur, Kerajaan Kanjuruhan berdiri tepat di antara Sungai Brantas dan Sungai Metro. Letaknya meliputi dataran yang sekarang bernama Dinoyo, Merjosari, Tlogomas, dan Ketawanggede Kecamatan Lowokwaru. Lokasi ini berpindah dari sebelumnya berada di barat Gunung Kelud menjadi ke timur Gunung Kawi. 

Jika dilihat, wilayah ini jauh dari jalur perdagangan laut seperti kerajaan-kerajaan lain. Namun, Kerajaan Kanjuruhan terbukti mampu bertahan dengan menjadi kerajaan agraris.  Kerajaan ini bermula dari daerah yang mengandalkan pertanian, lalu muncul sentra aktivitas penduduk yang berkembang menjadi pusat pemerintahan.

Corak kerajaan Hindu melekat pada Kerajaan Kanjuruhan. Hal ini didukung dengan kuatnya persebaran agama Hindu dan Budha di kepulauan Indonesia anggota barat dan tengah pada abad ke-6 hingga 7 Masehi. Selain itu, terdapat peninggalan Kerajaan Kanjuruhan yang menunjukkan aktivitas di dalam kerajaan serta gelenyar persebaran agama Hindu di Jawa Timur.

Catatan tersebut berasal dari prasasti Dinoyo yang ditulis pada tahun Saka 682 (760 M). Pada prasasti tersebut, dituliskan seorang raja yang bernama Dewa Singha. Raja tersebut memerintah keratonnya dengan amat luhur yang disucikan oleh api Sang Siwa. 

Raja-raja Kanjuruhan

Sejarah Kerajaan Kanjuruhan, Cikal Bakal Kawasan Malangilustrasi raja (pexels.com/Mike)

Raja Dewa Singha memiliki putra bernama Liswa. Ketika memimpin menggantikan ayahnya, Liswa diberi gelar Gajayana. Tertulis pada prasasti tersebut bahwa Kerajaan Kanjuruhan mengalami perkembangan pesat dan pemerintahan baik, sosial, ekonomi maupun seni, serta tradisi di masa Raja Gajayana. 

Pada masa pemerintahannya, Raja Gajayana menciptakan tempat suci sebagai lokasi pemujaan untuk memuliakan Resi Agastya. Sang raja juga menitahkan pembuatan arca sang Resi Agastya dari batu hitam yang sangat bagus. Pembuatan ini sebagai pengganti arca Resi Agastya yang terbuat dari kayu oleh nenek Raja Gajayana.

Raja Gajayana hanya memiliki seorang putri yang bernama Uttejana. Ketika dewasa, Uttejana dijodohkan dengan seorang pangeran dari Paradeh bernama Pangeran Jananiya. Keduanya melanjutkan tampuk kepemimpinan begitu Raja Gajayana mangkat. 

Seperti leluhurnya, Uttejana dan Pangeran Jananiya memerintah Kerajaan Kanjuruhan dengan penuh keadilan. Rakyat Kanjuruhan sangat mencintai rajanya. Dari catatan yang ada, Kerajaan Kanjuruhan dipimpin oleh garis keturunan Raja Dewa Singha. Seluruh raja itu terkenal akan pemimpin yang baik, keadilan, serta kemurahan hati.

Setelah berganti menjadi Kanuruhan, pejabat yang menduduki tampuk kepemimpinan tidak hanya memegang pemerintahan Kanuruhan. Mereka juga mendapat posisi di dalam Kerajaan Mataram Kuno. 

Baca Juga: Sejarah Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro Karya Raden Saleh

Runtuhnya Kerajaan Kanjuruhan

Melihat dari catatan peninggalannya, para ahli memperkirakan Kerajaan Kanjuruhan tidak bertahan lama. Beberapa mengatakan kerajaan ini runtuh, karena banyaknya kerajaan lain yang dipimpin keturunan Mataram Kuno, yakni Balitung, Daksa, Tulodong, dan Wawa.

Balitung yang memimpin tahun 898-910 Saka memusatkan pemerintahannya di Kediri alih-alih Malang. Pendapat lain mengatakan Kanjuruhan berhasil ditaklukkan oleh Kerajaan Mataram Kuno. Meski Kerajaan Kanjuruhan tidak sepenuhnya hilang, tetapi statusnya bukan lagi kerajaan merdeka dan dikenal sebagai Kanuruhan dengan gelar pemimpinnya Rakai Kanuruhan.

Perubahan status Kerajaan Kanjuruhan pertama kali disebutkan dalam Prasasti Wurandungan B. Prasasti yang diketahui ditulis tahun 865 Saka tersebut memuat kata 'Watek Kanuruhan'.

Pada masa Jawa Kuno, 'watek' atau watak merupakan sebutan dari sebuah wilayah. Di dalamnya terdiri dari beberapa wanua (desa) dan dipimpin oleh seorang rakai atau rakarayān (rakryan). Wilayahnya meliputi daerah yang kini dinamakan Landungsari (barat), Palowijen (utara), Pakis (timur), Turen (selatan). 

Peninggalan Kerajaan Kanjuruhan

Sejarah Kerajaan Kanjuruhan, Cikal Bakal Kawasan Malangilustrasi Candi Badut peninggalan Kerajaan Kanjuruhan (commons.wikimedia.org)

Meski tidak bertahan lama (dibanding kerajaan lain), Kerajaan Kanjuruhan juga memiliki peninggalan yang terkenal. Di antaranya, Prasasti Dinoyo yang menjadi bukti adanya kerajaan dan bagaimana sistem pemerintahan di dalamnya. 

Selain itu, ada Candi Karangbesuki dan Candi Badut. Saat ini, Candi Karangbesuki sudah sangat hancur dan tersisa runtuhan batu. Sebagian besar struktur batu candi ini pun sudah hilang, sehingga tidak bisa direnovasi lebih baik.

Sementara Candi Badut cenderung lebih bisa diidentifikasi dengan bentuk relief, arca, dan strukturnya lebih jelas. Candi Badut dikaitkan erat dengan Kerajaan Kanjuruhan, sebab motifnya yang bercorak Hindu-Siwa dan ditemukan tidak jauh dari lokasi ditemukannya Prasasti Dinoyo. 

Prasasti Dinoyo sendiri ditulis dengan menggunakan Huruf Kawi atau yang juga disebut dengan Huruf Jawa Kuno untuk pertama kalinya. Meski demikian, prasasti ini masih tetap menggunakan Bahasa Sanskerta. 

Di luar daripada itu, nama kerajaan ini pun dikenang serta digunakan untuk nama stadion di Malang. Tepatnya, Stadion Kanjuruhan.

Sejarah Kerajaan Kanjuruhan memang tidak terlalu panjang. Namun, kejayaannya terus terkenang hingga dijadikan sebagai hari ulang tahun Kabupaten Malang. 

Baca Juga: Sejarah Stadion Kanjuruhan, Saksi Bisu Tragedi Sepak Bola Berdarah

Topik:

  • Laili Zain
  • Lea Lyliana
  • Bayu Aditya Suryanto

Berita Terkini Lainnya