Limbah Medis Indonesia Naik 30-50 Persen Dibandingkan Sebelum Pandemi

Bagaimana cara mengolahnya?

Ingatkah kamu di awal masa pandemi, di mana kita disarankan untuk mengganti masker bedah setiap 4 jam sekali? Ini bertujuan untuk melindungi kita dari SARS-CoV-2, virus corona penyebab penyakit COVID-19.

Tetapi, konsekuensinya adalah peningkatan limbah medis sebesar 30-50 persen dibandingkan sebelum pandemi. Limbah medis itu sendiri memerlukan penanganan khusus agar tidak membahayakan orang lain.

Berangkat dari concern tersebut, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Australia Global Alumni mengadakan Webinar Seri #1 bertajuk "Teknologi Pengolahan Limbah Medis" yang diselenggarakan pada Rabu (15/3/2023).

Narasumber yang dihadirkan adalah Prof. Dr. Yenny Meliana yang mewakili Pusat Riset Kimia Maju BRIN, Dr. Joddy A. Laksmono yang mewakili Pusat Riset Teknologi Polimer BRIN, dan Dr. Mochamad Chalid dari Departemen Teknik Metalurgi dan Material UI. Simak, yuk!

1. Mengenal jenis-jenis limbah medis

Mengutip MedPro Disposal, limbah medis didefinisikan sebagai segala jenis limbah yang mengandung bahan infeksius atau bahan yang berpotensi menularkan. Prof. Yenny menjelaskan bahwa ada beberapa jenis limbah medis, yaitu:

  • Limbah infeksius: Limbah yang terkontaminasi darah atau cairan tubuh manusia, kultur dari agen infeksius dari laboratorium, dan limbah dari pasien yang terinfeksi.
  • Limbah radioaktif: Limbah yang terkontaminasi radioaktif termasuk material diagnostik radioaktif atau material radioterapeutik.
  • Limbah kimia: Limbah pelarut, reagen yang digunakan di laboratorium, disinfektan, logam berat yang ada di alat kesehatan, dan baterai.
  • Limbah patologi: Jaringan manusia, organ, bagian tubuh, dan bangkai binatang yang terkontaminasi.
  • Limbah farmasi: Obat dan vaksin yang tidak digunakan, kedaluwarsa, dan terkontaminasi.
  • Limbah bahan tajam: Jarum, suntikan, dan pisau bedah.
  • Limbah non-klinik: Limbah yang tidak memiliki potensi bahaya fisik, biologi, kimia, dan radioaktif.

2. Tak hanya di Indonesia, limbah medis di seluruh dunia juga mengalami peningkatan

Limbah Medis Indonesia Naik 30-50 Persen Dibandingkan Sebelum Pandemiilustrasi limbah medis (pixabay.com/alexroma)

Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2021, Indonesia menghasilkan 18.460 ton limbah medis sejak Maret 2020 hingga Juni 2021. Dibandingkan sebelum pandemi, terjadi peningkatan limbah medis sebanyak 30-50 persen.

Fenomena ini juga terjadi di negara-negara lain. Bahkan, berdasarkan studi yang dipublikasikan dalam International Journal of Environmental Research pada tahun 2022, jumlah limbah medis yang dihasilkan sejak pandemi diperkirakan mencapai 2,6 juta ton per hari di seluruh dunia.

Baca Juga: Limbah Medis Capai 18.460 Ton, WALHI: Ini Penyakit Lama

3. Ada berbagai metode untuk mengolah limbah medis

Tidak hanya satu, ada beberapa metode untuk mengolah limbah medis, seperti:

  • Termal: Insinerasi (pembakaran), autoclave (menggunakan uap bersuhu dan bertekanan tinggi untuk mensterilisasi benda), gasifikasi (mengubah atau mengonversi bahan padat menjadi gas), dan pirolisis (proses dekomposisi kimia dengan menggunakan pemanas tanpa kehadiran oksigen).
  • Kimia: Menggunakan klorin, ozon, dan enzim.
  • Iradiasi: Menggunakan radiasi ultraviolet, laser elektron kobalt-60, dan microwave.
  • Lainnya: Dengan recycle (mendaur ulang), reuse (menggunakan ulang), dan sanitary landfill (menumpuk sampah di lokasi cekung, memadatkannya, dan menimbunnya dengan tanah).

Menurut Prof. Yenny, metode yang paling sering digunakan di Indonesia adalah insinerasi, dengan suhu minimal 800 derajat celsius. Setelah itu, residunya diserahkan ke pengelola limbah B3. Sayangnya, hanya 96 rumah sakit di Indonesia yang memiliki fasilitas insinerator. 

4. Salah satu metode yang dinilai efisien adalah rekristalisasi

Limbah Medis Indonesia Naik 30-50 Persen Dibandingkan Sebelum Pandemiilustrasi ilmuwan memegang tabung Erlenmeyer (pexels.com/Kindel Media)

Salah satu cara untuk mengolah limbah masker adalah dengan metode rekristalisasi. Menurut Dr. Joddy, metode ini dipilih karena memiliki efisiensi dibanding metode-metode lain.

"Mengapa memilih metode rekristalisasi? Karena ingin mendapatkan polimer penyusun masker dalam kondisi murni atau sesuai originalitas. Selain itu, aman karena tidak ada pelarut yang dibuang ke lingkungan," jelasnya.

Ia menjelaskan langkah-langkah metode rekristalisasi dalam bahasa yang sederhana. Pertama, masker dipotong atau dicacah untuk mempermudah pelarutan. Tahap selanjutnya adalah pelarutan polimer menggunakan toluene dan xylene.

Lalu, dilanjutkan dengan proses rekristalisasi menggunakan metanol dengan perbandingan 1:3. Langkah selanjutnya adalah penyaringan untuk memperoleh plastik murni yang dapat digunakan kembali dengan kualitas serupa. Kemudian dilakukan proses pengeringan menggunakan oven vacuum.

Baca Juga: KLHK: Limbah Medis Melonjak 30 Persen Selama Pandemik Virus Corona

Topik:

  • Fatkhur Rozi

Berita Terkini Lainnya