Kun Bokator, Seni Bela Diri Kamboja yang Ternyata Berusia 1.000 Tahun

Kun Bokator salah satu seni bela diri tradisional Kamboja

Kamboja menjadi perbincangan di tanah air, terutama perihal kontroversinya sebagai tuan rumah ajang multi-olahraga bagi 11 negara di Asia Negara. Mulai dari bendera Indonesia yang terbalik pada pesta pembukaan, beberapa vanue yang minim penerangan, hingga perlombaan Kun Bokator, seni bela diri unik yang diperlombakan perdana pada SEA Games edisi ke XXXII ini.

Kun Bokator adalah sebuah nama dari seni bela diri yang masih sangat asing bagi masyarakat Indonesia secara umum. Tetapi faktanya seni bela diri asal Kamboja ini ternyata sudah berusia 1.000 tahun tepatnya sejak jaman kekaisaran Khmer, namun baru mulai menarik perhatian khususnya bagi masyarakat Indonesia karena delegasi Indonesia berhasil mencatatkan perolehan medali perdananya pada SEA Games 2023 dari cabang olahraga ini.

Bela diri para Ankorian ini bagi masyarakat Kamboja merupakan warisan budaya, seni tradisional dan gaya berperang masa lalu, yang bukan hanya memiliki keunikan dalam teknik serta gerakannya, tetapi juga memiliki filosofi yang mendalam yang tercermin dari nilai-nilai budaya dan spiritual Kamboja. Dengan disahkan sebagai warisan budaya takbenda oleh UNESCO pada November 2022 lalu, Kun Bokator memiliki kesempatan dan peluang untuk meningkatkan potensi wisata budaya bagi negara yang berjuluk "Land of the Khmer"  tersebut.

Artikel ini akan membahas lebih lanjut tentang masa lalu, masa kini dan masa depan Kun Bokator bagi potensi wisata budaya Kamboja termasuk dari sudut pandang atlet bela diri Indonesia. Simak sampai akhir!

1. Sejarah kelam Kun Bokator yang hampir tidak tertulis 

Kun Bokator, Seni Bela Diri Kamboja yang Ternyata Berusia 1.000 TahunIlustrasi Kun Bokator yang tergambar dalam ukiran di sebuah kuil di Kamboja (thebettercambodia.com/Surya Narayana)

Kun Bokator diyakini mulai ada ketika masa kekaisaran Khmer yakni antara abad ke-11 hingga ke-15, dan diturunkan secara lisan kepada penerus berikutnya, generasi ke generasi. Antonio Graceffo dari Shanghai University of Sport, menuliskan sebuah jurnal tentang perbedaan antara Kung-fu China dengan Bokator Kamboja. Dalam jurnal tersebut Antonio menyatakan bahwa Bokator hampir tidak tertulis melainkan berupa ukiran-ukiran yang ditemukan pada Angkor Wat (sebuah kuil di kamboja) yang membuktikan bahwa seni bela diri ini sudah ada sejak 1.000 tahun yang lalu. Penemunya adalah Raja Ankorian yang agung, Jayavar Man VII, seorang pemimpin yang berhasil menyatukan Kamboja dan menentapkan Buddhisme sebagai agama nasional, tepatnya pada abad ke-12. Ujar Grand Master Kun Bokator, San Kim Saen, pada salah satu sesi wawancara dengan Phom Penh Post.

Namun jika kita mengenang sejarah Kamboja lebih dalam, terdapat sebuah masa kelam yang tidak terlupakan bagi masyarakat kamboja yakni Tragedi Khmer Merah. Sebuah tragedi memilukan yang menyebabkan 2 juta jiwa masyarakat kamboja meninggal dunia dalam jangka waktu kurang dari lima tahun. Mengutip dari Cambodian Living Arts, sebanyak 90 persen seniman Kamboja menjadi target dari pembantaian oleh rezim sadis ini. Hal ini dikarenakan, seniman pada masa itu dinilai sebagai bagian terdekat dari golongan elit, termasuk juga pegiat seni bela diri yang turut menjadi incaran kala itu. Buku dan karya tulis lain yang terkait dengan seni pun turut dibakar habis, hingga akhirnya yang tersisa hanyalah sebuah negara yang hampir tidak memiliki catatan tertulis sejarahnya, termasuk juga para ahli di bidang kesenian untuk melanjutkan kebudayaan.

Meskipun rezim tidak berperikemanusiaan itu berhasil digulingkan oleh invasi Vietnam pada 1979, namun penderitaan belum berakhir. Justru ketika Kamboja dalam kendali Vietnam, seni bela diri sepenuhnya dilarang. Hingga kemudian Kamboja mendapatkan kemerdakaan dari Vietnam sekitar tahun 1989 dan koloni tentara Vietnam terakhir keluar dari Kamboja pada 1992, namun kemiskinan yang cukup merajalela menghambat perkembangan seni bela diri di negara tersebut. Titik cerah dunia bela diri di Kamboja baru menjumpai titik cerahnya pada 2004 dengan dibentuknya federasi bokator, dan berlanjut di 2006, dengan diselenggarakannya perlombaan Bokator Nasional. Peristiwa ini yang kemudian menandai kelahiran kembali seni bela diri para Ankorian.

2. Filosofi Kun Bokator, sebuah seni "menghajar singa"

Kun Bokator, Seni Bela Diri Kamboja yang Ternyata Berusia 1.000 TahunIlustrasi Kun Bokator (khmertimeskh.com/Yeun Punleau)

Bokator secara bahasa diterjemahkan sebagai "Menghajar Singa", yakni dari kata Bok dalam bahasa Khmer berarti "Memukul", atau "Menghajar" dan Tao atau Tor yang berarti "Singa". Bokator dikenal juga dengan sebutan lobokkatao, merupakan teknik bertarung jarak dekat dengan serangan-serangan yang mengandalkan kekuatan lutut, siku, hingga tendangan tulang kering untuk melumpuhkan musuh.

Mengutip dari thebettercambodia.com, Filosofi teknik gerakan Kun Bokator diilhami oleh gerakan hewan seperti harimau, kuda, elang, hingga naga dengan total puluhan ribuan jurus. Petarung selain menggunakan krama (semacam selendang tradisional Khmer) yang merupakan dari perlengkapan wajib, namun juga boleh menggunakan persenjataan seperti sepasang pedang, sepasang tongkat pendek, sebuah tongkat panjang atau sebuah tongkat pendek.

Selain krama yang digunakan sebagai persenjataan, pakaian seorang petarung Bokator juga terdiri dari krama di pinggang, serta sangvar (tali sutra) berwarna biru dan merah yang diikatkan di bisep dan pinggang. Warna krama juga dapat melambangkan tahapan keahlian petarungnya, putih untuk tahapan pertama, kemudian berlanjut ke hijau, biru, merah, coklat dan hitam. Berdasarkan penjabaran dari thebettercambodia.com, terdapat tahapan master dengan krama berwarna emas, khusus bagi petarung yang berdedikasi tinggi setelah melampaui tahapan mengenakan krama hitam selama 10 tahun dan telah melakukan terobosan untuk perkembangan bokator baru bisa disebut layak untuk mendapatkan krama berwarna emas tersebut.

Sebagai tambahan informasi, seorang pejuang bokator dengan krama hitam perlu mengusai setidaknya 1.000 dari 10.000 gerakan, sedangkan untuk tahapan pertama yakni putih hanya perlu mengusai 100 gerakan. Namun yang perlu diingat, Kun Bokator bukan hanya tentang keterampilan teknik dan kekuatan fisik melainkan juga tentang bagaimana menghormati alam. Sangat filosofis sekali bukan?

3. Perjuangan tak mudah untuk masa cerah Kun Bokator, yang akhirnya diakui UNESCO

Kun Bokator, Seni Bela Diri Kamboja yang Ternyata Berusia 1.000 TahunDemonstrasi Kun Bokator Pada Acara Tahun Baru Kamboja 2013 (phnompenhpost.com/H S Manjunath)

Sebagaimana kesenian tradisional ada kalanya sulit diterima oleh golongan muda-mudi. Begitupun yang terjadi pada Kun Bokator, hampir ditinggalkan oleh calon-calon pelestari seni ini untuk masa yang akan datang. Rasanya sangat disayangkan, terlebih kesenian ini telah melewati masa-masa kelamnya dan baru saja bangkit setelah mati suri akibat pelarangan yang berkepanjangan.

Mengutip dari globalvoices.org, sebuah gerakan yang layak dipuji muncul dari provinsi Kampong Chhnang. Yom adalah penggerak dari sebuah inisiatif untuk memberikan pelatihan kepada petarung muda sejak 1993. Langkah ini Yom tujukan supaya Bokator dapat diakui sebagai warisan budaya takbenda oleh UNESCO, yang merupakan merupakan organisasi Internasional yang bergerak pada bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

Perjuangan Yom membuahkan hasil setelah secara resmi Kun Bokator diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya takbenda pada November 2022 lalu. Dibalik itu juga ada sebuah langkah diplomasi yang cukup panjang dari pemerintah kerajaan kamboja untuk mengupayakan hal ini. Menjadi tidak mudah karena bukti tertulis yang hampir tidak bisa ditemukan setelah pemusnahan brutal atas karya tulis ketika Khmer merah. Selain dengan mulai membentuk federasi pada 2004, pemerintah kamboja kemudian membentuk tim kepelatihan untuk Bokator dan mendokumentasikan pelaksaannya di masyarakat.

Dengan inisiasi tersebut, dokumen mulai terkumpul dan mulai dilakukan proses pengajuan kepada UNESCO di tahun 2008 termasuk juga sebagai permohonan untuk perlindungan budaya yang mendesak dan perlu pembinaan dari luar karena sumber daya internal kurang memadai kala itu dan karena melihat geliat seni ini semakin meningkat di masyarakat  maka pengajuan tersebut dicabut dan diubah menjadi permohanan sebagai Daftar Perwakilan Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan (ICH), ungkap Siyong Sophearith kepala Departemen Umum Teknologi Kebudayaan kepada phnompenhpost.com pada Juni 2022 saat mengingat perjuangan di masa lalu.

Namun perjalanan masih belanjut setelah permintaan dokumen tambahan dari UNESCO dan pemenuhan ketentuan lainnya yang belum dilaksanakan kala itu. Langkah terjal semakin terasa setelah pandemi Covid-19 melanda pada 2019,  yang mengakibatkan segala proses pengajuan harus mengalami penundaan dan pendokumentasian serta proses permohonan baru mulai dilanjutkan pada 2021.

Baca Juga: 5 Fakta Kun Bokator, Bela Diri Kamboja di SEA Games 2023

4. Kun Bokator selepas perlombaan antar-negara perdana

Kun Bokator, Seni Bela Diri Kamboja yang Ternyata Berusia 1.000 TahunMao Leakena Atlet Kun Bokator Kamboja Pemenang Medali Emas di SEA Games XXXII (khmertimeskh.com/Yarn Soveit)

Perlu diakui memang eksistensi Bokator pada ajang perlombaan multi - olahraga tidak sementereng tiga seni beladiri dari negara Asia Tenggara lainnya, sebut saja Pencak Silat dari Indonesia, Arnis dari Filipina dan Muay Thai dari Thailand yang sudah pernah diperlombakan pada event olahraga multi-negara lebih dulu. Sebagaimana Arnis yang kembali diperlombakan tahun ini, melansir dari CNN Indonesia, Arnis pertama kali diperlombkan pada SEA Games 2005 yakni ketika Filipina menjadi tuan rumah acara tersebut.

Ajang dwitahunan regional Asia Tenggara memberikan keuntungan bagi negara penyelenggaranya untuk menambahkan cabang-cabang olahraga khas negara mereka atau menambahkan disiplin baru, dikarenakan SEA Games bukan hanya ajang perlombaan bagi para atlet di negara Asia Tenggara, namun juga merupakan salah satu cara untuk pertukaran budaya antara penyelenggara dengan negara - negara peserta.

Kun Bokator resmi diumumkan sebagai 1 dari 36 cabang olahraga yang deperlombakan di ajang SEA Games ke 32 ini. Terdiri dari 16 disiplin dan diikuti oleh kurang lebih 111 atlet dari 6 Negara peserta termasuk host, yakni Kamboja, Vietnam, Laos, Filipina, Myanmar dan Indonesia. Sebagai negara asal dari seni bela ini Kamboja berhasil memanen medali emas dari cabang olahraga tersebut. Melansir Khmer Times, Jumat (05/05/23) perolehan medali emas dari delegasi Kamboja untuk Kun Bokator total sebanyak 4 buah.

Potensi promosi budaya begitu terbuka lebar khususnya untuk seni berperang dari Kamboja ini. Melalui Khmer Times, Chan Sarun, Presiden Federasi Kun Bokator Kamboja menyebut pesta pembukaan perlombaan Kun Bokator sebagai penanda "halaman baru sejarah Kun Bokator dan Kamboja". Asa untuk membangun kampanye budaya ini pun disepakati oleh Vy Tara, Wakil Sekjen Federasi Kun Bokator. Dalam sesi wawancara dengan Khmer Times, Tara menyampaikan dengan acara ini Kamboja dapat mempromosikan Kun Bokator untuk lebih dikenal secara regional bahkan global. Dengan mulai diperlombakan ini Kun Bokator membuka kesempatan untuk diperlombakan pada SEA Games seri berikutnya, sebagaimana Arnis.

5. Menilik atlet Kun Bokator di tanah air selepas banjir medali

Kun Bokator, Seni Bela Diri Kamboja yang Ternyata Berusia 1.000 TahunSelebrasi Kemenangan Perwakilan Indonesia untuk Kun Bokator di SEA Games Kamboja 2023 (Kemenpora.go.id/Egan)

Sebagai salah satu peserta dari cabang olahraga Kun Bokator di SEA Games Kamboja 2023, Indonesia bisa dibilang sudah mempersiapkan dengan baik untuk perlombaan tersebut meski masih cenderung terlalu singkat untuk sebuah perlombaan antar negara. Dikarena cabang olahraga ini tergolong baru, maka secara khusus Timnas Kun Bokator Indonesia mendatangkan pelatih langsung dari Kamboja yang merupakan tempat asli seni bela diri tersebut berasal.

Namun hasil yang manis secara tidak disangka-sangka bisa diraih para atlet Indonesia. Melansir dari Kemenpora.co.id, para delegasi yang ditunjuk untuk cabang olahraga baru ini sebenarnya merupakan atlet pencak silat yang baru menjalani masa persiapan selama 6 bulan terhitung sejak Oktober tahun lalu. Dimulai dengan euforia medali perak yang merupakan medali perdana Indonesia di ajang ini yang dipersembahkan oleh Alfadhila Ramadhan setelah mengungguli atlet asal Myanmar, Oo Chit Hlaing.

Puncaknya, pada partai lanjutan di Chory Changvar International Convention and Exhibition Center, Phnom Penh pada Senin, 8 Mei 2023 delegasi dari Indonesia berhasil mendapatkan 3 medali emas, 2 medali perak dan 1 medali perunggu. Sehingga jika ditotal, mengutip dari antaranews.com, Timnas Indonesia Kun Bokator berhasil mengoleksi 3 emas, 5 perak dan 11 perunggu.

Agus Nanang Sunarya melalui antaranews pun mengakui jika potensi atlet Indonesia di cabang olahraga asal Kamboja ini cukup menjanjikan, terlebih jika melihat dari capaian medali. Beliau beranggapan jika dengan persiapan yang lebih matang dan mendapat dukungan yang lebih, kedepannya prestasi para atlet pada cabang olahraga baru ini akan meningkat. Meskipun demikian beliau tetap menghargai pengambil keputasan, dan melimpahkannya kepada federasi dan pemerintah pusat. 

Baca Juga: Pencak Silat Kolaborasi dengan Bokator Demi SEA Games 2023

Revaldo Wibisono Photo Writer Revaldo Wibisono

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Agustin Fatimah

Berita Terkini Lainnya