Ini Cara Kerja BMKG Mendeteksi Gempa dan Potensi Tsunami

Masih belum benar-benar efektif mendeteksi tsunami

Pada hari Minggu malam (7/7), gempa berkekuatan 7,1 Skala Richter (SR) melanda Barat Daya Ternate, Maluku Utara. Berdasarkan cuitan dari akun Twitter BMKG, diketahui pusat gempa berada di koordinat 0.51LU,126.18BT, dengan kedalaman 10 km dan terjadi pada pukul 22:08 WIB. Peringatan tsunami pun diberikan oleh BMKG kepada masyarakat melalui akun Twitternya.

Tahun lalu, tepatnya di Bulan Oktober 2018, rentetan gempa bumi terjadi di Palu dan Donggala. Adapun, saat itu gempa terkuatnya sebesar 7,4 Skala Richter (SR), yang terjadi pukul 17.02 WIB. Kemudian, disusul dengan tsunami dengan ketinggian 1,5-3 m yang diperkirakan tiba pada 17.22 WIB.

Gelombang tsunami menghancurkan rumah, gedung dan kendaraan. Ratusan korban pun meninggal akibat bencana ini. Pada pukul 17.02 WIB, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah menyampaikan peringatan dini tsunami. Uniknya, BMKG mencabut peringatan tersebut pada pukul 17.37 WIB, padahal tsunami telah terjadi.

Sebenarnya, bagaimana cara BMKG mendeteksi gempa dan tsunami? Berikut ulasannya!

1. BMKG hanya mengandalkan seismometer untuk mendeteksi gempa dan tsunami

Ini Cara Kerja BMKG Mendeteksi Gempa dan Potensi Tsunamilarevista.com.mx

Menurut Mulyono Prabowo, Deputi Bidang Meteorologi BMKG, BMKG menggunakan alat yang sama untuk mendeteksi gempa dan tsunami di Indonesia. Tsunami bukanlah fenomena yang terjadi dengan sendirinya.

 Penyebab utamanya adalah gempa bumi, selain letusan gunung berapi. Untuk mendeteksinya, BMKG memiliki 33 stasiun geofisika dengan 285 seismometer atau alat untuk mendeteksi titik asal gempa.

2. Sistem pendeteksian tsunami di Indonesia tak menggunakan perangkat khusus

Ini Cara Kerja BMKG Mendeteksi Gempa dan Potensi Tsunamipixabay.com/WikiImages

Adapun, sistem pendeteksian tsunami di Indonesia sekadar menggunakan sistem kelanjutan pada sistem pendeteksian gempa. 

3. Sesungguhnya, pendeteksi tsunami di lautan juga diperlukan

Ini Cara Kerja BMKG Mendeteksi Gempa dan Potensi Tsunaminctr.pmel.noaa.gov

Untuk mendeteksi tsunami di lautan, diperlukan Deep-Ocean Assessment and Reporting of Tsunami (DART). Sistem ini menempatkan pelampung khusus, yaitu Deep-Ocean Tsunami Detection Buoys atau biasa disebut buoy. Sistem ini berguna untuk mendeteksi perubahan level permukaan air laut.

Menurut sejarahnya, DART pertama kali ditemukan oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Amerika Serikat pada 2001. Kemudian, sistem ini mulai digunakan di seluruh dunia. Prototipenya sendiri muncul pada Oktober 2003 dan ditempatkan di enam titik dekat Khatulistiwa. Alat ini berhasil mendeteksi tsunami di Chili dan Peru, Amerika Selatan.

Baca Juga: Bukan Kiamat, 10 Hal Ini Berpotensi Hancurkan Bumi Menurut para Ahli! 

4. Sistem buoy ini memiliki sensor tekanan di dasar laut dan perangkat yang mengapung di lautan

Ini Cara Kerja BMKG Mendeteksi Gempa dan Potensi Tsunamindbc.noaa.gov

Cara kerja sensor tekanan adalah mendeteksi perubahan yang terdeteksi kemudian mentransfernya ke perangkat yang mengapung dengan telemetri akustik. Perangkat yang mengapung tersebut kemudian mengirimkan data ke satelit pada pusat peringatan tsunami. 

5. BMKG tak memiliki buoy, namun Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pernah memilikinya

Ini Cara Kerja BMKG Mendeteksi Gempa dan Potensi Tsunamioceantoday.noaa.gov

Dilansir Antara, Sutopo P. Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sempat menyatakan pada kejadian gempa Palu dan Donggala bahwa banyak alat sensor gelombang tsunami rusak.

Jumlahnya sendiri sebanyak 21 sensor yang didapat dari berbagai negara, seperti Jerman, Malaysia, dan Amerika Serikat. Namun, mirisnya tak ada satu pun dari alat tersebut yang masih bisa digunakan. 

6. Kerusakan buoy disebabkan oleh vandalisme (kerusakan akibat ulah manusia) dan kurangnya biaya operasi dan pemeliharaan dari BPPT

Ini Cara Kerja BMKG Mendeteksi Gempa dan Potensi Tsunamisinclairstoryline.com

Buoy di Indonesia tak lagi berfungsi karena vandalisme serta kurangnya biaya pemeliharaan dan operasi. Itu sebabnya, sulit untuk memastikan apakah tsunami akan benar-benar terjadi. Padahal, biaya produksi untuk satu alat saja bisa mencapai US$25ribu (sekitar Rp370 juta).

Sangat disayangkan teknologi yang telah ada kurang dimaksimalkan dengan baik sehingga bencana yang datang memakan ratusan korban jiwa di Palu dan Donggala. Padahal, jika alat ini masih ada dan dirawat dengan baik, korban jiwa bisa sangat diminimalkan.

Baca Juga: 8 Gunung Berapi Paling Berbahaya di Dunia Saat Ini Menurut Amatan Ahli

Topik:

  • Yudha
  • Bayu D. Wicaksono

Berita Terkini Lainnya