Mengenal Kapur Barus, Warisan Alam yang Sering Dilupakan

Pohon kapur kaya akan nilai kegunaan dan nilai sejarah

Indonesia yang kaya akan flora dan fauna tentunya patut dibanggakan. Ribuan pulau Nusantara dengan keanekaragaman hayati ini rasanya menjadi surga bagi penyayang makhluk hidup. Sayangnya, flora dan fauna di Indonesia tidak luput dari ancaman kepunahan. Belum punah pun, ada tumbuhan yang hampir dilupakan, yakni pohon kapur (Dryobalanops aromatica).

Untuk meningkatkan kesadaran terkait salah satu kekayaan tanah air tersebut, diadakanlah sebuah webinar bertajuk 'Kapur Barus, Warisan yang Dilupakan' yang dihadiri sejarawan Universitas Negeri Medan Dr. Ichwan Azhari Phil, Bupati Tapanuli Tengah Bakthiar Ahmad Sibarani, Peneliti Balai Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan Ahmad Dani Sunandar, dan Ketua Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) di Universitas Sumatera Utara Dr. Irfan Simatupang, MSi. Mari kita simak fakta-fakta dari webinar yang diadakan pada Rabu (13/10/2021).

1. Apa itu pohon kapur?

Mengenal Kapur Barus, Warisan Alam yang Sering Dilupakanilustrasi pohon Dryobalanops aromatica (commons.wikimedia.org/Patrice78500)

Tulisan oleh Ahmad Dani Sunandar yang berjudul 'Kapur Barus (Dryobalanops aromatica), Warisan Alam Yang Mulai Punah' menjelaskan bahwa pohon kapur merupakan pohon yang ada di Sumatra, Malaysia, dan Kalimantan. Pohon dengan jenis kayu yang baik untuk perdagangan dapat menghasilkan produk berupa kristal atau sering disebut kamper. Produk khas ini menjadi komoditas perdagangan yang berharga dan perlu dibedakan dengan kamper China dari pohon Cinnamomum champora.

Tinggi pohon Dryobalanops aromatica berada di sekitar 35-45 meter dan bahkan bisa mencapai 60 meter. Kulit kayu berwarna cokelat muda, batangnya lurus dan silindris, bunganya berwarna putih.

Pohon kapur mengandung borneol dalam bentuk kristal dan minyak (kamper dan minyak kapur). Borneol memiliki beragam manfaat, misalnya mencairkan darah beku. Selain itu, borneol juga dimanfaatkan untuk pengawetan mayat. Minyak kapur biasanya digunakan untuk obat tradisional. Saat ini, nilai keduanya jauh lebih rendah dibandingkan kayunya padahal dulunya tidak demikian.

2. Menilik sejarah pohon kapur

Mengenal Kapur Barus, Warisan Alam yang Sering Dilupakanilustrasi wawancara dengan sejarawan Dr. Ichwan Azhari Phil (dok. Webinar Kapur Barus, Warisan yang Dilupakan)

"Sejarah kapur barus ini kaitannya dengan Islam yang kita tekuni di Museum Sejarah Al-Qur'an Sumatera Utara. Salah satu surah di dalam Al-Qur'an, surah Al-Insan ayat 5 menyebut kapur, kafura. Artinya tanaman kapur atau kafura itu merupakan kata nonbahasa Arab yang masuk di dalam Al-Qur'an," tutur Dr. Ichwan Azhari Phil.

Ternyata diketahui bahwa kafura berasal dari Bahasa Persia. Leksikon Persia mengatakan kafura berasal dari bahasa Melayu yang artinya kapur. Jadi, pohon kapur itu dikenal di Al-Qur'an lewat Bahasa Persia. Orang Persia diperkirakan memperkenalkan kata kafura itu di dalam literatur Timur Tengah, termasuk Arab dan adopsi dalam Al-Qur'an.

"Kalau Al-Qur'an sudah menggunakan kata-kata yang berkaitan dengan pohon ini, berarti pohon kapur dan khasiatnya sudah dikenal jauh sebelum Islam lahir di Timur Tengah. Beberapa hipotesis mengatakan bahwa Firaun dan para raja masa lalu sangat mengagumkan tanaman ini, baik untuk pembalsaman maupun pengobatan, sampai-sampai tanaman ini menjadi tanaman elit yang sangat mahal," lanjutnya.

Menariknya, terdapat ayat yang mengatakan bahwa apabila kita berbuat baik di dunia, ketika meninggal kita akan mendapatkan kapur barus, minyak kapur barus, atau cairan dari kapur barus di surga.

Baca Juga: Mengenal Welwitschia, 'Fosil Hidup' di Padang Gurun     

3. Masih ada pemahaman yang salah terkait pohon kapur

Mengenal Kapur Barus, Warisan Alam yang Sering Dilupakanilustrasi penjelasan Dr. Ichwan Azhari Phil tentang pohon kapur (dok. Webinar Kapur Barus, Warisan yang Dilupakan)

Dr. Ichwan Azhari Phil sangat prihatin ketika mengetahui bahwa anak sekolah tidak mempelajari sejarah kapur barus lewat lembaga pendidikan tersebut. Kapur barus yang dikenal anak-anak adalah obat untuk mengusir kecoak.

"Sebetulnya saya marah karena sejarah kapur barus yang disebutkan dalam kitab suci direndahkan pada masa kini, diartikan sebagai sesuatu yang dijual di minimarket itu. Pemerintah pun tidak berusaha untuk mengoreksi itu," jelasnya.

Ia menegaskan bahwa perlu dibedakan antara kapur, Barus, dan kapur dari Barus. Faktanya, pohon kapur memang bukanlah pohon khas Barus. Pohon kapur juga ada di Singkil, Pakpak, dan Bongal.

Penyebutan 'kapur barus' untuk komoditas kapur disebut Dr. Ichwan sebagai kekeliruan dalam sejarah. Hal ini mengacaukan pemahaman antara kapur barus kuno dan kapur barus yang dijual di toko. Ia menyarankan untuk tidak menggunakan kata 'kapur barus' yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sebagai jalan tengah bagi orang Barus, ia menyarankan penggunaan kata 'kapur dari Barus'.

4. Berada di ambang kepunahan

Mengenal Kapur Barus, Warisan Alam yang Sering Dilupakanilustrasi penjelasan oleh Ahmad Dani Sunandar (dok. Webinar Kapur Barus, Warisan Yang Dilupakan)

Melansir tulisan Ahmad Dani Sunandar, berkurangnya populasi pohon kapur terjadi karena faktor internal dan eksternal. Dari segi internal, terdapat kemungkinan bahwa hal ini berkaitan dengan masa berbuah yang tidak terjadi setiap tahunnya. Jadi, ketika berbuah, buah-buah yang jatuh tidak dapat dikumpulkan dan disemaikan.

Di sisi lain, perubahan situasi dan minat masyarakat menjadi faktor eksternal dominan dalam penurunan populasi kapur. Sebagai contoh, nilai jual kristal kamper dan minyak kapur kalah oleh nilai jual kayunya.

Produk pengganti kamper dan minyak kamper yang lebih murah dan lebih mudah didapat membuat permintaan makin menurun. Selanjutnya, perusakan batang dan penebangan pohon serta kurangnya pemahaman masyarakat mengenai budidaya tanaman kapur dan nilai sejarahnya juga memiliki peran.

Tentunya pengurangan populasi ini punya dampak yang buruk. Selain kaya akan nilai sejarah, pohon ini memiliki fungsi ekologisnya sendiri.

"Misalnya ada satu burung tertentu yang biasanya ada di pohon itu. Hilang dia. Pergi. Atau ada serangga khas di situ, ketika pohon kapur sudah tidak ada lagi, serangga itu juga tidak ada lagi," ujar Ahmad.

5. Perlu adanya upaya pelestarian

Mengenal Kapur Barus, Warisan Alam yang Sering Dilupakanilustrasi penjelasan dari Ahmad Dani Sunandar (dok. Webinar Kapur Barus, Warisan yang Dilupakan)

Menurut Ahmad Dani Sunandar, terdapat berbagai cara untuk melestarikan pohon kapur. Berikut rinciannya.

  • Upaya budidaya: 

Memperbanyak tanaman dengan pendekatan generatif (melalui biji) dan pendekatan vegetatif (melalui stek). Dalam pendekatan pertama, benih yang disemaikan dengan baik menghasilkan biji yang baik pula, yang kemudian disebarkan kepada masyarakat yang berminat untuk menanamnya. Dalam pendekatan kedua, stek juga dapat dilakukan karena efektif, efisien, murah, punya tingkat keberhasilan yang tinggi, dan sifat anak akan sama dengan induknya.

  • Melakukan upaya konservasi:

Pembangunan kebun pangkas sebagai materi genetik untuk pembuatan stek. Hal ini sudah dilakukan di Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Aek Nauli.

  • Memperkenalkan kembali pohon kapur:

Nilai-nilai sejarah dan peran penting kapur di masa silam serta potensinya di masa datang diperkenalkan kembali kepada masyarakat. Contoh potensi kapur di masa depan adalah penggunaannya sebagai bahan baku obat.

Ketiga langkah tersebut tentunya perlu didukung oleh gerakan komunitas dan campur tangan dari pemerintah. Dengan adanya kerja sama, apa yang semula terlihat sangat sulit menjadi lebih mudah.

Itulah lima fakta mengenai pohon kapur. Adanya kolaborasi berbagai pihak menjadi suatu hal yang amat penting untuk melestarikan tanaman ini. Dengan demikian, kepunahan yang ditakuti dapat dihindari.

Baca Juga: Fakta Triantha Occidentalis, Tanaman Karnivor Terbaru

Topik:

  • Bayu D. Wicaksono

Berita Terkini Lainnya